Oleh Hasna Fauziyyah Kh
Pegawai Swasta
Berdasarkan hasil evaluasi Badan Pangan Nasional (Bapanas) bersama pihak-pihak terkait, selaku lembaga yang diperintahkan oleh Presiden Joko Widodo dalam memimpin pembagian bansos ini, pemerintah mengurangi 690 ribu keluarga penerima bantuan sosial (bansos). Di antaranya, beras 10 kg per bulan dari 21,35 juta ke 20,66 juta. Nantinya, angka penerima baru ini berlaku untuk sisa masa penyaluran hingga akhir tahun 2023. (cnnindonesia.com, 29/10/2023)
Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Bapanas Rachmi Widiriani mengatakan koreksi data penerima berdasarkan validasi dari Kementrian Sosial. Ia menyebut ada beberapa penerima manfaat sebelumnya yang kini sudah meninggal dunia, pindah lokasi, maupun dianggap sudah mampu. Sampai 25 Oktober 2023, tercatat penyaluran beras melalui Perum Bulog mencapai 404.392 ton alias 67%. Rinciannya, September 2023 sebanyak 200.556 ton (99,87 persen), Oktober 2023 195.695 ton (97,45 persen), dan November 2023 8.140 ton (4,05 persen). Kepala Bapanas Arief Prasetya Adi mengatakan bantuan pangan ini penting bagi masyarakat yang berpendapatan rendah, sehingga pengeluaran untuk pangan bisa ditekan.
Alasan ini layak dipertanyakan. Kalaupun pindah, tentu masih dalam wilayah Indonesia dan kondisinya masih sama. Sementara jika dinyatakan rakyat telah mampu, diduga kemungkinannya sangat kecil di tengah masa ekonomi yang melambat pasca Covid-19. Ditambah lagi bahan pangan meroket, menambah beban kehidupan. Tingginya angka kriminalitas dan pengangguran sebenarnya masih menjadi penanda kuat bahwa masyarakat masih hidup dalam kemiskinan dan membutuhkan bantuan sosial. Penyaluran bansos di negeri ini, sebenarnya sudah menuai banyak persoalan. Mulai dari tak semua keluarga miskin mendapat bantuan, penerima bantuan tak tepat sasaran, kondisi bantuan tak layak, penyunatan dana bantuan, politisasi bansos, korupsi bansos, dan lain-lain. Berbagai persoalan bantuan di negeri ini sejatinya menggambarkan abainya negara dalam menjamin kebutuhan pokok warga negaranya.
Lepasnya tanggung jawab negara dalam mengurusi urusan rakyatnya adalah perkara mutlak dalam sistem demokrasi-kapitalisme. Sebab penguasa dalam sistem ini terpilih melalui proses demokrasi yang mahal dan secara pasti mengandalkan para pemilik modal. Tak heran meski dipilih oleh rakyat, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan saat berkuasa sarat dengan keberpihakan pada korporasi atau pemilik modal. Apalagi, prinsip kepemimpinan dalam sistem demokrasi adalah meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan meraih kekuasaan setinggi-tingginya. Kepemimpinan seperti ini tentu hanya akan menyengsarakan rakyat. Adanya bantuan sosial yang selama ini dianggarkan oleh pemerintah pun, diduga kuat hanya untuk membuat rakyat tetap bisa bertahan hidup agar tetap berdaya secara ekonomi.
Semua ini dilakukan untuk memenuhi keserakahan para pemilik modal. Sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme, sejatinya merupakan sistem batil yang berasaskan sekularisme atau pemisahan agama dari kehidupan sehingga tak heran aturan Allah Swt. dalam mengatur kehidupan pun diabaikan. Sistem inipun telah meletakkan makna kebahagiaan sebagai kenikmatan dan kesenangan materi sebesar-besarnya. Oleh karena itu, siapapun yang menjadi pemimpin dalam sistem demokrasi kapitalisme, maka kebijakannya dipastikan abai terhadap pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya. Kemiskinan dan kelaparan akan tetap eksis dalam sistem ini. Demikian pula kesejahteraan akan jadi mimpi bagi masyarakat.
Kondisi berbeda dalam sistem Islam yang diterapkan dalam bingkai negara khilafah. Islam telah menetapkan negara bertanggung jawab dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok berupa pangan, sandang, dan papan. Demikian pula pelayanan berupa kesehatan, pendidikan dan keamanan. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw.
“Imam (khalifah) adalah pengurus (raain) dan dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.”
(H.R. Imam Bukhari)
Oleh karena itu, Islam mewajibkan negara peduli terhadap nasib rakyatnya hingga menjamin kesejahteraan individu per individu dengan berbagai mekanisme. Bahkan jaminan yang diberikan oleh negara harus dengan kualitas terbaik dan kuantitas memadai. Mekanisme ini ditetapkan oleh syariat Islam. Khilafah wajib membuka lapangan kerja yang luas bagi para pencari nafkah. Namun, apabila orang tersebut tidak mampu bekerja, atau tidak kuasa bekerja karena sakit, terlampau tua, hidupnya wajib ditanggung oleh orang yang diwajibkan oleh syara’ untuk menanggung nafkahnya. Apabila orang yang wajib menanggung nafkahnya tidak ada, ataupun ada namun tidak mampu, maka nafkah orang tersebut wajib ditanggung oleh Baitul Maal atau negara. Bantuan tersebut merupakan bantuan yang layak dan mencukupi yang akan diberikan oleh negara hingga akhir hayatnya.
Wallahu a’lam bishshawab