Membaca Dampak Sosial Kebijakan Ekonomi Digital

Oleh: Tawati 
(Pengamat Anak dan Remaja)

Sebuah pernyataan cukup aneh muncul dari Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati. Menteri yang biasa ngurus soal duit ini mengimbau seluruh masyarakat Indonesia untuk memperkenalkan gadget kepada anak-anak mereka sejak bayi.

Pernyataan tersebut dilontarkan Sri Mulyani usai menjadi keynote speaker di acara Grab #TechForGood, yang diselenggarakan di Hotel The Westin, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (24/9).

Alasannya, kebutuhan teknologi dan digital di Indonesia sangatlah besar. Terutama jika melihat prospek di Asia Tenggara hingga 2025, ekonomi digital mampu menembus angka 250 miliar dolar AS.     

Untuk mendapatkan peringkat tertinggi penggunaan digital di Asia Tenggara pada 2025, Sri Mulyani menyarankan agar seluruh bayi-bayi di Indonesia sudah mulai diperkenalkan dengan gadget. (Gelora.co, 24/9/2019)

Keniscayaan digitalisasi untuk Negara sebesar Indonesia memang sangat masuk akal. Sebab, mengelola negara dengan jumlah penduduk sekitar 252 juta orang, yang tersebar di 17 ribu pulau, memang membutuhkan berbagai sarana dan prasarana yang tersistem dengan baik. Dan dengan kemajuan tekhnologi saat ini, digiltalisasi adalah salah satu pilihan dianggap cukup jitu. Namun, impian Jokowi untuk menciptakan Indonesia sebagai Negara dengan ekonomi digital terbesar di kawasan ASEAN seharusnya dibarengi dengan konsep yang memperhatikan masa depan bangsa dari berbagai aspek.

Tidak boleh hanya dilihat dari sudut pandang ekonomi saja. Sebab sebuah bangsa yang besar tentu akan lebih mengutamakan kepemimpinan masa depan dibandingkan kesejahteraan ekonomi di masa kini. Dan aspek inilah yang luput dari konsep ekonomi digital ala Jokowi, yang justru akan membuat bangsa ini semakin dalam terjerumus dalam kubangan lumpur kapitalisme.

Diakui atau tidak realita menunjukkan bahwa generasi muda saat ini sudah memiliki banyak perbedaan dengan generasi pendahulunya. Generasi ini tumbuh dengan pesatnya perkembangan tekhnologi yanga tak bisa dianggap biasa saja. Sebab, tekhnologi memberi dampak terhadap perubahan yang sangat kuat pada nilai-nilai sosial yang berada di masyarakat.

Kemunculan beragam tekhnologi berbasis internet menujukkan bahwa tekhnologi mampu mengubah sosial budaya masyarakat. Bahkan tekhnologi dalam penjelasan Pacey disebutkan muncul dari nilai-nilai. Sumber nilai-nilai tersebut adalah struktur sosial, ekonomi dan politik. Inilah mengapa tekhnologi selalu berkaitan erat dengan urusan sosial, ekonomi dan politik.

Media sosial tidaklah bersifat netral karena di dalamnya terkandung nilai-nilai utama ala Barat yang terus menerus didiktekan kepada generasi muda. Akibatnya generasi saat ini memiliki bibit pemikiran kebebasan dan demokrasi ala Barat yang siap untuk menolak segala nilai yang bertentangan dengannya. Dan jika nilai-nilai kebebasan dan demokrasi ala Barat itu bertentangan secara diametral dengan Islam, maka bisa ditebak, bahwa generasi ini sekalipun mereka Muslim, mereka akan menjadi garda terdepan dalam menolak nilai-nilai Islam.

Dengan demikian, Barat tak perlu susah untuk menentang pemikiran dan nilai-nilai Islam, sebab generasi mudanya sendirilah yang kelak akan menolak Islam masuk dalam ranah kehidupan sosial mereka, meski dalam ranah individual mereka tetap mengakuinya. Artinya Islam tetap akan diposisikan sebagai ranah privat dan tidak akan pernah diperkenankan untuk tampil menjadi sebuah sistem kehidupan yang mengatur seluruh aspek kehidupan.

Perubahan budaya yang terjadi ditengah masyarakat akibat meledaknya media sosial yang tidak bebas nilai justru telah menjerumuskan masyarakat ke jurang kehancuran. Pornografi dan kekerasan terus meningkat, bukan merambah usia yang kian dini; kaum pelangi semakin merajalela bahkan pantang mundur untuk mendapatkan payung hukum melalui dukungan via medsos. Sekali lagi, ini menunjukkan nilai-nilai Barat yang sangat nyata dihadapan kaum Muslimin. Mereka telah berhasil mencetak generasi alay yang penuh dengan kebebasan.

Terlepas dari segala potensi baik-buruknya generasi saat ini, tidak bisa menutup mata bahwa mereka adalah calon penerus bangsa. Maka sudah seharusnya Pemerintah memperhatikan kembali tujuan ekonomi digitalnya. Meminjam kalimat Tan Malaka, “Idealisme adalah kemewahan yang dimiliki oleh pemuda”, maka untuk realita generasi sekarang, dimanakah kemewahan itu? Wallahua’lam[].

Post a Comment

Previous Post Next Post