Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty Aktivis (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Miris. Hujan semalam (04-03-205) di wilayah jabodetabek dan sekitarnya telah meluapkan air ke mana pun dia suka. Bukan lagi hanya menggenangi, namun membenamkan sebagian permukiman penduduk. Paparan air tak terbendung. Tak tertahan hingga siapa pun tak berdaya.
Sejumlah permukiman warga di bantaran Sungai Ciliwung, Kota Depok, terendam banjir, sejak Minggu, 2 Maret 2025. Salah satunya permukiman warga di RW 01 dan 02, Kelurahan Pondok Cina (Pocin), Kecamatan Beji. Banjir merendam sejumlah titik di bantaran Sungai Ciliwung setelah hujan deras mengguyur Kota Depok pada Minggu, 2 Maret 2025 dari sore hingga malam hari (kabaralam.com, 04-03-2025).
Demikian juga kawasan Puncak, Bogor, dilanda banjir akibat intensitas hujan yang tinggi, Minggu (2/3/2025) malam. Hujan lebat yang mengguyur wilayah tersebut menyebabkan air sungai meluap, menggenangi pemukiman warga di Kecamatan Cisarua dan mengakibatkan sejumlah jembatan penghubung terputus. Banjir juga mengganggu lalu lintas di Jalan Raya Puncak, mempersulit pengendara yang melintas (tribunnews.com, 03-03-2025)
Riil. Sebagian besar wilayah di Indonesia kebanjiran. Satu persatu tiap wilayah mengalami hal yang sama.
Memahami Penyebab
Belum lepas dari ingatan kita bencana yang terjadi di berbagai daerah karena air yang meluap, korban berjatuhan di mana-mana.
Jika ditelisik dan ditelusuri dengan jeli, maka apa yang terjadi bukanlah kejadian yang muncul tanpa adanya sebab akibat. Apa yang terjadi ternyata terkait dengan perbuatan manusia yang tdk lepas dari kebijakan sistem yang ada, terjadinya banjir banyak faktor-faktor penyebabnya, baik karena banjir faktor alam dan faktor perbuatan manusia, namun jika faktor alam tidak diganggu manusia, maka air akan kembali pada tempat yang seharusnya. Air adalah siklus teratur yang dia akan menempati dan berputar kembali dalam suatu siklus yang tidak merusak. Namun mengapa akhirnya menjadi merusak atau menjadi bencana, ada hal yang menyebabkannya antara lain (ACT, 26-10-2016):
Pendangkalan sungai akibat sampah. Sungai-sungai yang dulunya dalam lama-lama menjadi dangkal akibat pembuangan sampah yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Sungai yang dangkal menyebabkan meluap ke pemukiman pada saat hujan deras.
Perusakan lahan. Seperti yang terjadi di beberapa wilayah, banyak kejadian banjir dan tanah longsor karena ulah perusakan lahan untuk penambangan liar. Tanah yang seharusnya jadi penahan air menjadi tergerus dan menyebabkan banjir.
Penebangan hutan. Hutan berfungsi sangat penting sebagai daerah resapan air, menyimpan air hujan kemudian mengalirkan kepada manusia melalui bentuk air tanah. Bila hutan terus ditebangi secara liar akan menimbulkan banjir bagi kawasan daerah tersebut, dengan banjir yang terus terjadi dengan skala besar maka ada kemungkinan menyebabkan tanah longsor.
Permukiman sembarangan. Seperti di Jakarta yang sering terjadi banjir, pemukiman sembrangan menjadi faktor penyebab banjir yang utama akibat meluapnya aliran sungai yang terhambat. Seperti rumah-rumah di bantaran yang pasti menjadi penyumbang sampah terbesar yang menjadi penghambat dan pendangkalan.
Hal-hal tersebut di atas sekalipun disampaikan ACT tahun 2016, tetap menjadi faktor berulang penyebab terjadi salah satunya bencana banjir. Kesalahan penataan tata ruang menyumbang kesalahan munculnya banjir. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan tata ruang dan semua punya andil dalam hal tersebut. Lemahnya pengawasan dan penertiban, tidak ada peraturan yang cukup jelas, tidak adanya sinkronisasi perijinan, perilaku kolusip oknum, ketidak adilan rencana kota, prosedur perizinan yang berbelit-belit, dan terpaksa karena tidak punya pilihan.
