Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) terus melakukan sosialisasi dengan menyasar kalangan mahasiswi guna meningkatkan partisipasi perempuan dalam bidang politik.
Mengajak Mahasiswa merupakan bagian penting sedari dini, sejak awal dari masuk perkuliahan, mengajak mereka untuk ikut tertarik terjun ke dunia politik dengan memberikan pemahaman kenapa perempuan itu dianggap penting dalam dunia politik.
Peningaktan sosialisasi partisipasi perempuan sebanyak dua kali selama tahun 2023, di antaranya kegiatan pada Selasa (30/10), yang diikuti oleh kalangan mahasiswi dari berbagai kampus yang ada di Palembang.
Harapan nya perempuan dapat berperan aktif dalam bidang politik dan perempuan memiliki peran besar dalam berbagai aspek, tidak melulu tentang mengurus keluarga atau berada di dapur.
Dimana perempuan juga memiliki kompetensi yang hebat dan dapat bersaing dalam dunia politik. Tetapi, nyatanya dominasi pria masih sangat kuat hingga perempuan sulit bersaing.
Banyak faktor kenapa keterwakilan perempuan di Sumsel tidak mencapai 30 persen dalam komposisi legislatif, di antaranya karena masih adanya budaya patriarki, sehingga belum dibukanya ruang bagi kaum perempuan.
Oleh karena nya perlunya penambahan wawasan dan pengetahuan kepada kaum perempuan untuk terjun ke dunia politik, sehingga ketika mereka menjadi anggota legislatif bisa menyuarakan kepentingan para perempuan dan anak di Indonesia.
Harapan nya bukan hanya sekedar menjadi anggota legislatif dan tidak bisa menyuarakan perempuan dan anak. Perlu juga pembekalan untuk mereka. Bukannya pria tidak bisa menyuarakan hak-hak perempuan dan anak, tetapi kalau perempuan lebih memahami.
Saat ini perempuan yang menjadi anggota legislatif di Sumsel masih di bawah 30 persen, padahal Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, sudah mengamanatkan bahwa dasar-dasar calon legislatif perempuan itu paling sedikit 30 persen.
Data yang ada menunjukkan untuk wilayah Sumsel partisipasi perempuan masih di bawah 30 persen, baik di DPRD Provinsi, DPRD RI, maupun DPRD kabupaten/kota. Akan, tetapi untuk DPD semuanya perempuan.
Membicarakan masalah peran politik perempuan senantiasa akan menarik perhatian dan menjadi topik yang dianggap penting. Hal ini di sebarkan karena faktanya, kondisi perempuan di dunia saat ini terpuruk dalam seluruh aspek kehidupan.
Menurut data PBB, 1/3 penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan, 70% di antaranya adalah kaum perempuan. (jurnalperempuan.com).
Kondisi ini pun dialami Indonesia, negeri kaya raya tapi ironisnya lebih dari separuh penduduknya miskin, dan sebagian besarnya perempuan. Inilah yang menyebabkan kualitas hidup perempuan begitu rendah.
Dampak kemiskinan lain akibat merebaknya paham liberalisme dan hedonisme adalah terjebaknya kaum perempuan dalam bisnis kotor semacam pelacuran dan pornografi. Indonesia bahkan disebut-sebut sebagai “surga” kedua bisnis pornografi di dunia setelah Rusia. Ini berdampak pada meningkatnya jumlah PSK “legal” di lokalisasi dan PSK “ilegal” di jalanan.
Sekitar Februari 2020, Polda Sulut mengamankan 20 anak muda dan menetapkan delapan di antaranya sebagai tersangka prostitusi anak di bawah umur. Prevalensi pelacuran anak di bawah 18 tahun, ada sekitar 30%. Sekitar 150.000 anak diperdagangkan untuk tujuan seksual. (Kompas.com).
Kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat. Di Jawa Timur, sepanjang 2020 terjadi 284 kasus dengan 551 korban ditangani LBH Surabaya. Bentuk pelanggaran yang kerap adalah KDRT, disusul kekerasan nonfisik. Sedangkan terhadap anak adalah penganiayaan, pemerkosaan dan pencabulan. (Liputan6.com).
Kemiskinan pun telah mendorong lebih dari 40 juta perempuan Indonesia terjebak dalam dunia kerja yang tak ramah dan tak memihak perempuan. Jutaan di antaranya hidup di kawasan industri yang kumuh untuk menjadi roda pemutar mesin-mesin pabrik milik para kapitalis dengan upah murah.
