Waspadai Cengkeraman Penjajah Dalam G20

Oleh : Uqie Naima
(Alumni BFW 212)

Beberapa waktu ysng lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan para pemimpin negara-negara G20 yang bertemu di Osaka Jepang, menginginkan adanya reformasi di dalam World Trade Organization (WTO). Terutama soal investasi dan perdagangan sebagai upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi global. Investasi dan perdagangan menjadi isu sangat penting, karena menyangkut bagian dari kebijakan ekonomi negara-negara anggota G-20 yang bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara global.

"Semua sepakat bahwa kita perlu melakukan reformasi, hampir semua mengatakan perlu adanya upaya menghilangkan atau mengurangi ketegangan perdagangan internasional tapi belum ada kesepakatan tentang bagaimana cara mencapainya," ujar Sri Mulyani dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Sabtu (29/6/2019).

Sri Mulyani menceritakan bahwa untuk menyelesaikan sengketa perdagangan, para pemimpin yang hadir menginginkan adanya reformasi di WTO. "Mungkin penekanannya berbeda-beda, tapi yang paling penting reformasi WTO mengenai dispute settlement (penyelesaian perselisihan), dibentuk mekanisme untuk menangani dispute settlement," jelasnya.
Dari pertemuan G20, Menkeu mengatakan belum ada kesepakatan mengurangi ketegangan perdagangan internasional yang telah menimbulkan ketidakpastian global. Meski demikian, Menkeu dan para delegasi lainnya berharap komunike G20 bisa mewadahi perbedaan dan membuat kesepakatan pernyataan bersama.
Agenda G20 merupakan salah satu perhelatan akbar antar pemimpin Asia yang secara khusus membahas masalah di bidang politik-ekonomi. 

Bermula pada 1998, krisis keuangan yang terjadi di kawasan Asia berdampak pada stabilitas makro-ekonomi dunia. Kala itu, organisasi tujuh negara ekonomi maju atau dikenal sebagai G7 dinilai gagal mencari solusi untuk meredam krisis ekonomi global.

Komunitas internasional terhadap G7 melahirkan aksi lanjutan. Saat itu, negara-negara berpendapatan menengah dan memiliki pengaruh ekonomi sistemik diikutsertakan dalam perundingan internasional guna mencari solusi permasalahan ekonomi global.

Pada akhirnya, perundingan tersebut menjadi cikal bakal lahirnya organisasi-organisasi Group of Twenty (G20) pada tahun 1999. G20 merupakan kelompok 20 ekonomi utama yang terdiri dari 19 negara dengan perekonomian besar di dunia ditambah dengan Uni Eropa.

Sejumlah negara yang termasuk dalam anggota G20 antara lain, Indonesia, Amerika Serikat (AS), Argentina, Brasil, Australia, Kanada, Meksiko, dan Turki. Selain itu, Korea Selatan, Jepang, China, Jerman, Inggris, India, Arab Saudi, Afrika Selatan, Italia, Perancis, Rusia, dan satu organisasi regional yaitu Uni Eropa (CNN Indonesia.com).

Sebagai forum ekonomi utama dunia, G20 memiliki posisi strategis, lantaran secara kolektif mewakili sekitar 65 persen penduduk dunia, 79 persen perdagangan global, dan setidaknya 85 persen perekonomian dunia. Setelah terbentuk, G20 rutin mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tiap tahunnya, dimulai dari KTT G20 perdana tahun 2009 di Pittsburgh, AS.

Khusus tahun ini, KTT G20 tengah berlangsung di Osaka, Jepang. Presiden Joko Widodo (Jokowi) berangkat ke negeri Sakura, Kamis (27/6) malam untuk bertemu dengan pemimpin negara lain di KTT G20.
Indonesia  menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masuk sebagai anggota G20. Bahkan, Indonesia kabarnya tercatat sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar ketiga di antara negara G20 pada kuartal I 2019, yakni sebesar 5,07 persen. Indonesia hanya kalah dari China sebesar 6,4 persen dan India sebesar 5,8 persen (CNN Indonesia.com).
Mencermati perjalanan lahirnya G20 dan statemen Menkeu Sri Mulyani di atas, ada rasa menggelitik dalam hati.  KTT G20 yang digelar di Osaka, Jepang bertujuan memulihkan sengketa perdagangan internasional antara AS dan China. Dua negara yang memiliki ambisi menguasai dunia, dengan dua ideologi berbeda, tapi sama-sana berbahaya terutama dalam tatanan bermasyarakat serta bernegara. Sudah tabiatnya sebuah ‘ideologi’ yang memiliki pengaruh untuk menguasai, menjadi nomor satu dan adidaya diantara negara dan ideologi yang lain, termasuk di dalamnya menguasai kekayaan alam negara berkembang, termasuk Indonesia. 
Dengan demikian mewaspadai  KTT G20 yang dapat mengarah pada  upaya meneguhkan posisi Indonesia dan negara berkembang lainnya sebagai objek dari proyek liberalisasi pasar global harus dilakukan. Pertemuan tersebut Lebih tepatnya disebut sebagai ‘legalisasi penjajahan.’ Maka berharap Indonesia mampu bersaing di tengah pasar internasional dengan ideologi kapitalis yang sedang berkuasa tentu utopis belaka. Pasalnya, Indonesia tidak memiliki ideologi yang jelas. Menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara, tapi realitasnya hampir semua tatanan kehidupan negeri ini sama persis dengan aktivitas pengusung ideologi kapitalis beserta turunannya (demokrasi, sekular-liberalis).

