Oleh: Jelvina Rizka
Ketika sekulerisme diterapkan sebagai landasan sistem kehidupan, nilai-nilai agama dipisahkan dari ruang publik dan digantikan oleh logika materialisme. Akibatnya, generasi yang lahir dari sistem ini cenderung kehilangan nurani kemanusiaan. Mereka dididik untuk mengejar keuntungan semata tanpa mempertimbangkan nilai moral atau dampak sosial. Dalam dunia yang diatur oleh kapitalisme, penghargaan terhadap manusia diukur dari produktivitas dan kekayaan, bukan dari akhlak atau kontribusi kebaikan. Tak heran jika kekerasan, kejahatan, dan perilaku tak berperikemanusiaan semakin marak, mencerminkan hasil dari sistem yang menyingkirkan peran agama sebagai pembimbing moral.
Dikutip dari Jakarta, Beritasatu.com – Seorang remaja berusia 14 tahun membunuh ayah dan nenek serta menikam ibunya dengan senjata tajam di rumah mereka di Jalan Lebak Bulus I, Cilandak, Jakarta Selatan, Sabtu (30/11/2024) dini hari. Pelaku berinisial MAS tersebut langsung diamankan petugas keamanan perumahan saat berusaha melarikan diri, sementara sang ibu yang mengalami luka tusuk dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis. Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan AKBP Gogo Galesung menyampaikan, MAS pada awalnya mengambil pisau di dapur dan masuk ke kamar ayah dan ibunya. Kemudian, MAS langsung menusuk sang ayah yang sedang dalam kondisi tidur.
Fakta menunjukkan bahwa pendidikan berbasis sekularisme yang diterapkan di banyak negara telah gagal mencetak generasi dengan karakter kuat dan bermoral tinggi. Kurikulum yang lebih menitikberatkan pada aspek kognitif dan prestasi akademik semata sering kali mengabaikan pembentukan akhlak dan spiritualitas. Akibatnya, banyak anak muda yang tumbuh menjadi pribadi individualistis, hedonis, dan kehilangan rasa empati. Data meningkatnya kasus bullying, kekerasan remaja, hingga maraknya perilaku amoral seperti penyalahgunaan narkoba dan pergaulan bebas menjadi bukti nyata dampak buruk dari pendidikan yang memisahkan agama dari kehidupan. Alih-alih melahirkan generasi pemimpin yang berintegritas, pendidikan sekuler justru mencetak generasi yang mudah terpengaruh oleh budaya kapitalisme dan konsumerisme.
Sistem sekuler secara fundamental membentuk karakter generasi dengan memisahkan nilai-nilai agama dari seluruh aspek kehidupan, termasuk pendidikan, ekonomi, dan sosial. Dalam sistem ini, manusia dididik untuk melihat kehidupan dari kacamata materialisme dan pragmatisme, mengabaikan nilai-nilai spiritual sebagai pedoman. Generasi yang tumbuh dalam lingkungan sekuler cenderung menjadikan kesuksesan duniawi sebagai tujuan utama, mengesampingkan tanggung jawab moral dan sosial. Akhlak, empati, dan kepedulian terhadap sesama dianggap kurang relevan karena sistem ini lebih mendorong kompetisi individu daripada kolaborasi berbasis nilai. Akibatnya, karakter generasi menjadi dangkal, rentan terhadap pengaruh budaya permisif, dan kehilangan visi hidup yang mulia.
Fenomena ini diperparah oleh abainya negara dan para pemimpin dalam menerapkan sistem kehidupan yang menyeluruh dan berlandaskan agama. Alih-alih menjadikan agama sebagai panduan untuk mengatur segala aspek kehidupan, mereka justru membiarkan ideologi sekuler mendominasi. Negara yang seharusnya bertanggung jawab untuk menciptakan generasi berkualitas malah menyerahkan pendidikan dan pembentukan karakter kepada tangan kapitalisme. Sistem pendidikan menjadi ladang bisnis, sementara kebijakan ekonomi dan sosial lebih berpihak pada korporasi daripada masyarakat. Tanpa aturan berbasis agama yang menyeluruh, kebijakan yang dibuat hanya bersifat parsial dan reaktif, tidak mampu menyentuh akar masalah. Inilah yang menyebabkan generasi saat ini tumbuh dalam kondisi moral yang rapuh, tanpa arah jelas untuk mencapai kehidupan yang benar-benar bermakna.
