Tentang Haji, Seperti Mimpi


Dari : Martinah S.Pd


Melaksanakan rukun islam yang ke-lima tentu menjadi mimpi yang selalu diupayakan oleh umat islam didunia manapun, tak terkecuali Indonesia. Namun, beberapa kebijakan yang diambil oleh negara, justru menjadi penghalang tersendiri dalam mewujudkannya.


Pasalanya,pemerintah lagi-lagi mewacanakan kenaikan biaya haji. Dalam rapat kerja bersama Komisi VIII DPR RI di gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Senin (13-11-2023), Menag Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan usulan agar Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) per jemaah pada 1445 H/2024 M dinaikkan menjadi Rp105.095.032.


Adapun jumlah persen biaya yang ditanggung oleh jemaah haji (BIPIH/ONH), dan yang diambil dari nilai manfaat pengelolaan dana haji oleh BPKH, akan ditentukan kemudian.


Usulan ini didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, asumsi melemahnya kurs rupiah atas dollar Amerika dari Rp15.200/dolar menjadi Rp16.000. Juga kurs rupiah terhadap SAR yang diasumsikan menjadi Rp4266. 


Kedua, naiknya biaya layanan di Arab Saudi, mulai akomodasi, transportasi, konsumsi, dan lainnya. Dicontohkan, biaya makan yang sebelumnya sudah naik 66 kali, diperkirakan akan naik menjadi 84 kali. Begitu juga dengan layanan akomodasi di Makkah dan Madinah.


Isu kenaikan biaya haji (BPIH) ini tampaknya memang sudah menjadi isu tahunan. Para calon jemaah haji menjadi waswas karena tiap tahun nilainya terus meningkat, bahkan melompat. Mereka khawatir akan gagal berangkat karena dana yang dikumpulkan tidak cukup untuk pelunasan.


Untuk penyelenggaraan haji tahun ini saja, pemerintah diketahui mematok BPIH Rp90 juta. Dari total dana tersebut, jemaah dikenakan biaya (BIPIH/ONH) sebesar Rp49.812.700,26 atau 55,3% dari total BPIH. Sisanya, yakni sekitar Rp40.237.937 atau 44,7% diambil dari nilai manfaat hasil pengelolaan dana haji.


Adapun tahun sebelumnya (2022), rata-rata biaya haji “hanya” Rp81.747.844,04, yakni jemaah diharuskan membayar sebesar Rp39.886.009 (49%), sedangkan sisanya (Rp41.053.216,24) diambil dari nilai manfaat keuangan haji. Dengan demikian, ada lompatan biaya BPIH sebesar Rp8,7 juta setahun dan yang harus dibayar secara langsung oleh jemaah melompat sekitar Rp 10,12 juta.


Jika usulan Menag untuk 2024 ini disetujui, lompatan besarannya jelas cukup signifikan, yakni total sekitar Rp15 juta. Sedangkan dilihat dari besaran yang harus dibayarkan jemaah, proporsinya diperkirakan akan makin besar. Terlebih isunya bahwa proporsi BPIH akan naik menjadi 70% dari BPIH. Alhasil para jemaah diperkirakan harus punya dana sekira Rp73,5 juta atau melompat sekitar Rp33 juta.


Tentu saja jumlah sebesar ini sangat memberatkan sehingga diperkirakan tahun depan akan banyak jemaah yang tidak bisa berangkat meski sudah terkena giliran. Terlebih di luar biaya haji, mereka juga harus menyiapkan dana tambahan yang tidak bisa diabaikan, mulai dari biaya kesehatan, bimbingan (KBIH), perbekalan, hingga dana oleh-oleh dan cadangan.


Tahun ini saja ada sekitar 15% calon jamah yang gagal berangkat karena tidak mampu melakukan pelunasan. Mereka tetap terancam gagal untuk berangkat pada 2024 mendatang, mengingat besaran dana yang harus dipersiapkan malah meningkat nyaris empat kali lipat.