Berikutnya juga karena pengelolaan lahan, eksploitasi SDA yang tidak semestinya turut menjadi andil dalam kemunculan musibah di negeri ini. Selama Musim hujan hampir tidak ada wilayah di Indonesia yang tidak terimbas banjir. Mulai dari wilayah-wilayah di Pulau Sumatera, Pulau Djawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat,Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku, serta Papua. Selain karena wilayah tersebut yang secara potensi memang merupakan daerah banjir-lihat pendekatan landsystem untuk rawan banjir-juga karena eksploitasi hutan berlebihan.
Dari faktor-faktor penyebab terjadinya banjir yang sangatlah beragam, beberapa di antaranya adalah terjadinya kerusakan hutan yang dikarenakan eksploitasi hutan, illegal logging, pembalakan liar, kebakaran lahan, dan lain sebagainya. Kemudian adanya kesalahan peruntukan kawasan, dengan bukti nyatanya yaitu banyaknya lahan tangkapan air yang kini mengalami pembukaan, sehingga banyak perluasan lahan terbuka. Contoh konkritnya yakni, banyaknya pembangunan perumahan dan ruko di berbagai daerah di yang diawali dengan pengerukan gunung dan pengurukan daerah tangkapan air.
Penyebab lainnya adalah pembuangan sampah secara serampangan oleh masyarakat, apalagi jika membuang di daerah sungai, maka turut memberi andil semakin parahnya banjir yang terjadi. Selain itu, bisa juga dikarenakan adanya ketidaksesuaian antara kapasitas tampungan sungai dengan limpasan air yang masuk ke sungai. Penyebab yang paling alamiah adalah adanya intensitas curah hujan yang tinggi sehingga jumlah debit air yang jatuh juga sangat tinggi, yang saat ini menjadi suatu fenomena yang ada di Indonesia. Semuanya itu tentulah tidak akan terjadi jika kebijakan sistem yang ada mampu memberikan solusi terbaik.
Namun sistem demokrasi lebih memenangkan kaum kapitalis, sehingga semua peruntukkan tidak lagi melihat kemaslahatan umat secara menyeluruh, namun hanya memperuntukkan bagi segelintir orang "The have"-ciri kapitalis-pengusaha karib penguasa. Semua pengelolaan bumi ini tidak lagi pada tempat dan cara yang seharusnya. Namun hanya pada keuntungan yang merugikan umat manusia. Keuntungan bagi kaum kapitalis penikmat sistem demokrasi. Bagaimana dengan leluasa mencaplok sesuka-sukanya wilayah manapun yang menguntungkan baginya tanpa melihat dampak yang akan terjadi. Yang dilihat hanya eksploitasi keuntungan dengan mengeksploitasi SDA milik umum secara serakah.
Hilangnya edukasi negara terhadap rakyat untuk memelihara, mencintai, mengelola bumi yang dipijaknya dan membabat keserakahan menjadikan bencana ini pun datang bertubi-tubi. Penjagaan keimanan warga negara menjadi faktor terbesar yang terabaikan. Keterikatan pada hukum dari Sang Pemilik Bumi ini begitu longgar dan tereliminir oleh kepentingan kepentingan kapitalis berbasis materi dan keuntungan semata.
Berkah bukanlah Musibah
Hujan merupakan salah satu perkara terpenting bagi kehidupan makhluk hidup di muka bumi. Ia merupakan sebuah prasyarat bagi kelanjutan aktivitas di suatu tempat, tidak hanya manusia, tapi hampir semua makhluk. Hujan juga memiliki peranan penting bagi semua makhluk hidup, termasuk manusia–disebutkan pada beberapa ayat dalam Al Quran.
Dalam al-Quran Surat Az-Zukhruf, Allah berfirman bahwa hujan dinyatakan sebagai air yang diturunkan dalam “ukuran tertentu”.
“Dan yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur).” (QS: Az-Zukhruf : 11)
Allah telah menurunkan hujan sebagai rahmat di saat diperlukan oleh seluruh makhluk. Allah pula menurunkan hujan agar banyak orang mendapat kegembiraan setelah bertahun-tahun hampIr putus asa menunggu. Karena itu, al-Quran menyebut hujan sebagai rahmat dan berkah, bukan musibah
“Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.” (QS: Asy-Syuura [41] : 28).
