Mimpi Berdaulat Pangan di Negeri Agraris

Oleh: Safiatuz Zuhriyah, S.Kom
Aktivis Pergerakan Muslimah

"Cintailah produk-produk Indonesia". Rasanya, slogan ini hanya akan menjadi kalimat usang yang asing di telinga generasi mendatang. Dikarenakan minimnya keberpihakan pemerintah terhadap produk dalam negeri. Jangankan memberi insentif, penguasa negeri ini malah lebih memilih impor daripada memberdayakan petani lokal.

Janji Tanpa Bukti

Dilansir dari tirto.id edisi 09 Januari 2019, Kementerian Perdagangan memastikan Indonesia akan kedatangan 60 ribu ton jagung impor hingga Maret 2019. Jumlah ini diperoleh setelah pemerintah memutuskan menambah impor jagung untuk kebutuhan pakan ternak sebanyak 30 ribu ton, Februari mendatang.
Pertimbangan untuk menambah impor jagung, kata Oke, dilihat dari kebutuhan konsumsi para pengusaha ternak mandiri. “Jadi sedang diusulkan untuk itu [tambah impor 30 ribu ton]. Menurut rakortas harus tambah,” kata Oke, di Kementerian Perdagangan, Senin lalu.

Namun, Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Muslim Arbi menampik bila Indonesia tengah membutuhkan impor jagung. Menurut dia, produksi jagung lokal masih dapat mencukupi kebutuhan di daerah-daerah. Bahkan, kata Anton, jumlahnya sedang surplus. Hal ini senada dengan rilis Kementerian Pertanian, pada 2019 produksi jagung diperkirakan mencapai 29,9 juta ton dan konsumsi 21,6 juta ton. Jumlah ini diprediksi naik dibanding tahun 2018 dengan jumlah produksi 28,6 juta ton dan konsumsi 20,3 juta ton. Keduanya memiliki neraca jagung surplus sebanyak 6,7 juta ton.

Dikhawatirkan, keputusan impor Kemendag mendekati masa panen raya ini bisa memukul petani lokal karena menyebabkan para petani kesulitan menjual hasil panennya. Kondisi ini menunjukkan pemerintah tidak serius menangani urusan pangan. Padahal pada 2014 lalu, Presiden Jokowi telah berjanji akan menghentikan impor dan mewujudkan kedaulatan pangan.

Nyatanya, janji ini tidak diiringi dengan langkah-langkah kongkret untuk mewujudkannya. Impor tetap dilakukan meskipun para petani lokal menjerit. Lalu siapa yang diuntungkan oleh kebijakan impor ini? Tidak lain para importir -yang notabene adalah para cukong pendukung penguasa- dan negara eksportir.

Sangat disayangkan, Indonesia yang merupakan negara agraris malah menjadi pengimpor pangan. Negara yang disebut memiliki 'tanah surga' oleh Koes Plus karena tongkat, kayu dan batu jadi tanaman, rakyatnya malah kelaparan. Bagaikan tikus mati di lumbung padi.

Untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada impor, memang diperlukan negara yang bervisi jelas. Bukan negara pengekor yang mudah didikte asing. Ketidakjelasan visi negara ini membuat rakyat jadi korban. Sebagai tumbal atas beratnya tekanan asing, yaitu negara-negara kapitalis yang lebih kuat. Rakyat terpaksa harus menerima kenyataan bahwa negara tidak lagi berada di pihak mereka dan membela kepentingan rakyat kecil. Tetapi lebih memilih tunduk kepada kepentingan asing dengan membuka kran impor.

Pemerintah juga harus bekerja sungguh-sungguh sebagai pelayan umat, bukan pebisnis. Sebagai pelayan, maka ia akan melakukan berbagai cara supaya kebutuhan rakyatnya terpenuhi, bukan malah mencari keuntungan sebesar-besarnya dari rakyat.

