Momentum Idul Adha 1441 H di Tengah Pandemi

Oleh: Safiatuz Zuhriyah, S.Kom
Aktivis Dakwah Muslimah

Inilah kisah yang akan dikenang sepanjang masa. Kisah keikhlasan seorang ayah dan putranya, demi menjalankan perintah Allah, meski harus mengorbankan nyawa.

Allah Swt. mengabadikannya dalam Q.S. Ash-Shaffat ayat 101-109 yang artinya: "Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail). Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, ”Selamat sejahtera bagi Ibrahim.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh, dia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman."

Idul Adha di Tengah Pandemi 

Idul Adha tahun ini memang terasa berbeda dibanding sebelumnya. Suka cita umat Islam menyambut hari raya, harus dibatasi protokol kesehatan ketat akibat adanya pandemi. Bahkan pelaksanaan ibadah haji pun, yang biasanya melibatkan sampai 2.5 juta orang, tahun ini dibatasi hanya untuk 1.000 orang saja. 

Pandemi virus Covid-19, telah mengubah wajah dunia dan menimbulkan masalah di berbagai bidang kehidupan. Khususnya di Indonesia, kita jumpai berbagai krisis ikutan yang tidak bisa dianggap enteng.

Di bidang kesehatan, banyaknya tenaga kesehatan yang terpapar virus hingga meninggal dunia menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, pada 2017 ketersediaan dokter di Indonesia adalah empat dokter per 10.000 orang. Masih jauh dari ideal. Apalagi bila harus berkurang akibat terinfeksi. 

Dilansir oleh suara.com Kamis, 26 Maret 2020, saat ini sistem kesehatan sudah mulai tegang. Banyak staf kesehatan tidak memiliki peralatan pelindung, termasuk kisah seorang dokter yang mesti mengenakan jas hujan karena tidak ada pakaian pelindung memadai. Kontrol infeksi yang buruk di rumah sakit dan tempat layanan kesehatan, ditengarai menjadi penyebab banyaknya tenaga kesehatan yang tumbang. 

Belum lagi minimnya fasilitas kesehatan yang didapat masyarakat. Negara berpenduduk lebih dari 260 juta orang ini hanya memiliki 321.544 tempat tidur rumah sakit, menurut data Kementerian Kesehatan. Artinya, sekitar 12 tempat tidur per 10.000 orang. 

Di bidang ekonomi, resesi telah menghantui. Menteri Keuangan Sri Mulyani telah dua kali membeberkan proyeksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dalam kuartal berjalan dan beberapa kuartal ke depan, dan proyeksinya suram.

Untuk kuartal II, yang tengah berjalan sampai akhir Juni 2020, pemerintah Indonesia memproyeksi ekonomi akan menyusut sampai minus 3,8%. Sementara pertumbuhan PDB di kuartal III, yang dimulai per Juli, diprediksi akan tumbuh di kisaran 1,4%, atau melemah sampai minus 1,6%. Untuk kuartal IV, pemerintah Indonesia berharap ekonomi mulai mencatatkan pertumbuhan 3,4%, atau paling sedikit 1%. Jika pertumbuhan ekonomi minus dalam dua triwulan berturut-turut, maka bisa dikatakan Indonesia mengalami resesi. 

Akibatnya, terjadi PHK besar-besaran dan minim lapangan kerja. Masyarakat semakin sulit memenuhi kebutuhan pokoknya. Di sisi lain, insentif dari pemerintah hanya menyentuh beberapa kalangan saja. Tidak menyelesaikan masalah. 

Di bidang pendidikan, pembelajaran daring menimbulkan banyak masalah. Baik karena ketidaksiapan infrastruktur maupun kurikulum. Orang tua murid juga dipusingkan dengan pengadaan fasilitas berupa HP dan pulsa Internet. Sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh semua kalangan. 

Ditambah lagi dengan masalah keteladanan, penanaman aqidah dan pembiasaan berbuat baik yang sulit dievaluasi karena tidak ada tatap muka. 

