Oleh : Ari Nurainun,SE
Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur memberikan edukasi kepada para petani di Kabupaten Paser tentang pengembangan kawasan perkebunan berbasis korporasi. Kepala Disbun Kaltim Ence Achmad Rafiddin Rizal di Kuaro, Kamis (3/10/2024), menjelaskan pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi adalah suatu pengelolaan pembangunan wilayah sentra produksi pertanian dalam skala ekonomi serta terkait secara fungsional dalam hal potensi sumber daya alam, kondisi sosial budaya, faktor produksi dan keberadaan infrastruktur penunjang.
Rizal mengatakan, tujuan utama dari edukasi ini adalah untuk memperkuat kelembagaan petani melalui pengembangan kawasan perkebunan kelapa sawit berbasis korporasi. Selain itu Rizal juga menekankan, pentingnya sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan petani untuk menghadapi tantangan dalam subsektor perkebunan, seperti perubahan iklim dan volatilitas harga. Menurutnya, Perubahan iklim berdampak langsung pada produktivitas dan stabilitas harga komoditas, yang pada akhirnya mempengaruhi kesejahteraan petani. Rizal juga menekankan, perlunya praktik pertanian berkelanjutan dengan fokus pada metode organik, pengelolaan sumber daya air, dan transparansi rantai pasok.
Kabupaten Paser saat ini memiliki luas perkebunan kelapa sawit mencapai 206.014 hektare, namun produktivitas petani masih rendah. Sehingga melalui program ini, diharapkan kelembagaan petani dapat diperkuat untuk meningkatkan daya saing di pasar, khususnya di Kecamatan Kuaro dan Long Ikis. Selain itu sosialisasi ini juga diharapkan menjadi langkah awal menuju pembentukan lembaga usaha berbasis korporasi yang profesional dan terintegrasi.
Edukasi, Benarkah demi kesejahteraan Petani?
Sawit adalah salah satu komoditas yang perluasannya meningkat pesat di Indonesia, terutama sejak tahun 2000. Jika pada tahun 2000 luas tanaman sawit di Indonesia seluas 7,8 juta hektare, pada 2021 mencapai 16,5 juta hektare. Bayangkan, dalam waktu dua dekade luas tutupan sawit di Indonesia bertambah dua kali lipat, bahkan lebih.
Dalam sebuah laporan berjudul “Indonesia Tanah Air Siapa – Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi” yang dipublikasikan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Auriga Nusantara, terungkap besarnya kuasa korporasi di sektor perkebunan sawit di Indonesia. Tak hanya berasal dari dalam negeri, korporasi negara luar juga punya kuasa yang besar. Kuasa korporasi dalam sektor perkebunan sawit tak hanya terlihat dari seberapa besar luas lahan yang dikuasai, tapi juga terlihat dari dominasinya dalam industri sawit. Seperti diuraikan sebelumnya, luas tutupan sawit di Indonesia mencapai 16 juta hektare lebih, dan penerima manfaat besar dari industrinya adalah para korporat sawit.
Platform Trase.Earth menunjukkan bagaimana dominasi korporasi pada industri sawit. Sekitar 16.822.834 hektare lahan sawit di Indonesia (data Januari 2020), yang terdiri dari 38.086 konsesi, dikuasai oleh 1.739 perusahaan yang bila dikelompokkan, terdiri dari 187 grup perusahaan. Itu di bagian hulu. Sementara di hilir, setelah buah sawit dari 16,8 juta hektare lahan sawit itu diolah dapat menghasilkan 10,6 juta ton CPO dan 20,3 juta ton RPO siap ekspor. Di sini ada 325 eksportir yang bermain, dari 55 grup perusahaan. Tak cukup di industrinya. Penguasaan lahan oleh korporasi di sektor perkebunan, terutama sawit, dapat diukur dari seberapa luas pelepasan kawasan hutan dan Hak Guna Usaha (HGU) yang diperoleh.
Artinya, jikapun ada edukasi untuk para petani, tetaplah semua dilakukan demi kepentingan korporasi. Karena masalah utama yang dihadapi oleh petani adalah kepemilikan lahan. Petani saat ini tak lebih dari sekedar buruh tani. Mereka bekerja di lahan yang bukan milik mereka. Selain itu keterbatasan modal yang dimiliki oleh para petani membuat mereka tidak mampu meningkatkan produksi dan akses terhadap penguasaan teknologi. Yang pada akhirnya membuat posisi petani lemah dan tidak memiliki daya tawar. Hingga berapapun harga yang ditawarkan oleh pihak korporasi terpaksa diterima hanya demi menyambung hidup. Ini semua adalah konsekuensi yang harus diterima sebagai akibat diterapkannya sistem kapitalis yang memandulkan fungsi penguasa. Pemerintah tak lebih sekedar regulator demi memuluskan jalan korporasi.
Sistem Islam , mengedukasi dan memberi solusi
Berbeda dengan sistem kapitalis, Sistem Islam memiliki penyelesaian yang paripurna di seluruh bidang kehidupan. Khususnya pertanian. Dalam menyelesaikan problem pertanian, Islam membaginya menjadi 3 fase, yaitu :
1. Fase produksi
Sistem Islam memberlakukan mekanisme iqtho (pemberian tanah oleh negara) dan Ihya al mawat (menghidupkan tanah mati) sebagai solusi terhadap keterbatasan lahan. Khilafah juga tidak akan membiarkan korporasi menguasai industri sawit dari hulu hingga hilir. Selain itu khalifah akan memberikan subsidi berupa modal, pupuk, penyuluhan,infrastruktur, sistem irigasi dan lain-lain termasuk akses terhadap teknologi kepada petani agar hasil produksi mereka meningkat.
2. Fase distribusi
Khalifah akan memastikan rantai distribusi yang adil. Khalifah akan melakukan kebijakan preventif dan kuratif. Tidak dipungkiri, kondisi pasar komoditas pertanian Indonesia masih banyak diintervensi mafia pangan. Permainan harga, penimbunan dan praktik-praktik curang yang tidak sesuai syariat akan diberantas oleh negara. Khilafah juga akan membangun infrastruktur penunjang yang memudahkan proses distribusi.
3. Fase konsumsi
Pada fase konsumsi, khilafah akan memprioritaskan kebutuhan dalam negeri. Dan jikapun terjadi over produksi, maka pemerintah melalui lembaga negara akan menyerap kelebihan hasil produksi melalui lembaga semacam bulog. Kebijakan ini ditujukan untuk menjaga stabilitas harga komoditas di pasar. Demikianlah sistem Islam menyelesaikan masalah ini dengan penyelesaian yang adil dan mensejahterakan.
Wallahu’alam bi showab
COMMENTS