Islam Mendorong Terwujudnya Kedaulatan Pangan

Islam memberikan perhatian serius terhadap masalah pangan ini dengan mendorong tiap individu untuk menanam pohon yang menghasilkan makanan. Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah seorang youmuslim menanam suatu tanaman melainkan apa yang dimakan dari tanaman itu sebagai sedekah baginya, dan apa yang dicuri dari tanaman tersebut sebagai sedekah baginya dan tidaklah kepunyaan seorang itu dikurangi melainkan menjadi sedekah baginya.” (HR. Imam Muslim Hadits no.1552).

Selain dorongan kepada individu, peran negara sebagai pemelihara urusan umat dan menjalankan ekonomi Islam juga sangat penting.

Sebagai pemelihara urusan umat, maka negara berusaha memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri secara mandiri karena pangan merupakan kebutuhan pokok tiap individu dan penentu kedaulatan negara. Bila kebutuhan vital ini tercukupi, maka tidak ada negara lain yang bisa memaksakan kehendaknya. Negara akan melakukan berbagai upaya supaya hal ini terwujud, yaitu berupa:

1. Ekstensifikasi pertanian
Dengan cara mengambil alih lahan-lahan terlantar dan memberikan hak kepada orang yang mampu untuk mengolahnya. Islam juga mengakui mekanisme menghidupkan tanah mati, yaitu memagari dan mengolah tanah yang belum ada pemiliknya, sebagai salah satu sebab kepemilikan. Dengan demikian, semua lahan menjadi produktif.

2. Intensifikasi Pertanian
Dilakukan dengan cara pembinaan kepada para petani supaya bisa menggunakan bibit unggul, penggunaan pupuk, obat-obatan, saprotan, teknik budi daya, teknik produksi yang lebih efisien, dan sebagainya. Intensifikasi pertanian ini didukung dengan adanya riset dari para ahli.

3. Pembangunan Infrastruktur Pendukung
Infrastruktur yang berperan penting dalam pertanian adalah irigasi dan sarana jalan raya untuk mengangkut hasil pertanian.
Pada masa Kekhalifahan Bani Umayyah, telah dibangun irigasi-irigasi canggih dan terkenal di Irak. Sistem jaringan irigasi ini kemudian dibawa ke Spanyol pada waktu Islam berkuasa di sana. Pompa-pompa juga dikembangkan untuk mendukung lancarnya saluran irigasi. Awalnya digunakan pompa ungkit, kemudian ditemukan pompa yang digerakkan dengan tenaga hewan, dan yang paling fenomenal adalah penggunaan kincir angin sejak abad ke 9 M untuk mengangkat air sungai dan terintegrasi dengan penggilingan.
Jalan raya juga terus dibangun sampai ke pelosok dan ditingkatkan kualitasnya sejak masa Umar bin Khatab.

Sedangkan dalam bidang ekonomi secara umum, diterapkan prinsip-prinsip ekonomi Islam yang berkeadilan dan berdaulat.

Berkeadilan maksudnya adalah bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, baik yang kaya maupun yang miskin. Semua punya hak yang sama dengan adanya kemudahan melakukan kegiatan ekonomi dan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok.

Berdaulat maksudnya adalah negara selalu menjaga kepentingan ekonomi warga negara dan menghilangkan ketergantungan kepada asing. Dengan demikian, negara bisa berdaulat penuh atas semua kebijakan yang diambilnya, tanpa campur tangan asing.

Hasilnya, kaum muslimin berhasil meraih kegemilangan dalam bidang pangan dan memberikan kontribusi besar bagi kesejahteraan umat manusia selama berabad-abad. Melimpahnya bahan pangan yang dihasilkan, tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri saja, tetapi bisa juga dikirim ke berbagai penjuru dunia. Baik untuk keperluan perdagangan luar negeri maupun untuk tujuan kemanusiaan.

Kondisi majunya pertanian dan berlimpahnya bahan pangan tersebut, sangat mungkin terjadi juga di Indonesia. Yaitu dengan mengadopsi pemikiran Islam dan menerapkannya dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian, asa untuk berdaulat pangan di negeri agraris ini bukan lagi mimpi.
Previous Post Next Post