Sengkarut Pengelolaan Haji

Alasan pemerintah terkait usulan kenaikan biaya haji ini sebetulnya bukan hal baru. Harga kurs rupiah terhadap dollar AS dan SAR memang terus melemah. Begitu pun soal biaya layanan, memang faktanya terus bertambah mahal. Namun pertanyaannya, apakah asumsinya harus sebesar itu? Juga apakah pemerintah tidak bisa mengupayakan skema pembiayaan yang lebih efektif dan efisien, tetapi tetap bisa memberi layanan terbaik bagi para tamu Allah ini?


BPIH sendiri disebut-sebut digunakan untuk membiayai beberapa komponen, seperti biaya transportasi (penerbangan, bis), sewa hotel, konsumsi, pelayanan di embarkasi, debarkasi, imigrasi, layanan di Armuzna (Arafah-Muzdalifah-Mina), premi asuransi, pelindungan, dokumen perjalanan, living cost, pembinaan jemaah haji, dan lain-lain.


Masalahnya, selama ini tidak ada transparansi terkait besaran dana untuk semua komponen tersebut. Malah yang tampak kental adalah paradigma hitung dagang, alias kapitalisasi, bahkan liberalisasi. Sudah rahasia umum jika semua komponen pembiayaan tersebut diduga menjadi ladang bisnis alias proyek basah tersendiri bagi oknum-oknum pejabat. Belum lagi isu modus mark up besaran biaya per itemnya dan soal tender proyek yang rentan praktik gratifikasi. Alhasil, biaya murah untuk ibadah haji seakan jadi mimpi.


Tudingan ini bukan tanpa dasar. Pada faktanya, nyaris setiap penyelenggaraan ibadah haji dibayangi isu mismanagement dan korupsi, baik terkait penyelenggaraan ibadah haji maupun pengelolaan dananya. Isu korupsi bahkan pernah menjerat Mantan Menag Suryadharma Ali hingga ia masuk bui.


Kajian Direktorat Monitoring KPK sendiri menyebut ada tiga titik biaya yang rawan korupsi, yaitu akomodasi, konsumsi, dan pengawasan. Terkait hal ini, data KPK juga menyebut, untuk penyelenggaraan tahun lalu, kerugian negara yang timbul dari tiga celah tadi cukup besar, yakni mencapai Rp160 miliar.


Adapun terkait pengelolaan dana haji, muncul dugaan bahwa BPKIH selama ini hanya menggunakan skema Ponzi. Artinya, biaya pemberangkatan jemaah haji yang terbilang tinggi dengan kuota reguler lebih dari 203 ribu ini, ditutup dengan setoran calon jemaah haji lain yang antreannya sangat panjang (antara 11—47 tahun) dan jumlahnya mencapai lebih dari 5,2 juta orang. Atau setidaknya oleh nilai manfaat yang didapat dari pengelolaan ibadah haji yang semestinya secara teori merupakan hak seluruh calon jemaah haji, termasuk yang masih menunggu giliran.


Tudingan ini juga bisa dipahami, mengingat pengelolaan dana haji oleh BPKIH selama ini tidak pernah jelas dan transparan. Akad dengan pemilik uang, serta berapa dan investasi apa yang diikuti, semua serba samar. Wajar jika muncul tudingan tidak sedap di tengah masyarakat bahwa pemerintah bersengaja memanfaatkan dana haji untuk menutupi ketidakmampuan mengurus keuangan negara terkait pembiayaan pembangunan.


Semua fakta ini jelas menambah kekhawatiran calon jemaah akan nasibnya pada masa yang akan datang. Ini karena skema Ponzi biasanya seperti bom waktu. Terlebih ada banyak faktor yang terus berpengaruh terhadap besaran pembiayaan, semisal ancaman inflasi, krisis global, liberalisasi kebijakan haji dan kenaikan pajak di Arab Saudi, dan sebagainya.


Butuh Islam sebagai Solusi

Merujuk UU 8/2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, jelas disebutkan bahwa urusan haji ini bukan semata-mata soal ekonomi, melainkan juga menyangkut hak warga negara dalam beribadah. Negara seharusnya hadir memberikan perlindungan dan pelayanan yang terbaik. Namun pada praktiknya, jauh panggang dari api. Adanya sengkarut dalam penyelenggaraan ibadah haji mengonfirmasi hal ini.


