Jaminan Kesehatan Dalam Islam


Oleh; Naimatul Jannah, 
Aktivis Muslimah Asal Ledokombo Jember



Pada 1 April 2024 lalu, sebanyak 249 nakes non-ASN di Kabupaten Manggarai, NTT dipecat oleh bupati setempat. Hal ini terjadi setelah para nakes melakukan aksi untuk menuntut kenaikan gaji dan penambahan kuota seleksi PPPK 2024. Herybertus menganggap aksi tersebut sebagai bentuk ketakdisiplinan dan ketakloyalan bawahan pada atasan.


Berbagai pihak mengecam keputusan tersebut, salah satunya Jaringan Tenaga Kesehatan Indonesia (Jarnakes). Ini karena demonstrasi adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang dilindungi undang-undang. Selain itu, pemecatan tersebut akan berdampak kepada kualitas layanan kesehatan di daerah tersebut lantaran SDM nakes berkurang dengan signifikan.




Nasib Para Nakes


Ketua DPRD Kabupaten Manggarai Matias Masir mengatakan bahwa ratusan nakes yang berdatangan bukan untuk berdemonstrasi, melainkan hanya ingin berdialog dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPRD. Permintaan mereka tidak berlebihan, mereka hanya minta gajinya dinaikkan dari Rp600 ribu sebab sangat jauh dari UMR NTT (sekitar Rp2 juta lebih).


Masir pun mendapat informasi bahwa para nakes yang dipecat per 1 April 2024 tersebut ternyata mereka belum digaji sejak Januari 2024, bahkan ada yang bekerja secara sukarela selama dua tahun alias bekerja tanpa dibayar. Masuk 2012 tanpa digaji, 2014 digaji Rp400 ribu per bulan, lalu naik menjadi Rp600 ribu per bulan, dan hingga kini masih belum diangkat menjadi ASN. (Viva News, 14-4-2024).


Sebenarnya, para nakes yang merana bukan hanya terjadi di Manggarai NTT, di wilayah lain pun banyak yang bernasib sama. Menurut Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI), fenomena upah rendah pada nakes memang masih menjadi PR bangsa. Masih ada 34,5% nakes dan tenaga kerja medis yang mendapat gaji di bawah UMR. Secara nasional satu dari tiga pegawai Puskesmas digaji di bawah UMR.




Dana lagi-lagi menjadi alasan klasik penyebab gaji para nakes jauh di bawah UMR. Pemerintah setempat sering kali kekurangan dana untuk menggaji para honorer, padahal jika dicermati, kecilnya gaji nakes akan sangat berdampak pada menurunnya efektivitas dan inisiatif kerja. Para nakes akan mencari kerja sampingan untuk bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Hal demikian tentu akan menjadikan kualitas pelayanan kian menurun.


Persoalan upah rendah bukan hanya terjadi pada nakes, di bidang lain pun sama, seperti guru honorer, buruh pabrik, buruh tani, dan sebagainya. Mereka bekerja bagai kuda, tetapi upah yang didapat tidak sepadan dengan tenaga yang dikeluarkan. 



Jaminan Kesehatan dalam Islam


Dalam Islam, pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Negara wajib menyediakan rumah sakit, klinik, dokter, tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya yang diperlukan oleh masyarakat. Sebabnya, fungsi negara/pemerintah adalah mengurus segala urusan dan kepentingan rakyatnya. Dalilnya adalah sabda Rasul saw.:


فَاْلإِماَمُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ


“Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus.” (HR Al-Bukhari).


Nabi Muhammad saw. pun—dalam kedudukan beliau sebagai kepala negara—pernah mendatangkan dokter untuk mengobati salah seorang warganya, yakni Ubay. Saat Nabi saw. mendapatkan hadiah dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau pun menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi seluruh warganya (HR Muslim).


Artinya, Rasulullah saw., yang bertindak sebagai kepala Negara Islam, telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, II/143).


Diriwayatkan pula bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Lalu mereka jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara saat itu meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola oleh baitulmal di dekat Quba’. Mereka dibolehkan minum air susunya sampai sembuh (HR Al-Bukhari dan Muslim).


Dalil lainnya, dituturkan oleh Zaid bin Aslam bahwa kakeknya pernah berkata, “Aku pernah sakit parah pada masa Khalifah Umar bin Al-Khaththab. Lalu Khalifah Umar memanggil seorang dokter untukku.” (HR Al-Hakim, Al-Mustadrak, IV/7464).


Artinya, Khalifah Umar selaku kepala Negara Islam telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikitpun imbalan dari rakyatnya (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, 2/143).


Nas-nas di atas merupakan dalil syariat yang sahih bahwa dalam Islam jaminan layanan kesehatan itu wajib diberikan oleh negara kepada rakyatnya secara gratis, tanpa membebani, apalagi memaksa rakyat mengeluarkan uang untuk mendapat layanan kesehatan dari negara.


Jaminan kesehatan dalam Islam itu memiliki tiga sifat. Pertama, berlaku umum tanpa diskriminasi, dalam arti tidak ada pengkelasan dalam pemberian layanan kesehatan kepada rakyat, baik muslim maupun nonmuslim. Kedua, bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya apapun untuk mendapat pelayanan kesehatan oleh negara. Ketiga, seluruh rakyat harus diberi kemudahan untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan oleh negara.


Pengadaan layanan, sarana dan prasarana kesehatan tersebut wajib senantiasa diupayakan oleh negara bagi seluruh rakyatnya. Pasalnya, jika pengadaan layanan kesehatan itu tidak ada, maka akan dapat mengakibatkan terjadinya bahaya (dharar), yang dapat mengancam jiwa rakyatnya. Menghilangkan bahaya yang dapat mengancam rakyat itu jelas merupakan tanggung jawab negara. Rasulullah saw. bersabda:


لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ فِي اْلإِسْلاَمِ


“Tidak boleh menimbulkan mudarat (bahaya) bagi diri sendiri dan juga mudarat (bahaya) bagi orang lain di dalam Islam.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad).


Dengan demikian, negara wajib senantiasa mengalokasikan anggaran belanjanya untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan bagi seluruh rakyatnya. Negara tidak boleh melalaikan kewajibannya tersebut. Negara tidak boleh mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada pihak lain, baik kepada pihak swasta, maupun kepada rakyatnya sendiri.


Pemberian jaminan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana besar. Dana tersebut bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariat. Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum, termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya; dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanîmah, fa’i, ‘usyur; dari hasil pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat, tentu dengan kualitas yang jauh lebih baik daripada yang berhasil dicapai saat ini di beberapa negara. Kuncinya adalah dengan menerapkan syariat Islam secara kafah (menyeluruh).


Alhasil, kita tidak dapat berharap lagi kepada negara yang tidak menerapkan syariat. Kita hanya bisa berharap pada negara yang menerapkan syariat Islam secara kafah.

Waallahu A'lam Bis Showab

Post a Comment

Previous Post Next Post