Sebagiannya lagi bekerja di sektor-sektor informal yang tak menjanjikan kemudahan. Jutaan lainnya berbondong-bondong menjadi buruh migran bahkan di antaranya menjadi korban sindikat perdagangan perempuan.
Apakah beberapa fakta ini menunjukkan terjadinya perubahan nasib perempuan atau masyarakat secara umum? Jelas tidak!
Mereka menilai persoalan perempuan akan terselesaikan dengan membebaskan perempuan berkiprah di mana pun, terutama di ranah publik sehingga suara dan partisipasinya diperhitungkan baik dalam keluarga maupun masyarakat.
Alih-alih mampu mengangkat nasib perempuan, gagasan ini justru menjadi racun yang kian mengukuhkan ketakmungkinan menyelesaikan persoalan perempuan.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan feminisme telah gagal menyelesaikan persoalan perempuan bahkan telah dengan sukses menjerumuskan perempuan ke dalam jurang jahiliah dan kegelapan. Betapa tidak? Kondisi kaum perempuan saat ini tak ubahnya seperti perempuan di masa jahiliah, walau dalam penampakan yang tidak persis sama.
Apakah kita tetap ingin berada dalam kegelapan dan berharap pada sistem rusak ini? Sudah saatnya kita bergerak membangunkan umat dari rasa terlena. Kegelapan ini tidak akan pernah beranjak selama umat Islam mencampakkan aturan-aturan Allah dan Rasul-Nya.
Sebaliknya, umat akan mulia dan meraih kemenangan jika menerapkan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah. Allah telah mengingatkan kita dalam firman-Nya,
اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ 50
50. Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang
Oleh karenanya, secara imani dan realistis, penyelesaian mendasar dari semua persoalan ini hanyalah dengan mencampakkan sistem yang rusak dan kembali kepada sistem yang mampu menyelesaikan secara tuntas dan adil, yakni sistem yang berasal dari Yang Mahasempurna dan Mahaadil.
Itulah sistem Islam, yang telah teruji selama berabad-abad membawa umat ini pada kemuliaan, khairu ummah. Sebuah sistem yang mampu menjadi motor peradaban dan membawa rahmat bagi manusia secara keseluruhan.
Muslimah Berpolitik Wujud Ketaatan, Bukan Demi Kesetaraan
Siapa pun yang mempelajari syariat Islam secara mendalam akan mendapati bahwa Islam mengatur peran perempuan dan laki-laki secara sempurna. Aktivitas keduanya diatur dengan seperangkat hukum yang terkumpul dalam “al ahkam al khamsah” (lima hukum perbuatan manusia: Wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram). Semua perbuatan manusia tidak terlepas dari salah satu hukum yang lima tersebut. Tidak ada satu pun amal manusia yang tidak ada status hukumnya.
Demikian juga ketika perempuan muslimah memainkan peran politiknya, dia tidak boleh abai terhadap status hukum masing-masing aktivitas yang akan dijalankannya. Dalam implementasinya pada kehidupan nyata harus kembali kepada derajat hukum perbuatan tersebut.
Terhadap perkara wajib maka dia tidak memiliki pilihan. Dalam keadaan apapun dia mesti berupaya melaksanakannya dengan segenap kemampuannya, seperti kewajiban melakukan amar makruf nahi mungkar yang tercantum dalam QS Al-Imran ayat 104 Allah berfirman yang artinya: “Hendaklah (wajib) ada segolongan umat yang menyerukan kepada kebaikan (Islam), memerintahkan kema’rufan dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Salah satu wujud amar makruf nahi mungkar adalah berdakwah untuk menyeru manusia kepada Islam. Selain menyeru secara langsung pada individu, bentuk peran politik perempuan dalam aktivitas ini adalah keikutsertaannya dalam sebuah partai politik Islam yang berjuang untuk menegakkan sistem Islam secara kafah.
Implementasi kewajiban amar makruf yang lain adalah menjalankan pengawasan dan koreksi kepada penguasa untuk memastikan mereka menerapkan syariah secara kafah. Jika penguasa menetapkan suatu aturan yang melanggar hukum syariat atau ada kebutuhan rakyat yang luput dari penguasa, maka wajib bagi setiap muslim termasuk kaum perempuan untuk menasihati penguasa supaya dia menyadari kelalaiannya dan kembali menjalankan tanggung jawabnya dengan benar.