Isu mahalnya biaya haji, kuota dan antrean yang sangat panjang akibat kebijakan dana talangan, pengelolaan dana haji yang mirip praktik judi, isu korupsi dan gratifikasi, ditambah kekisruhan pelayanan saat penyelenggaraan haji, hanyalah sebagian problem yang terus berkelindan terkait pengaturan urusan haji. Ini semua mengonfirmasi adanya kesalahan dalam tata kelola terkait paradigma pengurusan negara atau penguasa terhadap urusan-urusan rakyatnya.


Tidak bisa dimungkiri pula, paradigma kepemimpinan negara hari ini memang sangat kental dengan paradigma sekularisme kapitalisme neoliberal. Negara dan penguasa dalam sistem seperti ini memang tidak di-setting untuk menjadi pelayan, apalagi penjaga umat. Keduanya hanyalah regulator yang menjadi perpanjangan kepentingan kelompok terkuat yang ada pada umat. Tidak lain tidak bukan mereka adalah para pemilik modal alias para konglomerat.


Jadilah semua layanan publik dipandang dengan kacamata bisnis dan atau menjadi lahan bisnis. Terlebih, dalam paradigma ini pun hubungan antara penguasa dan pengusaha adalah hubungan simbiosis mutualisme. Bahkan, bukan hal tabu jika para pejabat atau penguasa sekaligus merupakan pengusaha sehingga kebijakan-kebijakan negara kerap digunakan sebagai jalan memuluskan bisnis mereka.


Hal ini tentu sangat berbeda dengan sistem Islam. Kepemimpinan dalam Islam (disebut Khilafah) tegak di atas landasan akidah sehingga kental dengan dorongan ruhiah. Negara dan penguasa dalam Islam mengemban amanah riayah (mengurus atau melayani) dan junnah (menjaga) atas umat. Apa pun yang baik bagi umat akan menjadi perkara penting yang harus diupayakan semaksimal mungkin oleh negara dan para pemimpinnya. Mereka benar-benar takut bahwa pelayanan dan penjagaan yang buruk akan menjadi sesalan terbesar bagi mereka di akhirat yang abadi kelak.


Terlebih urusan haji adalah urusan pelaksanaan kewajiban seorang hamba kepada Sang Pencipta. Tentu negara akan melakukan segala daya upaya agar kewajiban tersebut bisa terlaksana dengan mudah, murah, dan mengesankan. Bukan malah mencari keuntungan sebagaimana yang terjadi sekarang.


Inilah yang mendorong para pemimpin pada masa kekuasaan Islam tegak benar-benar memfungsikan dirinya sebagai pelayan dan penjaga umat. Mereka bekerja keras agar hak-hak rakyat benar-benar terpenuhi sesuai tuntunan syariat. Termasuk dalam urusan pelayanan ibadah haji yang mayoritas muslim yang hanya mungkin melaksanakannya seumur hidup sekali.


Hal itu dilakukan dalam semua aspek yang dibutuhkan. Di antaranya adalah administrasi yang dilaksanakan berdasarkan prinsip desentralisasi, basathah fi an-nizham (sederhana dalam sistem), sur’ah fi al-injaz (cepat penanganan jika terdapat masalah). serta ditangani oleh tenaga profesional. Lalu aspek pelaksanaan praktisnya yang membutuhkan kerja lintas sektoral, seperti perhubungan, keamanan, kesehatan, logistik, dan sebagainya, yang pengawasannya dilakukan secara bertanggung jawab.


Kelak jika Islam kembali tegak, paradigma layanan dan penjagaan ini juga akan kembali dirasakan oleh umat, termasuk dalam penyelenggaraan ibadah haji. Kendala pembiayaan, pengadaan akomodasi, logistik, transportasi, dan sebagainya, akan tereliminasi dengan penerapan sistem ekonomi, keuangan, dan moneter Islam. 


Baitulmal negara akan melimpah ruah dari sumber-sumber pendapatan yang sangat besar dan beragam. Ini tersebab seluruh negeri muslim akan dipersatukan dalam satu kepemimpinan.

Post a Comment

Previous Post Next Post