Dengan mengirim hujan, Allah menyuburkan tanaman-tanaman yang dibutuhkan manusia dan semua mahkluk yang hidup di bumi, menumbukan pepohonan dan buah-buahan dan biji tanaman yang dibutuhkan manusia.
“Dan Kami turunkan dari langit air yang penuh keberkahan lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam.” (QS: Qaaf (50) : 9).
Yang dimaksud keberkahan di sini adalah turunnya hujan, lebih banyak melahirkan kebaikan (manfaat), daripada mudharatnya (keburukan).
Di antara keberkahan dan manfaat hujan adalah manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan sangat memerlukannya untuk keberlangsungan hidup, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?.” (QS. Al Anbiya’ (21) : 30).
Al Baghowi menafsirkan ayat ini, “Kami menghidupkan segala sesuatu menjadi hidup dengan air yang turun dari langit yaitu menghidupkan hewan, tanaman dan pepohonan. Air hujan inilah sebab hidupnya segala sesuatu.”
Jadi jika hujan akhir-akhir ini selalu melahirkan musibah dan bencana, itu bukan salah Allah, tetapi al-Quran banyak menyitir datangnya musibah lebih banyak karena kesalahan manusia itu sendiri.
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar). Katakanlah (Muhammad), “Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (Q.S. Ar Rum (30) : 41-42)
Perilaku buruk manusia yang didukung oleh HAM dan demokrasi dalam pembangunan yang lebih mementingkan dirinya sendiri, serakah tak terkendali, yang tidak melihat dampak-dampak lain menyebakan datangnya hujan seharusnya jadi berkah justru menjadi musibah.
Saatnya Kembali
Sistem Islam adalah sistem yang paripurna yang terlahir dari Yang MahaSempurna, Allah Swt, yang niscaya melahirkan Rahmat bagi seluruh alam. Tentunya sistem ini tidak memberi peluang pada sumber kerusakan apa pun yang akan menyesengsarakan manusia. Termasuk di dalamnya yang terkait dengan hujan sebagai berkah. Islam dalam sistem Khilafah selalu memberikan solusi bijak yang pasti akan memberi solusi terbaiknya.
Untuk mengatasi banjir dan genangan, Khilafah Islamiyyah memiliki kebijakan canggih dan efisien. Kebijakan tersebut mencakup sebelum, ketika, dan pasca banjir. Kebijakan untuk mencegah terjadinya banjir dapat disarikan sebagai berikut(hibuttahrir.or.id):
Pertama, pada kasus banjir yang disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletsyer, rob, dan lain sebagainya, maka Khilafah akan menempuh upaya-upaya sebagai berikut;
Membangun bendungan-bendungan yang mampu menampung curahan air dari aliran sungai, curah hujan, dan lain sebagainya. Di masa keemasan Islam, bendungan-bendungan dengan berbagai macam tipe telah dibangun untuk mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi. Di Provinsi Khuzestan, daerah Iran selatan misalnya, masih berdiri dengan kokoh bendungan-bendungan yang dibangun untuk kepentingan irigasi dan pencegahan banjir. Bendungan-bendungan tersebut di antaranya adalah bendungan Shadravan, Kanal Darian, Bendungan Jareh, Kanal Gargar, dan Bendungan Mizan. Di dekat Kota Madinah Munawarah, terdapat bendungan yang bernama Qusaybah. Bendungan ini memiliki kedalaman 30 meter dan panjang 205 meter. Bendungan ini dibangun untuk mengatasi banjir di Kota Madinah. Di masa kekhilafahan ‘Abbasiyyah, dibangun beberapa bendungan di Kota Baghdad, Irak. Bendungan-bendungan itu terletak di sungai Tigris. Pada abad ke 13 Masehi, di Iran dibangun bendungan Kebar yang hingga kini masih bisa disaksikan. Di wilayah Afghanistan, kini terdapat tiga buah bendungan yang dibangun oleh Sultan Mahmud Ghaznah (998-1030 Masehi). Satu di antara tiga bendungan itu dinamakan dengan Bendungan Mahmud, dengan tinggi 32 meter dan panjang 220 meter. Bendungan ini terletak di 100 km dari Kabul.Model bendungan yang dibangun oleh insinyur Muslim pun beragam. Bahkan, model-model