![]() |
Penulis: Siti Khaerunnisa |
Bentrokan antara massa simpatisan PDIP dengan GPK terjadi di Muntilan, Magelang, pada minggu (15/10/2023). Bentrokan tersebut diwarnai aksi lempar batu hingga mengakibatkan 11 sepeda motor dan tiga rumah warga mengalami kerusakan. Kapolresta Magelang Kombes Ruruh Wicaksono, mengatakan keributan antara kelompok simpatisan PDIP dan GPK itu terjadi karena ada gesekan lantaran tak terima di bleyer kendaraan ketika kedua kelompok massa bertemu. Tidak ada korban jiwa dalam bentrokan tersebut, tetapi ada satu korban yang mengalami luka yaitu seorang warga Pabelan, Kalangan atas nama EH (31) yang dirawat di Rumah Sakit N21 lantaran terkena lemparan batu (repulika.co.id, 15/10/2023).
Sebenarnya, pemicu bentrokan ini merupakan hal sepele, akan tetapi kuatnya sentimen menjadikan gesekan kecil menjadi persoalan besar. Apalagi jelang diadakannya pemilu 2024, kegiatan-kegiatan partai mulai marak dilakukan di tengah-tengah masyarakat. Hal tersebut tentu saja dilakukan untuk mencari dukungan masyarakat terhadap partai ataupun capres-cawapres yang diusung oleh partai.
Hanya saja hal yang perlu dikritisi dalam hal ini adalah keberpihakan rakyat kepada partai yang didorong karena faktor emosional, simbol, dan figur pada partai tertentu. Masyarakat sejatinya belum paham benar terkait arah dan tujuan politik dari partai, serta alasan memberikan dukungan terhadap partai tersebut. Keterikatan atau kekaguman berlebihan pada sosok atau parpol akan memudahkan munculnya konflik yang tidak perlu. Pemilunya singkat, tetapi konfliknya bisa berkepanjangan. Begitulah jika dukungan kepada figur publik atau parpol hanya berdasarkan pada ikatan kelompok. Baik atau buruk, salah atau benar, hanya dilihat dengan sudut pandang “pokoknya kelompoknya yang paling benar”.
Tak heran jika perselisihan sering terjadi pada rakyat sebagai simpatisan. Sementara di kalangan elite partai politik, partai-partai yang bertarung dalam pemilu justru saling bekerja sama demi tercapainya tujuan partai agar dapat berkuasa. Fakta ini selaras dengan ungkapan "Tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi". Jadi kawan dan lawan dalam politik bisa dengan cepat berubah sesuai kepentingan politik partai tersebut. Sebab, politik dalam pandangan mereka adalah meraih kekuasaan setinggi-tingginya. Apapun akan dilakukan asalkan tujuannya tercapai. Hal ini menunjukkan karakteristik dari sistem Politik Demokrasi yang identik dengan politik kepentingan yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat.
Dalam sistem Politik Demokrasi, rakyat hanya diposisikan sebagai pihak yang dimanfaatkan suaranya untuk kepentingan elite politik demi memenuhi ambisi kekuasaannya. Terbukti, pada saat memperoleh kursi kekuasaan, kebijakan yang dikeluarkan partai politik sangat jauh dari upaya mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Karena itu, slogan demokrasi yang mengatakan "Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat," hanya sebatas slogan yang diberikan kepada rakyat sebagai pembenaran kekuasaan mereka. Dan mustahil slogan itu terealisasi. Oleh karena itu, rakyat harus sadar bahwa partai politik yang ada pada sistem Demokrasi saat ini, tidak akan mengantarkan kebaikan pada rakyat. Sebaik apapun individu yang bergabung dalam partai dan sebanyak apapun simpatisannya, selama partai tersebut tegak di bawah sistem Politik Demokrasi, perubahan hakiki tidak akan terwujud.
Dalam kondisi seperti ini, rakyat sangat membutuhkan partai politik yang benar-benar bekerja hanya untuk kepentingan rakyat semata. Dan tentu saja partai politik yang benar seperti ini tidak akan lahir dari sistem yang berasaskan Kapitalisme-Sekulerisme yang hanya mengedepankan kepentingan kelompoknya, tanpa memikirkan kepentingan rakyat.
Akan tetapi, partai politik yang benar tersebut akan ada dari sistem shohih yang berasal dari Allah subhanahu wa ta'ala, sistem Islam. Kalaupun ada partai politik yang shahih tersebut di tengah peradaban Kapitalisme saat ini, maka tujuan utamanya adalah menegakkan peradaban Islam yang berasal dari Allah subhanahu wa ta'ala.
Dalam sistem Islam, partai politik berdiri bukan untuk memuaskan nafsu berkuasa dan memenangkan suara semata. Akan tetapi peran strateginya adalah melakukan perubahan di tengah masyarakat, yaitu membentuk kesadaran dan pemahaman politik yang benar, dengan makna mengurus urusan umat.
Partai politik yang benar adalah partai yang menyandarkan fikrah (pemikiran) dan thariqah-nya (metodenya) pada asas yang benar, yakni berasaskan Islam, bukan yang lain. Jika fikrah dan thariqah partai bar-asas akidah Islam maka orang-orang yang bergerak dalam partai tersebut haruslah memiliki kesadaran dan kehendak yang benar. Ikatan yang mengikat mereka harus berbasis pada Islam, bukan sekedar ikatan organisasi ataupun kepentingan. Maka jika partai dibangun di atas basis ideologi yang benar, yaitu Islam, mereka akan menempuh dan meraih tujuannya berdasarkan asas tersebut.
Disinilah peran partai politik shahih yang hadir di tengah umat untuk membina dan mendidik pemikiran umat dengan Islam. Juga melakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa yang bertentangan dengan Islam. Dalam negara Islam, negara membolehkan banyak partai dibentuk sebagai sarana melakukan muhasabah bagi negara dan pemimpin. Namun, partai-partai tersebut tetap harus berasaskan pada ideologi Islam yang terkait dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. Serta saling menghormati dalam menjalankan amanahnya.
Dalam Islam, berpolitik direalisasikan dalam aktivitas amar ma'ruf nahi mungkar. Oleh karenanya, tugas partai politik Islam yang benar adalah mengembalikan kehidupan Islam di bawah naungan institusi Khilafah Islam yang akan mempersatukan umat Islam di seluruh dunia dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh dunia. Oleh karena itu, seharusnya umat memiliki agenda politik sendiri, yakni menghadirkan kepemimpinan Islam di tengah-tengah mereka bukan malah tertipu dengan pencitraan politis sistem Demokrasi.
Wallahu a'lam bishshawab.