Berantas Pornografi Anak Dengan Islam


Lisa Agustin

Pengamat Kebijakan Publik 



Sungguh memprihatinkan wajah generasi muda Indonesia. Sebanyak 5.566.015 konten pornografi yang melibatkan anak-anak Indonesia tersebar di dunia maya. Fakta ini dirilis berdasarkan data National Center for Missing and Explioted Children (NCMEC), yang diungkapkan oleh Menko Polhukam Hadi Tjahjanto saat membentuk satuan tugas (Satgas) yang melibatkan 11 lembaga negara untuk menangani kasus pornografi yang libatkan anak-anak.


“Kita bentuk Satgas untuk mensinergikan lintas kementerian dengan merumuskan rencana aksi,” kata Hadi


Keputusan ini dihasilkan usai Hadi menggelar rapat bersama dengan para menteri dan kepala lembaga negara di Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (18/4) petang.


Kementerian dan lembaga yang dilibatkan di antaranya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Agama, Kementerian Sosial, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Polri, KPAI, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, LPSK, dan PPATK. (cnnindonesia[dot]com, 18/04/2024)



Problem Klasik


Mengutip tulisan Juan Martin, M.Kes, yang berjudul “Darurat Pornografi, Apa yang Harus Dilakukan?”, problem pornografi ini sesungguhnya merupakan problem klasik. Sebab netizen Indonesia merupakan pengakses situs pornografi terbanyak di dunia, wajar jika industri pornografi membidik Indonesia sebagai pasar. Seakan menjadi bisnis yang tidak pernah padam, industri pornografi menjanjikan perputaran uang yang sangat besar.


Kemajuan teknologi dan digitalisasi media membuat industri pornografi berkembang berkali-kali lipat dari tahun sebelumnya. Apalagi saat ini banyak aplikasi yang yang berkonotasi seksual dengan konten 18+. Menyedihkannya, rata-rata usia termuda anak-anak pengakses pornografi adalah 11 tahun (setara kelas 4 atau 5 SD). Di antara usia 15—17 tahun, 80 persennya terbiasa mengakses materi pornografi.


Indonesia memang telah memiliki seperangkat regulasi untuk membasmi pornografi. Sebut saja UU 4/2008 tentang Pornografi, serta Perpres 25/2012 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi (GTP3) yang langsung dikoordinasikan oleh Kemenko PMK dengan peraturan turunannya yaitu, Permenko Kesra No. 1/2013 tentang Sub Gugus tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi. Sayang, semua itu seakan tumpul mengurai problem pornografi.



Demokrasi Biang Kemaksiatan


Tumpulnya penyelesaian problem pornografi disebabkan oleh penerapan sistem demokrasi-sekuler yang membuat orientasi pada kemaksiatan berkembang subur. Sistem ini lahir dari Ideologi Kapitalisme, yang diadopsi oleh mayoritas negara di dunia saat ini.


Selama ada permintaan, sistem kapitalisme akan memproduksinya meski itu merusak generasi. Termasuk pornografi bahkan menjadi sesuatu yang legal, karena ada pihak-pihak yang meraup keuntungan.


Apalagi dalam sistem Kapitalisme, produksi pornografi termasuk shadow economy. Jadi pasti akan dibiarkan bahkan dipelihara.


Di sisi lain, sistem ini tidak mampu menciptakan lingkungan yang mendukung agar kejahatan, termasuk kejahatan seksual tidak merajalela di masyarakat. Terlebih peraturan yang diterapkan tidak menyentuh akar persoalan, sementara sistem sanksinya pun tidak membuat efek jera.


Entah bingung mengurai masalah atau khawatir melanggar prinsip kebebasan, negara akhirnya terkesan diam. Kalaupun terlihat mendiskusikan masalah ini, perdebatan mengenai batasan antara nilai-nilai moral, unsur erotika, dan pornografi dalam seni saja tidak pernah tuntas dalam pembahasan, padahal negara berperan besar menjadi perisai sekaligus menertibkan sistem di masyarakat.


Pornografi Adalah Maksiat


Islam memandang pornografi adalah kemaksiatan. Kemaksiatan adalah kejahatan yang harus dihentikan.


Segala bentuk konten yang memperlihatkan aurat wanita ataupun pria dihukumi sebagai pornografi. Disini Islam punya batasan yang jelas terkait pornografi. Sehingga mampu mencegah dan menyelesaikan problem pornografi sampai ke akar-akarnya.


Oleh sebab itu menghentikan konten pornografi yang melibatkan anak-anak Indonesia tidak bisa hanya dengan dibentuknya satgas-satgas tanpa ada upaya mengganti sistem kehidupan yang sedang menaungi masyarakat hari ini (sistem kapitalisme).


Maka solusinya adalah kembali kepada naungan sistem Islam. Sistem Islam memiliki mekanisme memberantas kemaksiatan dan memiliki sitem sanksi yang tegas dan menjerakan sehingga akan mampu memberantas secara tuntas.


Islam secara jelas dan tegas melarang segala bentuk bisnis/industri maksiat, seperti pornografi. Siapapun yang terlibat dalam bisnis/industri ini akan ditetapkan sebagai kriminal dan wajib diberikan hukuman.


Menurut syariat Islam, kasus pornografi terkategori kasus takzir, yakni khalifah yang berwenang menjatuhkan sanksi kepada pelaku. 


Jenis hukumannya bisa dalam bentuk pemenjaraan hingga hukuman mati sesuai hasil ijtihad khalifah. Jika kasus pornografi ini berkaitan dengan kasus perzinaan, akan ditegakkan had zina sebagai sanksi bagi para pelaku. Ghayru muhsan mendapat 100 kali cambuk, sedangkan muhsan berupa hukuman rajam.



Khatimah


Melindungi generasi dari pornografi adalah tanggung jawab kolektif. Solusi atas masalah ini tidak bisa tuntas hanya dengan membenahi individu, membentuk satgas atau menyerahkan dengan regulasi yang ada. Masalah ini hadir karena adanya prinsip kebebasan yang lahir dari sebuah sistem hidup dan diamnya negara atas masalah ini.


Jika sistem hari ini terbukti memberikan habitat yang subur bagi industri pornografi, mengapa tidak beralih kepada konsep Islam yang ampuh untuk melenyapkannya? Wallahualam.

Post a Comment

Previous Post Next Post