Setiap jelang Ramadhan, ada tradisi yang selalu terulang yaitu kenaikan harga bahan pangan. Sehingga rakyat jika jelang Ramadhan sudah harus siap untuk menerima kenyataan bahwa harga beberapa komoditas pangan naik, terutama beras yang menjadi makanan pokok masyarakat. Saat ini harga beras mencapai di angka yang fantastis. Dampak kenaikan ini tentu tidak terlalu dirasakan bagi masyarakat menengah ke atas karena mereka masih mampu untuk membelinya meskipun akhirnya harus memangkas kebutuhan yang lain. Tapi bagaimana dengan masyarakat menengah ke bawah? Tentu hal ini menjadi kepanikan bagi mereka karena yang sebelumnya masih bisa beli beras, sekarang sudah tidak mampu lagi. Bagaimana sebenarnya peran negara? Apakah masyarakat harus menerima kenyataan ini karena memang sudah tradisi?
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan harga komoditas pangan akan mengalami inflasi pada bulan Ramadhan. Hal ini merupakan situasi musiman seperti tahun-tahun sebelumnya. Senada dengan penyataan Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, M. Habibullah yang dikutip dalam konferensi pers indeks harga konsumen di kantornya Jakarta pada Jum'at 1 Maret 2024. Ia menyebutkan bahwa kenaikan harga itu disebabkan permintaan yang meningkat pada bulan Ramadhan. Tentu saja, kenaikan harga beberapa komoditas pangan tersebut akan mendorong tingkat inflasi secara umum.
BPS menyebutkan tingkat inflasi secara umum pada Februari 2024 mencapai 2,75℅ per tahun dan 0,37℅ per bulan. Seperti beras, mengalami inflasi sebanyak 5,32℅ per bulan, memiliki andil 0,21℅ per bulan dan 0,67℅ per tahun terhadap inflasi secara umum. (CNBC Indonesia, Jakarta 1/3/2024)
BPS mencatat kenaikan beras terjadi di hampir semua provinsi di Indonesia. Selain beras, ada beberapa komoditas pangan yang juga mengalami kenaikan, seperti cabai merah, daging ayam, telur, minyak goreng dan gula pasir. Namun kenaikannya tidak begitu signifikan terasa ke masyarakat karena bukan merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia umumnya.
Tradisi harga pangan yang naik pada bulan Ramadhan membuat beban rakyat semakin berat karena diiringi dengan naiknya beberapa harga tagihan pajak seperti tagihan listrik, air dan pajak kendaraan.
Dikutip dari Republika (8/9/2023), salah satu penyebab naiknya harga beras adalah turunnya produksi nasional. Hal ini akibat kemarau panjang yang melanda tahun ini di beberapa daerah penghasil beras.
Sebagaimana dilansir BBC News Indonesia, pedagang pasar dan pengamat pertanian menyebut kenaikan harga beras yang terjadi sejak empat bulan terakhir hingga menyentuh harga Rp 14.000 perkilogram untuk beras medium dan Rp 18.000 perkilogram untuk beras premium adalah yang tertinggi dalam sejarah. Akibatnya terulang lagi antrean panjang masyarakat demi mendapatkan beras murah. Dikutip dari Tribunnews.com, seorang ibu rumah tangga di kota Bandung bahkan pingsan karena tak kuat menahan panas dan kelelahan setelah berdiri 2,5 jam dalam antrean panjang beras murah yang digelar pemerintah kota Bandung.
Hal ini hanya salah satu contoh kasus betapa masyarakat yang akan menderita ketika harga komoditas pangan naik, terutama makanan pokok yaitu beras. Harga yang melejit yang disebut tertinggi dalam sejarah membuat masyarakat menengah ke atas menjerit karena mereka harus mengurangi beberapa pos tertentu demi bisa membeli kebutuhan pokok yaitu beras yang mereka konsumsi, bahkan beberapa mengaku bahwa akhirnya harus membeli beras yang medium karena yang premium sudah tak terjangkau. Bagaimana dengan masyarakat menengah ke bawah? Mereka yang tadinya masih bisa membeli beras medium akhirnya harus menyerah dengan mengalihkan sumber makanan pokoknya dengan mengkonsumsi ubi, sagu atau jagung. Bahkan, ada seorang ibu yang hanya makan sayur selama beberapa hari karena stok beras tidak ada.
Jeritan dan kepedihan masyarakat ini harusnya bisa membuat pemerintah segera mengambil langkah-langkah untuk menstabilkan kembali harga agar bisa seimbang antara permintaan masyarakat dengan penawaran yang ada. Sehingga harga komoditas pangan terutama beras tidak sampai melejit seperti yg terjadi saat ini.