Perilaku bebas di kalangan remaja, penyimpangan para pelaku LGBT, penistaan agama, pengelolaan SDA di tangan swasta dan asing, penjualan aset-aset publik (BUMN salah satunya), adalah beberapa contoh kecil berlakunya liberalisasi di negeri ini. Berbeda lagi dalam ranah hukum dan pemerintahan. Undang-undang yang diterapkan adalah UU peninggalan penjajah Belanda, sementara UUD’45 yang dibangga-banggakan mampu menjadi  rujukan berbangsa dan bernegara nyatanya sekedar teori. Digunakan sesuai kebutuhan. Tak ada lagi perlindungan apalagi kenyamanan bagi umat. Rakyat mudah dijerat, dibungkam dengan berbagai pasal karet bahkan tak sedikit yang akhirnya menjadi pesakitan. Pertanyaannya, dimanakah makna demokrasi? Rakyat yang katanya berdaulat nyatanya mudah terjerat.

Peran serta Indonesia dalam KTT G20 bukanlah kebanggaan, mengingat penyelenggaraan KTT tersebut merupakan cara terselubung kaum kuffar (kafir Barat) menjajah dan menjarah. Begitu lihai dan liciknya mereka menjadikan Indonesia sebagai target cengkeraman kekuasaannya dalam bidang politik dan ekonomi. Ungkapan  “perekonomian Indonesia terbesar ketiga,” merupakan bentuk sanjungan palsu tanpa realitas. Carut marut kebijakan pemerintah di segala bidang plus utang luar negeri yang semakin menumpuk dengan latar belakang perjanjian dagang dan kerjasama internasional tak mungkin kita ingkari. Hal ini akan kembali terjadi manakala Indonesia terbuai dengan bujuk rayu penjajah dengan deal-deal politik pasca KTT di Jepang.

Mungkin tidak banyak orang yang mengetahui bahwa ideologi di dunia ada 3, yakni Kapitalis, Komunis dan Islam. Dua diantaranya lahir dari hawa nafsu manusia, sedang yang disebut terakhir lahir dari wahyu (Allah SWT). Ideologi kapitalis dan komunis memiliki aturan tak sempurna, cacat sejak lahir, terbelakang, berakhir dengan kerusakan dan kebinasaan di segala bidang. Siapapun negara yang mengusung ideologi ini akan mengundang bencana bertubi-tubi, tidak saja bagi pemimpinnya tapi juga rakyatnya. Sebut saja bencana aqidah, moral, sosial dan hukum. Pun demikian halnya ketika memaksakan kehendak bahwa solusi terhadap perseteruan dagang internasional harus diselesaikan ala kapitalis-sekular-liberal maaupun sosialis-komunis tak akan pernah solutif.

Islam sebagai ideologi yang lahir dari aturan Illahi, modern, sempurna, datang dari Dzat Yang Maha Sempurna telah memilki seperangkat aturan untuk manusia. Diterapkan dalam segala aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, hukum dan pemerintahan akan mampu memberikan kesejahteraan kepada umat. Muslim maupun non Muslim. Maka bagaimana mungkin manusia bisa begitu bangga dengan aturan  Jahiliyyah? Bersikukuh dengan aturan buatan manusia yang jelas-jelas lemah dan terbatas, padahal Allah SWT telah mengingatkan dalam FirmanNya  dalam TQS. Al- Maidah [5] : 49-50,

“Dan hendaklah kalian memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu mereka dan berhati-hatilah kalian terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kalian dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepada kamu. Jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik [49]. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? [50]”

Ayat di atas mengisyaratkan kepada kita sesungguhnya tak pantas dan tak layak kiranya menjadikan hukum (aturan) selain Allah diikuti, terlebih lagi aturan dari orang-orang kafir (Nashrani-Yahudi). Karena bagaimanapun mereka tidak akan pernah ridha kepada kaum Muslimin hingga mengikuti millah (jalan) mereka (QS. Al-Baqarah [2] : 120). 

Kegigihan kaum kuffar, baik Yahudi ataupun Nasrani dalam rangka menghancurkan kaum Muslim dalam segala bidang akan terus dilakukan dengan berbagai cara dan kemasan. Tidak perlu dengan perang secara fisik tapi cukup dengan serangan pemikiran yang dihembuskan ke sejumlah pemimpin Muslim. Namun, kegigihan mereka tidak akan bertahan lama sekiranya umat islam diseluruh penjuru dunia faham akan pentingnya syariat Islam diterapkan. Kegigihan mereka akan mampu dihancurkan manakala kaum Muslim bersatu padu menguatkan barisan dakwah, berjuang menegakkan aturan Islam dalam sebuah Institusi Islam sesuai metode Rasulullah Saw yakni Daulah Khilafah Rasyidah.
Wallahu a’lam bi ash-Shawab.
Previous Post Next Post