Oleh : Yumna Karima
Pemuda menjadi salah satu bagian terpenting bagi suatu peradaban. Ditangan merekalah nasib peradaban tersebut akan ditentukan. Semangat yang tinggi, kekuatan fisik yang mumpuni hingga daya pikir kritis sebagai potensi yang menjadi bekal utama mereka dalam membangun peradaban yang gemilang.
Gen Z adalah sebutan pemuda di era sekarang, yakni mereka yang lahir dalam rentang tahun 1997-2015. Generasi ini juga dikenal dengan “digital natives” atau mereka yang tumbuh di dunia digital yang canggih sejak dini. Tak heran, semua aktivitas Gen Z tidak terlepas dari kecanggihan teknologi khususnya yang berkaitan dengan jejaring internet seperti komunikasi, belanja, seminar, dan lain sebagainya.
Namun, kondisi tersebut membuat Gen Z mengalami ketergantungan dengan segala kemudahan dan kenyamanan yang ditawarkannya. Sosial media sebagai bagian dari perkembangan teknologi juga menjadi sasaran bagi Gen Z untuk menghabiskan waktunya. Belum lagi informasi yang beredar di sosial media membentuk Gen Z yang bermental lemah, FOMO, dan kerap kali membandingkan kehidupan mereka dengan orang-orang yang dianggap lebih beruntung sehingga membuat mereka tidak bersyukur dan malah insecure.
Selain itu, Gen Z dikatakan sebagai generasi paling menderita karena dihadapkan dengan beragam persoalan, seperti biaya pendidikan yang mahal, dimana mereka menjadi korban komersialisasi pendidikan khususnya tingkat perguruan tinggi. Tidak sedikit ditemui mahasiswa yang kuliah sambil bekerja demi bisa menabung untuk membayar UKT dan menyelesaikan pendidikannya.
Gen Z juga menghadapi persaingan yang begitu keras dalam hal mendapatkan pekerjaan. Peluang kerja yang tersedia nyatanya tidak mampu menyerap semua tenaga kerja yang ada sehingga banyak dari kalangan Gen Z masih menjadi pengangguran.
Menjadi hal yang miris melihat fakta bahwa Gen Z sebagai kalangan pemuda yang memiliki potensi besar dalam membangun peradaban malah menjadi korban sistem sekuler-kapitalis hari ini. Dimana aturan kehidupan dipisahkan dengan aturan agama. Padahal, aturan agama Islam merupakan seperangkat aturan yang tidak hanya berisi perihal tata cara beribadah, tetapi mencakup seluruh lini kehidupan baik yang berkaitan dengan Allah, dengan alam sekitar dan sesama manusia, serta yang berkaitan dengan diri manusia itu sendiri.
Pemisahan agama dari kehidupan di sistem saat ini menjauhkan pemuda dari pemahaman Islam yang benar. Kehidupan liberal yang dijalani para pemuda membuat mereka terombang-ambing tanpa tujuan dan berakhir pada mental illness bahkan hingga memilih untuk mengakhiri hidupnya. Sebagaimana data WHO yang menyebutkan bahwa kasus tertinggi bundir terjadi dikalangan usia muda (nationalgheographic.grid.id, 31/7/24).
Fenomena demikian sesungguhnya semakin menampakkan bahwa sistem
kehidupan yang diterapkan saat ini memang tidak mampu menuntaskan segala persoalan yang ada dan parahnya malah merusak potensi para pemudanya. Negara tidak bisa menjamin kebutuhan dasar terpenuhi dengan tingginya harga bahan pokok di pasaran. Negara juga tidak mampu memberikan pendidikan secara gratis dan merata. Selain itu, negara telah gagal melindungi rakyatnya dari ide-ide Barat yang masuk di dunia digital seperti sosial media sehingga kehidupan liberal ala Barat yang tanpa disaring lagi malah menjadi tren yang digandrungi.
Hal tersebut sangat berbeda dengan masa dimana aturan Islam diterapkan secara utuh. Pemerintah yang menjalankan aturan kenegaraan dengan berpedoman pada Al-Quran dan As-Sunnah memastikan apa yang terapkan di tengah masyarakat sesuai dengan pedoman tersebut. Pemerintah betul-betul akan memperhatikan bagaimana pengaturan kehidupan masyarakat sebagai bentuk
amanah besar yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya dihadapan Allah Swt.
Mulai dari pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dan pengelolaan SDA yang tepat sehingga kebermanfaatannya dapat dirasakan. Pendidikan juga akan diberikan secara gratis dan merata, serta dalam dunia digital pemerintah bertanggung jawab untuk menyaring berbagai informasi yang bisa beredar dan mencegah masuknya situs-situs yang akan berdampak negatif bagi masyarakat. Selain itu, konten-konten yang disebarkan kepada masyarakat hanya akan berisi hal yang membawa manfaat dan mendekatkan umat kepada ketakwaan kepada Allah Swt. Sehingga juga berdampak pada terjaganya kesehatan mental masyarakat, khususnya dikalangan pemuda sebagai tonggak peradaban.
Hal ini terbukti dalam sejarahnya, pemuda muslim memberikan kontribusi yang besar bagi kebangkitan Islam. Tentu saja, peranan penting ini tidak dihasilkan dari pemuda yang mudah rapuh. Sebaliknya, pemuda muslim di masa
itu adalah mereka yang memiliki mental baja, kekuatan fisik yang prima, kecerdasan yang luar biasa, hingga secara spiritual senantiasa terkoneksi pada Rabb-nya.
Mush’ab bin Umair misalnya, adalah pemuda yang terkenal dengan kegigihannya dalam mendakwahkan Islam sampai-sampai dikatakan bahwa tiada satu pun pintu di Madinah yang tidak diketuk olehnya demi menyampaikan tentang Islam. Selain itu, sosok Ali bin Abi Thalib menerima kebenaran Islam diusia yang sangat muda yakni 10 tahun dan siap berjuang bersama Rasulullah Saw. hingga disuatu waktu dengan keberaniannya Ali bersedia menggantikan posisi Nabi Saw. ditempat tidur beliau untuk mengelabui kaum kafir Quraisy meski dengan risiko kehilangan nyawanya.
Kaum muda seperti Gen Z seharusnya tidak hanya memainkan peran sebatas sebagai pengisi, namun juga pembangun peradaban yang gemilang. Untuk itu, Gen Z terlebih dahulu harus sadar akan kerusakan yang terjadi di masyarakat hari ini. Kemudian memahami bahwa Islam sebagai solusi yang mampu menuntaskan permasalahan tersebut dan selanjutnya siap berkontribusi memperjuangkan Islam kaffah untuk diterapkan di tengah masyarakat.
Pemuda muslim harus bersemangat dalam mengkaji Islam yang benar dengan tatsqif atau kajian keislaman intensif dalam circle kebaikan dengan tujuan yang sama dan istiqamah didalamnya. Peran besar ini juga menjadi tantangan yang harus diambil oleh para pemuda tangguh di era ini hingga Islam rahmatan lil ‘alamin kembali menaungi bumi dan bermuara pada kesejahteraan yang hakiki.
Wallahua’lam bishawab.
COMMENTS