Sebenarnya telah ada beberapa upaya dari pemerintah untuk mengatasi hal ini, diantaranya adalah dengan impor beras yang dilakukan guna mengimbangi permintaan yang banyak sementara ketersediaan barang tidak banyak. Karena disebut bahwa turunnya hasil panen petani yang diakibatkan musim kemarau panjang menyebabkan stok beras tidak memadai sehingga perlu impor beras. Begitupun operasi pasar yang digelar di beberapa kota untuk memberikan harga murah kepada masyarakat.
Wakil menteri perdagangan, Jerry Sambuaga mengatakan Kemendag siap melakukan langkah strategis seperti operasi pasar, memantau distributor hingga pedagang ecer guna menjaga stabilitas harga bahan pokok selama periode Ramadhan dan Idul Fitri.
Apakah langkah-langkah ini akhirnya bisa menstabilkan harga komoditas pangan? Pada kenyataannya langkah-langkah ini hanya bisa dirasakan beberapa masyarakat yang memang masih bisa menjangkau harga pasar dan beberapa masyarakat yang rela mengantri demi mendapatkan harga murah, itupun hanya sebagian. Jika dilihat lagi secara keseluruhan masih banyak masyarakat yang akhirnya harus menderita karena tak bisa memenuhi kebutuhan pokok. Pemerintah melupakan satu hal yaitu distribusi. Bagaimana pasar murah yang mereka gelar ini dipastikan bisa menjangkau setiap individu masyarakat. Fungsi utama pemerintah adalah penanggung jawab urusan rakyatnya. Tapi dalam realitas sistem sekularisme kapitalistik hari ini pemerintah hanya sebagai regulator yang hanya menyediakan bahan pangan tanpa memastikan apakah bahan pangan ini sampai ke rakyat nya tanpa kecuali. Artinya pemerintah harus memastikan setiap individu dalam negara terpenuhi kebutuhan pokoknya. Kegagalan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya tentu tidak terlepas dari paradigma kapitalisme yang selama ini menjadi dasar ketetapan dalam mengelola urusan pangan rakyat.
Alternatif sistem pengelolaan dalam Islam pun seharusnya menjadi solusi yang bisa coba diterapkan. Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Islam merupakan aturan yang haq yang datang dari sumber terpercaya yang menciptakan manusia dan alam semesta. Maka Islam memiliki mekanisme yang mampu mengatasi dan menjaga gejolak harga pangan agar tetap stabil. Dalam Islam pemenuhan kebutuhan pokok adalah urusan pemerintah yang harus dikelola dengan penuh tanggung jawab. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap individu mendapatkan kebutuhan pokoknya tanpa kesulitan. Rasulullah bersabda " Imam atau khalifah (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab terhadapnya " (HR.Ahmad &Bukhari).
Dalam Islam, seorang pemimpin menjadi pioner yang mengatasi masalah dengan aturan Islam. Distribusi merupakan hal yang harus diperhatikan disamping memastikan ketersediaan bahan pangan dengan menjaga produksi baik kuantitas maupun kualitasnya. Dapat kita tengok dari sejarah ketika Islam diterapkan sebagai aturan dalam kehidupan. Bagaimana seorang khalifah, Umar bin Khattab mengangkat sendiri bahan makanan yang diantarkan untuk rakyatnya yang kelaparan, karena menurutnya dialah yang bertanggung jawab atas kelaparan yang menimpa rakyatnya. Beliau juga sempat membeli bahan makanan pokok dari wilayah lain karena terjadi paceklik di wilayah pusat. Umar bin Khattab mendatangkan stok dari wilayah yang surplus agar bisa memenuhi daerah yang mengalami kekurangan. Begitu pun dalam sepanjang sejarah betapa Islam sangat memperhatikan terpenuhinya kebutuhan pokok manusia ini yaitu bahan pangan. Dalam sejarah mencatat, khalifah Abdul Majid (1845-1851) pernah mengirimkan bantuannya ke wilayah Irlandia yang pada saat itu dilanda bencana kelaparan. Banyak korban tewas akibat kelaparan yang melanda, tercatat sekitar 2.000 orang. Beliau mengirim bantuan makanan dan uang sebanyak 10.000 lira. Islam membuktikan bahwa bukan hanya kaum Muslimin yang bisa sejahtera di bawah aturannya. Sehingga Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam bukan hanya slogan saja, tetapi bisa terbukti ketika Islam diterapkan.
Wallahu a'lam
COMMENTS