Cuti Ayah, Dapatkah Memperbaiki Kualitas Generasi ?



Oleh : Ratih Ramadani

(Praktisi Pendidikan)


Pemerintah kini sedang merancang aturan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) pria agar bisa ikut menikmati 'cuti ayah' untuk mendampingi istrinya melahirkan dan mengasuh bayi. Hal itu nantinya termuat di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai manajemen ASN. Saat ini RPP tersebut sedang digodok bersama Komisi II DPR. 


"Pemerintah akan memberikan hak cuti kepada suami yang istrinya melahirkan atau keguguran. Cuti mendampingi istri yang melahirkan itu menjadi hak ASN pria yang diatur dan djamin oleh negara," ujar Menpan RB Abdullah Azwar Anas di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat pada Rabu, 13 Maret 2024. 


Ia menambahkan bahwa hak cuti itu merupakan aspirasi dari banyak pihak. Saat ini, kata Azwar, pemerintah masih meminta masukan dari sejumlah pemangku kepentingan, termasuk Komisi II DPR. 


Kerusakan Sistemis


Latar belakang lahirnya kebijakan cuti ayah ini adalah karena pemerintah memandang pentingnya peran ayah yang mendampingi istri melahirkan dan fase awal pascapersalinan, yakni sebagai upaya mendorong peningkatan kualitas SDM sejak dini. 


Namun, jika menilik kondisi generasi di negeri kita saat ini, sejatinya mereka sudah terlalu banyak di antam berbagai pemikiran beracun. Lihat saja persoalan judi online, mayoritas penggunanya adalah siswa sekolah. Juga kasus L687 yang sebagian besar pelakunya adalah anak laki-laki berusia belasan tahun.


Tambahan lagi jerat pinjol yang tidak kalah miris karena yang turut terlibat adalah kalangan mahasiswa yang notabene kaum intelektual sekaligus agen perubahan. Ini masih belum data kerusakan generasi dari aspek lainnya, seperti krisis kepemimpinan, tingginya angka gaul bebas dan kriminalitas dengan pelaku kaum muda.


Coba kita pikir, sekadar dengan lahirnya kebijakan cuti ayah inikah upaya yang bisa dilakukan penguasa untuk membangun generasi berkualitas? Tidakkah deretan realitas buruk tadi justru menegaskan bahwa cuti ayah hanyalah solusi yang tidak ubahnya butiran debu? Hal ini mengingat kerusakan generasi sudah bersifat sistemis, bukan lagi berupa tataran teknis yang bisa ditanggulangi pada secuil sisi saja.


Bukan Solusi Mendasar


Atas dasar ini, jelas cuti ayah sesungguhnya bukan solusi mendasar bagi kebutuhan negeri kita akan generasi yang hebat dan berkualitas. Justru sistem demokrasi sekuler kapitalistik itu sendirilah yang selama ini telah menggerus peran para ayah atas landasan produktivitas (baca: budak) ekonomi semata.


Dalam banyak kasus pula, detik ini banyak anak yang tidak lagi bangga dengan ayahnya. Kita juga harus menyadari, “ayah gagal” adalah fenomena buruk yang sangat menghantui sejumlah keluarga muda. Banyak rumah tangga yang rusak tersebab laki-laki gagal menjadi suami dan ayah. Akibatnya, tidak sedikit anak yang hanya dibesarkan badannya oleh ayahnya, tetapi jiwanya telantar hingga dengan begitu mudahnya dirampok oleh ide-ide liberal dan sekuler.


Di sisi lain, kemampuan sang ayah dalam menafkahi keluarganya dipengaruhi oleh ketersediaan lapangan kerja yang mencukupi bagi mereka. Begitu pula, penting adanya jaminan negara kepada keluarga yang para suaminya terhalang untuk bekerja, misalnya karena sakit atau memiliki cacat fisik. 

Sayangnya, negara dalam peradaban kapitalisme telah melemparkan tanggung jawabnya untuk melayani rakyat. Pemenuhan kebutuhan pokok individu (pangan, sandang, papan) dan kebutuhan pokok massal (pendidikan, kesehatan) bertumpu pada keluarga secara mandiri.


Parahnya lagi, penerapan sistem demokrasi menghasilkan berbagai kebijakan ekonomi yang melepaskan perempuan dari peran domestiknya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Artinya, jika nominal gaji seorang ayah tidak mencukupi, maka pendapatan keluarga harus ditopang oleh anggota keluarga yang lain, terutama si ibu. Akibatnya, waktu yang dimiliki para ibu ini untuk membersamai dan mendidik buah hatinya di rumah, telah direnggut atas nama pemberdayaan ekonomi perempuan.