bendungan modern banyak mengadopsi model bendungan yang diciptakan oleh kaum Muslim. Bendungan dengan model bridge dam(bendungan jembatan) dapat ditemukan di daerah Dezful, Iran. Bridge dam digunakan untuk menggerakkan roda air yang bekerja dengan mekanisme peningkatan air. Bendungan jembatan Dezful mampu menyuplai 50 kubik air untuk kepentingan warga Dezful. Bendungan seperti ini juga dibangun di kota-kota Islam lainnya.Bendungan pengatur air (diversion dam) juga berhasil dibangun oleh sarjana-sarjana Muslim. Bendungan ini difungsikan untuk mengatur atau mengalihkan aliran air. Bendungan pengatur air pertama kali dibangun di sungai Uzaym, di Jabal Hamrin, Irak. Setelah itu, bendungan model ini dibangun di daerah-daerah lain di negeri Islam. Pada tahun 970 Masehi, orang-orang Yaman berhasil membangun bendungan Parada dekat Madrid, Spanyol. Hingga kini, bendungan-bendungan yang dibangun pada masa keemasan kekhilafahan Islam, masih bisa dijumpai di Kota Kordoba. Di antara bendungan masyhur di Kordoba adalah bendungan Guadalviqir yang diarsiteki oleh al-Idrisi. Bendungan ini didesain sedemikian rupa hingga bisa difungsikan untuk alat penggilingan hingga sekarang. Di daerah Spanyol, kaum Muslim juga berhasil membangun bendungan di sungai Turia, yang mana, kehebatan konstruksinya mampu membuat bendungan ini bertahan hingga sekarang. Bendungan ini mampu memenuhi kebutuhan irigasi di Valencia, Spanyol tanpa memerlukan penambahan sistem. Pada tahun 370 H/960 M, Buwayyah Amir Adud al-Daulah membuat bendungan hidrolik raksasa di sungai Kur, Iran. Insinyur-insinyur yang bekerja saat itu, menutup sungai antara Shiraz dan Istakhir, dengan tembok besar (bendungan) sehingga membentuk danau raksasa. Di kedua sisi danau itu dibangun 10 noria (mesin kincir yang di sisinya terdapat timba yang bisa menaikkan air). Dan setiap noria terdapat sebuah penggilingan. Dari bendungan itu air dialirkan melalui kanal-kanal dan mengairi 300 desa. Di daerah sekitar 100 km dari kota Qayrawan, Tunisia, dibangun dua waduk yang menampung air dari wadi Mari al-Lil. Waduk kecil difungsikan sebagai tangki penunjang serta tempat pengendapan lumpur. Sedangkan waduk besar memiliki 48 sisi dengan beton penyangga bulat di setiap sudutnya berdiameter dalam 130 meter, kedalaman 8 meter.
Khilafah akan memetakan daerah-daerah rendah yang rawan terkena genangan air (akibat rob, kapasitas serapan tanah yang minim dan lain-lain), dan selanjutnya membuat kebijakan melarang masyarakat membangun pemukiman di wilayah-wilayah tersebut; atau jika ada pendanaan yang cukup, Khilafah akan membangun kanal-kanal baru atau resapan agar air yang mengalir di daerah tersebut bisa dialihkan alirannya, atau bisa diserap oleh tanah secara maksimal. Dengan cara ini, maka daerah-daerah dataran rendah bisa terhindar dari banjir atau genangan. Adapun daerah-daerah pemukiman yang awalnya aman dari banjir dan genangan, namun karena sebab-sebab tertentu terjadi penurunan tanah, sehingga terkena genangan atau banjir, maka Khilafah akan berusaha semaksimal mungkin menangani genangan itu, dan jika tidak mungkin Khilafah akan mengavakuasi penduduk di daerah itu dan dipindahkan ke daerah lain dengan memberikan ganti rugi atau kompensasi kepada mereka.
Khilafah membangun kanal, sungai buatan, saluran drainase, atau apa namanya untuk mengurangi dan memecah penumpukan volume air; atau untuk mengalihkan aliran air ke daerah lain yang lebih aman. Secara berkala, Khilafah mengeruk lumpur-lumpur di sungai, atau daerah aliran air, agar tidak terjadi pendangkalan. Tidak hanya itu saja, Khilafah juga akan melakukan penjagaan yang sangat ketat bagi kebersihan sungai, danau, dan kanal, dengan cara memberikan sanksi bagi siapa saja yang mengotori atau mencemari sungai, kanal, atau danau.