Peran perempuan dalam melakukan muhasabah atau koreksi terhadap penguasa ini bukan sekadar teori, namun benar-benar telah terjadi dalam kehidupan masyarakat Islam.
Sebagaimana pernah terjadi di masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khaththab, ketika seorang perempuan memprotes kebijakan Umar dalam menetapkan jumlah mahar karena bertentangan dengan firman Allah SWT: “Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak.” (TQS An-Nisaa’ [4]: 20).
Khaulah binti Hakim bin Tsa’labah dengan berani menyampaikan kritiknya terhadap Khalifah. Kemudian Umar menyadari kekeliruannya dan segera mencabut keputusannya, ia berkata, “Perempuan ini benar dan Umar salah.”
Kewajiban berikutnya adalah melakukan baiat terhadap pemimpin negara. Kepemimpinan tertinggi dalam pemerintahan Islam dipegang oleh seorang khalifah. Pengangkatan khalifah akan dianggap sah jika telah terjadi baiat yang sempurna dari sisi kaum muslimin, yaitu pernyataan kerelaan mengangkatnya sebagai pemimpin dan keridaan untuk menaatinya selama mereka memberlakukan hukum-hukum Allah di muka bumi ini.
Apabila ada sekelompok kaum muslim yang telah mewakili mereka melakukan baiat, maka sahlah seseorang yang dibaiat itu menjadi khalifah (pemimpin) yang harus ditaati oleh seluruh kaum muslimin.
Dalam urusan pengangkatan pemimpin ini Islam memberikan hak dan kewajiban untuk melakukan baiat khalifah kepada perempuan sebagaimana kepada laki-laki. Di antara dalil yang menjelaskan keikutsertaan perempuan dalam baiat adalah hadis yang disampaikan oleh Ummu Athiyah berkata,
“Kami berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam lalu beliau membacakan kepada kami agar jangan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dan melarang kami untuk niyahah (meratapi mayat). Karena itulah salah seorang perempuan dari kami menarik tangannya (dari berjabat tangan), lalu ia berkata, ‘Seseorang telah membuatku bahagiaaku ingin membalas jasanya.’ Rasulullah tidak berkata apa-apa, lalu perempuan itu pergi kemudian kembali lagi.” (HR Bukhari)
Keterlibatan perempuan dalam pengangkatan dan pembaitan khalifah merupakan salah satu aktivitas politik perempuan dalam masyarakat.
Peran politik perempuan yang lain adalah memenuhi hak memilih dan dipilih menjadi anggota majelis umat. Peran ini bukanlah kewajiban namun termasuk hak mereka sehingga tidak mengikatnya. Majelis umat adalah sekumpulan wakil-wakil rakyat yang bertugas memberikan nasihat dari umat kepada khalifah, pemimpin mereka.
Anggota majelis umat akan menyampaikan apapun yang dibutuhkan rakyat dan sekaligus menyarankan solusi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Keterlibatan perempuan untuk mewakili aspirasi umat ini tergambar dalam peristiwa Baiat Aqabah II.
Sebagaimana Ibnu Hisyam meriwayatkannya dari Ka’ab bin Malik bahwa di antara 73 orang utusan laki-laki ada 2 orang wakil perempuan, yakni Nusaibah binti Ka’ab dan Asma binti Amr bin Adi.
Dalam menjalankan berbagai peran politiknya sudah seharusnya seorang muslimah melakukannya karena dorongan ingin terikat kepada ketentuan syariah. Bukan karena motivasi lain seperti demi memperjuangkan kesetaraan atau untuk mengejar eksistensi diri. Mereka yakin hanya dengan niat taat pada syariatlah yang akan menghantarkannya pada keberkahan hidup.
Karenanya, sebelum terjun melibatkan diri, dia akan memastikan dulu status hukum perbuatan tersebut. Pemahamannya ini merupakan modal untuk bisa merespons dengan sikap yang tepat: Kapan aktivitas tersebut mengikat dan tidak memberikan alternatif pilihan? Kapan suatu amal berstatus mubah sehingga boleh dikerjakan atau ditinggalkan? Dan perbuatan mana saja yang justru haram dan harus dihindari?