Beberapa masalah di atas, mewakili karut-marut keadaan Indonesia yang butuh segera diatasi. Antisipasi penanganan dan strategi mengurangi dampak buruk melalui wacana New Normal, ternyata belum mampu menjadi solusi. 

Bukannya turun, angka positif Covid-19 malah terus meningkat. Berdasarkan data yang dihimpun hingga Jumat (31/7/2020) pukul 12.00 WIB, diketahui ada penambahan 2.040 kasus Covid-19 dalam 24 jam terakhir. Penambahan itu menyebabkan total ada 108.376 kasus Covid-19 di tanah air, terhitung sejak diumumkannya pasien pertama pada 2 Maret 2020.

Meneladani Pengorbanan Ibrahim dan Ismail

Pandemi Covid-19, hendaknya menyadarkan kita, bahwa kita adalah makhluk di hadapan Al-Khaliq. Maha Kuasa Allah yang telah mengutus makhluk-Nya dengan ukuran mikro, namun berdampak makro. Manusia dengan segala kemampuan akal dan tekhnologinya, ternyata harus bertekuk lutut. Tunduk bersimpuh, mengakui kebesaran-Nya. Maka, tidak ada solusi hakiki dalam masalah pandemi ini kecuali kembali kepada aturan ilahi. 

Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 208 yang artinya: "Wahai orang-orang yang beriman masuklah ke dalam Islam secara kafah dan janganlah kalian mengikuti langkah setan. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagimu." 

Pada awalnya surat ini turun karena perbuatan Abdullah bin Salam dan seorang sahabat yang berasal dari Yahudi Bani Nadhir. Keduanya walaupun sudah memeluk Islam, namun tetap terpengaruh norma dari agama Yahudi seperti memberikan penghormatan pada hari Sabtu dan mengharamkan daging unta.

Sikap yang setengah-setengah seperti ini kemudian ditegur oleh Allah. Hal ini diterangkan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli terkait surat Al-Baqarah 208. Penjelasan beliau adalah orang-orang yang beriman diminta untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhan, tidak hanya sebagian saja.

Dengan kata lain, seorang muslim diminta untuk menjalankan seluruh perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Tidak pilih-pilih. Maka, menjadi kebutuhan mendesak bagi umat untuk segera menerapkan aturan Islam dalam berbagai segi kehidupan. Tegaknya seluruh syariat, akan menjadi solusi problematika manusia. 

Untuk itu, diperlukan ketaatan sempurna dan kesiapan berkorban meninggalkan orientasi individual dan materialistik menuju keinginan meraih rida ilahi semata. 

Pada Idul Adha kali ini, kita kembali diingatkan tentang kisah ketataan seorang Ibrahim as. dan Ismail as. dalam mengerjakan perintah Tuhannya. Ibrahim bersedia menyembelih putranya, sementara Ismail rela disembelih. Sikap itu dilakukan untuk membuktikan ketaatan mereka kepada Tuhannya. Inilah ketaatan total yang seharusnya dilakukan setiap hamba kepada Tuhannya.

Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail itu juga memberikan gambaran cinta yang benar. Bahwa cinta yang hakiki hanyalah cinta kepada Allah Swt. Adapun cinta kepada makhluk, seharusnya diletakkan di bawah cinta kepada-Nya. Betapa kita saksikan bahwa kecintaan Ibrahim kepada putra yang paling ia cintai tetap diletakkan di bawah cintanya kepada Allah Swt. 

Sikap ini jelas sesuai dengan tuntunan Allah Swt., yang telah menyuruh kaum muslim untuk menempatkan cinta mereka kepada Allah dan Rasul-Nya di atas kecintaan kepada yang lain, bahkan di atas kecintaan kepada diri mereka sendiri (lihat QS at-Taubah [9]: 24).

Sayangnya, ketulusan cinta kepada Allah Swt. yang ditunjukkan oleh Ibrahim as. dan Ismail as. itu  belum banyak diteladani umat Islam saat ini. Banyak di antara kita yang masih didominasi oleh cinta kepada selain Allah daripada cinta kepada-Nya. Akibatnya, kita lebih mencintai  dunia dibandingkan akhirat; lebih mencintai keluarga daripada dakwah dan memperjuangkan agama; lebih mencintai harta ketimbang berjihad di jalan-Nya; lebih mencintai kekuasaan ketimbang memperjuangkan kemuliaan Islam; bahkan lebih mencintai musuh-musuh Islam ketimbang kaum muslim.