Membangun sumur-sumur resapan di kawasan tertentu. Sumur-sumur ini, selain untuk resapan, juga digunakan untuk tandon air yang sewaktu-waktu bisa digunakan, terutama jika musim kemarau atau paceklik air.
Kedua, dalam aspek undang-undang dan kebijakan, Khilafah akan menggariskan beberapa hal penting berikut ini:
Khilafah membuat kebijakan tentang master plan, di mana dalam kebijakan tersebut ditetapkan sebuah kebijakan sebagai berikut; (1) pembukaan pemukiman, atau kawasan baru, harus menyertakan variabel-variabel drainase, penyediaan daerah serapan air, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya. Dengan kebijakan ini, Khilafah mampu mencegah kemungkinan terjadinya banjir atau genangan.
Khilafah akan mengeluarkan syarat-syarat tentang izin pembangunan bangunan. Jika seseorang hendak membangun sebuah bangunan, baik rumah, toko, dan lain sebagainya, maka ia harus memperhatikan syarat-syarat tersebut. Hanya saja, Khilafah tidak menyulitkan rakyat yang hendak membangun sebuah bangunan. Bahkan Khilafah akan menyederhanakan birokrasi, dan menggratiskan surat izin pendirian bangunan bagi siapa saja yang hendak membangun bangunan. Hanya saja, jika pendirian bangunan di lahan pribadi atau lahan umum, bisa mengantarkan bahaya (madlarah), maka Khalifah diberi hak untuk tidak menerbitkan izin pendirian bangunan. Ketetapan ini merupakan implementasi kaedah ushul fikih al-dlararu yuzaalu (bahaya itu harus dihilangkan). Khilafah juga akan memberi sanksi bagi siapa saja yang melanggar kebijakan tersebut tanpa pernah pandang bulu.
Khilafah akan membentuk badan khusus yang menangani bencana-bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat, evakuasi, pengobatan, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana. Selain dilengkapi dengan peralatan canggih, petugas-petugas lapangan juga dilengkapi dengan pengetahuan yang cukup tentang SAR (search dan rescue), serta ketrampilan yang dibutuhkan untuk penanganan korban bencana alam. Mereka diharuskan siap sedia setiap saat, dan dibiasakan untuk bergerak cepat ketika ada bencana atau musibah.
Khilafah menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai daerah cagar alam yang harus dilindungi. Khilafah juga menetapkan kawasan hutan lindung, dan kawasan buffer yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan izin. Khilafah menetapkan sanksi berat bagi siapa saja yang merusak lingkungan hidup tanpa pernah pandang bulu.
Khilafah terus menerus menyosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, serta kewajiban memelihara lingkungan dari kerusakan. Ketetapan ini didasarkan ketetapan syariat mengenai dorongan berlaku hidup bersih dan tidak membuat kerusakan di muka bumi. Khilafah juga mendorong kaum Muslim untuk menghidupkan tanah-tanah mati (ihyaa’ al-mawaat) atau kurang produktif, sehingga bisa menjadi buffer lingkungan yang kokoh.
Ketiga, dalam menangani korban-korban bencana alam, Khilafah akan segera bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana. Khilafah menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai. Selain itu, Khalifah akan mengerahkan para alim ulama untuk memberikan taushiyyah-taushiyyah bagi korban agar mereka mengambil peldalam menangani korban-korban bencana alam, Khilafah akan segera bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana. Khilafah menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai. Selain itu, Khalifah akan mengerahkan para alim ulama untuk memberikan taushiyyah-taushiyyah bagi korban agar mereka mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa mereka, sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah swt.
Inilah kebijakan Khilafah Islamiyyah mengatasi banjir. Kebijakan tersebut tidak saja didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional, tetapi juga disangga oleh nash-nash syariat. Dengan kebijakan ini, in syaa Allaah, hujan tetaplah menjadi berkah bagi seluruh alam bukanlah musibah. Sudah saatnya kembali pada sistem Allah dan berhukum dengan hukum Allah, yakinlah Indonesia dan seluruh dunia akan selamat.
Wallahu a'lam bi Asshawaab.
COMMENTS