Sebaliknya, dalam sejarah kekhilafahan Islam, negara bertanggung jawab penuh dalam membentuk karakter generasi melalui penerapan sistem kehidupan yang menyeluruh dan berlandaskan syariat Islam. Salah satu contohnya adalah pada masa Khalifah Umar bin Khattab, di mana pendidikan dan kesejahteraan masyarakat menjadi prioritas negara. Negara memastikan bahwa kurikulum pendidikan tidak hanya mengajarkan ilmu duniawi tetapi juga menanamkan akhlak mulia, ketakwaan, dan tanggung jawab sosial. Anak-anak diajarkan untuk menghormati orang tua, membantu sesama, dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap masyarakat dan agamanya.
Selain itu, kebijakan ekonomi dan sosial yang diterapkan Khalifah sangat mendukung pembentukan generasi berkualitas. Misalnya, Khalifah Umar menerapkan sistem distribusi kekayaan yang adil melalui baitul mal, memastikan tidak ada rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Dengan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat, generasi muda memiliki ruang untuk berkembang dalam suasana yang kondusif, tanpa harus terbebani oleh tekanan hidup. Bahkan, pendidikan diberikan secara cuma-cuma, sehingga masyarakat dari semua lapisan dapat mengakses ilmu pengetahuan tanpa diskriminasi.
Hasilnya, lahirlah generasi yang tidak hanya unggul dalam keilmuan tetapi juga memiliki akhlak yang luhur, seperti Imam Syafi’i, Imam Al-Bukhari, dan banyak ulama besar lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ketika negara berperan aktif dalam menerapkan sistem Islam secara menyeluruh, generasi yang dihasilkan tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga kuat secara moral dan spiritual.
Islam secara tegas menetapkan tanggung jawab negara dan umat dalam membangun generasi yang berakhlak mulia dan berkualitas. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim: 6). Ayat ini menunjukkan bahwa pendidikan moral dan spiritual adalah kewajiban utama setiap individu, yang harus didukung oleh negara dalam sistem yang menyeluruh.
Rasulullah SAW juga bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya…” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menegaskan bahwa pemimpin, termasuk negara, memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk karakter generasi melalui kebijakan yang sesuai dengan syariat Islam.
Dalam Islam, pendidikan dan pembangunan generasi tidak hanya terbatas pada aspek kognitif, tetapi juga menyentuh aspek akhlak, spiritualitas, dan keterampilan hidup. Sistem Islam menawarkan:
1. Kurikulum Berbasis Aqidah Islam: Pendidikan berfungsi untuk menanamkan keimanan yang kokoh, membentuk akhlak mulia, serta mengembangkan potensi individu dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan yang halal dan bermanfaat.
2. Kesejahteraan Sosial dan Ekonomi: Negara memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat, seperti pangan, sandang, dan papan, agar masyarakat, terutama generasi muda, dapat fokus pada pendidikan dan pengembangan diri.
3. Lingkungan yang Mendukung: Islam melarang berbagai bentuk budaya yang merusak moral generasi, seperti pornografi, narkoba, dan pergaulan bebas, dengan menerapkan sanksi yang tegas untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
4. Peran Keluarga: Islam menempatkan keluarga sebagai unit pertama dalam mendidik generasi, dengan panduan jelas tentang bagaimana orang tua mendidik anak-anak mereka sesuai dengan syariat.
Untuk itu dalam menerapkan sistem Islam secara menyeluruh, dibutuhkan seorang Khalifah yang menjalankan syariat Islam sebagai landasan dalam mengatur seluruh aspek kehidupan. Khalifah berfungsi sebagai pelindung umat dan pengatur urusan mereka sesuai dengan perintah Allah SWT, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Imam (Khalifah) itu adalah perisai, di mana umat berperang di belakangnya dan berlindung dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Khalifah akan memastikan: Penerapan hukum Islam secara kaffah di semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan, ekonomi, dan sosial, kebijakan yang berpihak pada kemaslahatan rakyat, bukan pada kepentingan kapitalis, serta pengawasan ketat terhadap media, budaya, dan teknologi agar tidak merusak moral generasi. Oleh karena itu, dengan adanya Khalifah, umat Islam dapat menciptakan generasi emas yang berilmu, berakhlak mulia, dan siap memimpin dunia dalam kebaikan, sebagaimana telah terbukti pada masa kejayaan Islam di bawah naungan Khilafah.
Wallahu A’lam Bissawab
COMMENTS