Kecintaan yang tulus tentulah akan melahirkan sikap berkorban yang juga tulus. Karena begitu cintanya kepada Allah Swt. , Ibrahim as tanpa ragu mengorbankan cintanya kepada putranya. Hal yang sama ditunjukkan oleh Ismail as. yang juga rela mengorbankan dirinya sebagai konsekuensi dari perintah Allah Swt. itu.

Amat disayangkan, jiwa pengorbanan dalam menjalankan syariah ini tidak terlihat dalam kehidupan sebagian besar umat ini. Bahkan, tidak sedikit di antara mereka yang menjalani kehidupan seperti orang-orang kafir. Dari Senin hingga Jumat atau Sabtu, waktunya habis digunakan mencari uang. Sabtu atau ahad dihabiskan bersenang-senang. Tak pernah terpikir tentang mengkaji Islam, berdakwah apalagi menegakkan khilafah. Siang malam hanya disibukkan untuk mengejar dunia, dipusingkan dengan mengkredit rumah, mobil, motor bertahun-tahun lamanya hingga tiba-tiba mati.

Padahal, satu-satunya jalan menuju keselamatan dunia akhirat adalah bersegera melaksanakan syariah-Nya. Menjadi pejuang bagi tegaknya syariah sebagaimana Rasulullah saw. dan para sahabat radhiyallahu anhum. Menempuh jalan ini dengan bersungguh-sungguh istiqomah menanggung seluruh resiko dan pengorbanan. Para sahabat Nabi saw. begitu masuk Islam langsung menjadi pejuang Islam hingga mereka wafat. Sementara kebanyakan kita sudah muslim dari bayi tapi hingga mati tak penah menjadi pejuang Islam. Sungguh kenyataan ini wajib segera kita ubah.

Rasulullah saw. dan para sahabat telah menghabiskan hidupnya dengan beribadah, mengkaji ilmu, berdakwah, bekerja mencari nafkah, mengurus isteri dan anak-anak, berjihad fi sabilillah dan menerapkan syariah Islam kafah kepada seluruh rakyat saat menjadi pemimpin. Inilah yang harus kita contoh. Jika kita saat ini sudah beribadah mahdhah, bekerja mencari nafkah, menuntut ilmu-ilmu ibadah dan mengurus keluarga. Maka sesungguhnya ini masih belum cukup. Kita harus menambahnya dengan  menuntut ilmu yang komprehensif dan berdakwah demi tegaknya syariah dan  khilafah, dan ikut berjihad fî sabîlillah.

Rasulullah saw. dan para sahabatnya telah menjadikan perjuangan dakwah untuk menerapkan syariah dalam bingkai khilafah sebagai perkara hidup dan mati. Bahwa Beliau saw. tidak akan mundur selangkahpun sampai kemenangan datang atau binasa dalam perjuangan.

Karenanya, wajib bagi kita umat Islam, untuk terus-menerus berjuang menerapkan syariat Islam dengan menegakkan khilafah, sebagai bentuk kesungguhan kita dalam beribadah kepada Allah Swt. Dengan menanggung segala resiko hingga kita dimenangkan Allah Swt. atau kita binasa karenanya. Tidak pantas kita menjadikan segala kenikmatan dunia sebagai alasan untuk tidak berjuang.

Jika kita menjadikan kesibukan kerja, mengurus anak, mengurus bisnis, mengurus orang tua, mengurus jabatan atau apapun juga sebagai alasan untuk tidak berjuang, maka tunggulah. Tidak lama lagi Allah akan mencabut kenikmatan itu dari kita. Ataupun jika masih ada di tangan kita, maka Allah Swt. mencabut keberkahannya untuk kita. Hingga semua itu hanya akan menjadi penyesalan tiada berkesudahan di dunia dan akhirat. 
Previous Post Next Post