Profil Ayah Hebat


Sejatinya, keluarga adalah institusi terkecil dalam masyarakat. Keluarga juga titik awal pembentukan sebuah generasi. Untuk itu, bangunan keluarga memang harus kuat agar mampu menghasilkan generasi tangguh. Ketahanan keluarga pun harus berperan menjadi penggenap ketahanan bangsa, bahkan asas utamanya. Ketika ketahanan keluarga rapuh atau malah runtuh, jelas berdampak serius terhadap kehidupan generasi, sosial kemasyarakatan, bahkan berbangsa dan bernegara.


Sebuah keluarga dikatakan mempunyai ketahanan tatkala seorang ayah yang merupakan kepala dan penanggung jawab utama keluarga mampu memenuhi kebutuhan anggota keluarganya. Kebutuhan di sini mencakup naluri, fisik, dan akal. Terpenuhinya seluruh kebutuhan tersebut membawa pada suasana kehidupan keluarga yang harmonis, tenang, dan tenteram. 


Benar, di tangan para ibulah letak kunci ketahanan keluarga. Namun, di tangan para ayahlah terletak pintu gerbang menuju tercapainya ketahanan tersebut. Dalam sekian abad tegaknya sistem Islam di muka bumi, dari keluargalah lahir tokoh-tokoh besar. Sebut saja Abdullah bin Umar ra., Abdullah bin Zubair ra., Abdullah bin Abbas ra., Usamah bin Zaid ra., hingga generasi Shalahuddin al-Ayyubi dan Muhammad al-Fatih, mereka semua tidak hanya lahir dari rahim para ibu yang dahsyat, tetapi mereka juga hasil didikan para ayah yang hebat.


Melejitkan Peran Ayah


Islam sebagai ideologi yang rahmatan lil ‘alamiin berperan penuh dalam rangka melejitkan peran para ayah. Sistem Islam senantiasa terdepan dalam membangun ketahanan keluarga dengan strategi utama melejitkan peran ayah serta menjaga peran laki-laki sebagai pemimpin keluarga.


Allah Taala berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin (qawwam) bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS An-Nisa [4]: 34).


Berdasarkan ayat ini, pada praktiknya sistem Islam akan membangkitkan fungsi kaum laki-laki sebagai para ayah dan calon ayah. Islam memfasilitasi dan menyiapkan setiap individu laki-laki agar siap menjalankan peran dan tanggung jawab sebagai ayah dengan sukses.


Peran itu adalah sebagai pemimpin dalam keluarga, yang juga melindungi, menafkahi, dan mendidik keluarga.

Ini sekaligus menegaskan bahwa ada beberapa fungsi dan pemenuhan kebutuhan keluarga yang harus ditopang melalui peran negara. Untuk itu, selanjutnya negara Islam (Khilafah) akan menjamin terealisasinya peran ayah tersebut secara kontinu.


 Rasulullah saw bersabda, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).


Peran aktif negara ini sangat penting karena fungsi ayah sangat berpengaruh bagi ketahanan keluarga yang dipimpinnya. Selain melejitkan peran ayah, negara Islam (Khilafah) akan menguatkan peran para ibu selaku sahabat dan mitra ayah dalam mendidik generasi dan mengatur keluarga.


Di sisi lain, Khilafah berperan menjaga akidah Islam warganya dari berbagai pemikiran beracun yang berasal dari luar Islam yang sudah pasti pemikiran tersebut akan merusak generasi. Khilafah juga menguatkan akidah umat dengan menerapkan sistem pembinaan dan pendidikan berbasis akidah Islam dalam rangka melahirkan generasi taat syariat dan berkepribadian Islam.


Allah Taala berfirman, “Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.’” (QS Al-Furqan [25]: 74).


Selanjutnya di sektor ekonomi, Khilafah mendorong masyarakat memulai aktivitas ekonomi dengan cara membangun iklim usaha yang kondusif dengan menerapkan sistem ekonomi Islam secara komprehensif. Sistem ekonomi Islam sendiri memang menuntut penguasa agar melayani dan memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. 


Kepala negara dalam Khilafah tidak bersikap sebagai pedagang/produsen/pengusaha sebagaimana sikap kepala negara dalam negara demokrasi, tetapi justru melayani untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya tanpa paradigma perhitungan keuntungan (profit).


Hal ini demi terbentuknya ekonomi keluarga yang kukuh sehingga para kepala keluarga mampu memenuhi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier mereka dengan kualitas yang sangat baik. Dengan ini, Khilafah berperan melakukan pengembangan ekonomi dengan cara meningkatkan jumlah lapangan kerja, angka partisipasi kerja, serta kapasitas produksi, khususnya bagi kaum laki-laki. Khilafah tidak akan mendiskriminasi fasilitas/subsidi kepada rakyat melalui para ayah tersebut, baik ia seorang ASN maupun non-ASN. 


Wallahualam bissawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post