Menggugah Cinta untuk Baginda



Oleh: Sumiati 
Praktisi Pendidikan dan Member Akademi Menulis Kreatif 

Rabi'ul Awal adalah bulan ketiga dalam kalender Hijriah, terdiri dari 30 hari. Arti nama bulan ini berasal dari masa kembalinya pemuda-pemuda yang tadinya merantau. 

Kata ar-Rabi’ sebenarnya memiliki arti yang bermacam-macam, namun keseluruhannya menunjukkan makna musim dimana tumbuhan mulai menghijau atau memunculkan kembangnya. Ia kemudian diterjemahkan sebagai musim semi. Salah satu peristiwa politik berupa demonstrasi terhadap pemerintahan yang sah. Belakangan ini banyak melanda hampir semua negeri Timur Tengah. Penggunakan istilah ar-Rabi’al-‘Arabi (musim semi Arab) sebagai metaphor akan kebangkitan dan kemekaran masyarakat menuntut keadilan. Namun, itu merupakan istilah kontemporer.

Muhammad Shabri ‘Abd ar-Rahim menulis dalam harian Elbalad. Jauh sebelum masa Nabi Saw. Konon yang pertama kali memberikan nama Rabi’ul Awwal adalah Kilab bin Murrah, buyut kelima Nabi Saw. Ada beberapa cerita yang menjelaskan kenapa disebut sebagai Rabi’. Satu masa dinamakan Rabi’ karena pada bulan itu orang-orang Arab sudah mulai berperang kembali dan sedang memuncak. Sehingga, kata Rabi’ mengilustrasikan perang sedang mulai subur dan sudah mulai ada korban yang berjatuhan setelah dimulai penyerangan di bulan Safar.

Ada juga riwayat yang menyebutkan dan  menggambarkannya dari kondisi alam. Kata Ar-Rabi’ adalah kondisi dimana tanaman sangat subur dan banyak berbuah. Padang rumput juga menghijau. Masyarakat Arab membagi Rabi’ juga menjadi dua macam. Pertama adalah rabi’ as-syuhur (bulan musim semi) yaitu bulan Rabi’ul Awal dan Tsani. Ada juga rabi’ al-azminah (masa-masa musim semi). Dimana bagi masyarakat Arab dibagi menjadi empat. Yaitu kharif (gugur) yaitu ar-rabi’ al-awwal, syitaa’ (dingin), shayf (panas), dan qayzh (puncak panas). Penamaan ini sudah ada sebelum masa Nabi Muhammad Saw.

Terlepas dari perdebatan tanggal pasti kelahiran Nabi Muhammad. Para ulama sering menyebut bulan ini sebagai Rabi’ al-Anwar (musim semi yang mengeluarkan sinar-sinarnya). Karena di bulan inilah Nabi Saw dilahirkan.

Dalam satu riwayat, Nabi Saw, disebutkan selalu membaca doa ini tidak hanya di bulan Rabiul Awal, tapi di setiap awal bulan. Doa tersebut diantaranya disebutkan oleh At-Tirmidzi dalam kitabnya Sunan-nya, dari Thalhah bin ‘Ubayd

اللَّÙ‡ُÙ…َّ Ø£َÙ‡ْÙ„ِÙ„ْÙ‡ُ عَÙ„َÙŠْÙ†َا بِاليُÙ…ْÙ†ِ Ùˆَالإِيمَانِ ÙˆَالسَّÙ„َامَØ©ِ ÙˆَالإِسْÙ„َامِ، رَبِّÙŠ ÙˆَرَبُّÙƒَ اللّÙ‡

"Ya Allah edarkanlah bulan itu kepada kami bersama dengan keamanan, keimanan, keselamatan, dan Islam. (Wahai Bulan) Tuhanku dan Tuhanmu sama-sama Allah".

Bulan kelahiran Nabi tercinta ini, dijadikan sebagai momen untuk menggelar berbagai kegiatan untuk memperingatinya.  Hal itu dijadikan pula sebagai bukti cinta kepada Rasulullah. Namun, berbagai momen kegiatan peringatan tersebut, hanya  menjadi  seremonial belaka. Tidak menghadirkan bentuk cinta yang  sesungguhnya.

Bulan kelahiran Nabi tercinta ini, dijadikan sebagai momen untuk menggelar berbagai kegiatan untuk memperingatinya. Hal itu dijadikan pula sebagai bukti cinta kepada Rasulullah. Namun, berbagai momen kegiatan peringatan tersebut, hanya menjadi seremonial belaka. Tidak menghadirkan bentuk cinta yang sesungguhnya. Dalam pengakuan cinta kepada Nabi, berarti siap menjalankan segala syariat agama yang diemban-Nya.

Hampir di setiap masjid merayakan hari kelahiran Nabi Saw. Persiapan itu tentu membutuhkan pemikiran, tenaga, waktu dan materi. Tidak ketinggalan seni tampilan dari para santri pun menjadi bagian dari acara. Suka cita dari umat Islam begitu antusias. Tidak berat mengeluarkan uang untuk biaya acara tersebut, bahkan mengedarkan kencleng sekalipun dilakukan di tempat tinggal mereka masing-masing. 

Persiapan itu tentu membutuhkan pemikiran, tenaga, waktu dan materi. Namun, sering miris melihatnya disaat acara tersebut tidak  memiliki esensi. 

Gebyar yang meriah telah memuaskan para panitia. Membludaknya peserta yang hadir dengan alasan ingin melihat ustad idola pun telah membuat puas dan terlena, bahwa acara tersebut sukses.

Namun, sejatinya harus diperhatikan lagi. Seremonial peringatan telah berlalu dan tidak memberikan dampak positif bagi para mustami. Tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik. Cinta kepada Rasulullah Saw sejatinya cinta pula pada syariat-Nya. Sungguh tidak pantas ketika mengatakan cinta kepada Rasulullah Saw tetapi benci dengan syariat-Nya.

Ketika mengaku cinta kepada Rasulullah Saw, bukan hanya menggelar acara tahunan saja. Namun,  harusnya mencintai syariat-Nya, mempelajari, memahami dan mengamalkannya. Tidak mengusik wanita berjilbab dengan mengatakan ini Indonesia bukan Arab. Tidak mengusik wanita bercadar dengan sebutan teroris.

Sementara itu, cadar bagian dari syariat-Nya yang boleh dipakai. Cinta kepada Rasulullah Saw adalah bentuk ketaatan seorang hamba kepada-Nya.  Ridho terhadap aturan Allah, sebagai bentuk ketaatan seorang hamba kepada-Nya. Itulah cinta sesungguhnya pada Allah Swt, Rasulullah Saw, dan pada Islam yang sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Wallaahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post