Oleh Ummu Syifa
Aktivis Muslimah
Di tengah harapan para orang tua yang begitu besar dalam menyekolahkan putra-putri mereka di sekolah-sekolah yang mereka percayai, terselip kekhawatiran yang mendalam akan adanya fenomena bullying yang akhir-akhir ini begitu marak dan menelan banyak korban. Salah satunya kasus bullying di Cilacap, Jawa Tengah yang telah menarik perhatian karena masalah ini mencuat ke permukaan publik.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa mayoritas siswa yang mengalami perundungan atau bullying di Indonesia adalah laki-laki. Persentase kasus bullying di kategori siswa kelas 5 SD mencapai 31,6 % pada siswa laki-laki, sementara sebesar 21,64 % pada siswa perempuan dan secara nasional sebesar 26,8 %. Selain itu, persentase kasus bullying di kategori siswa kelas 8 SMP mencapai 32,22 %, yang merupakan angka tertinggi di antara semua kategori kelas dan jenis kelamin. Sementara sebesar 19,97 % pada siswa perempuan, dan secara nasional sebesar 26,32 %. (news.republika.co.id, 21/10/2023).
Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Rusprita Putri Utami menyatakan bahwa Puspeka sejak 2021 bekerja sama dengan UNICEF untuk melaksanakan bimbingan teknik (bimtek) Roots. Program Roots menjadi sebuah program pencegahan kekerasan, khususnya perundungan. Program ini telah mendorong 34,14 % satuan pendidikan untuk membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK).
Namun, upaya tersebut belum cukup mampu untuk mencegah dan menghilangkan kasus bullying, kasus ini terus terjadi dan berulang. Karena penyelesaan bullying perlu penyelesaian yang sistemik dan komprehensif. Di dalam negara yang menerapkan sistem kapitalis sekuler saat ini, nilai-nilai moral dan agama sudah tercerabut dalam perilaku, kebebasan diagung-agungkan termasuk di dalamnya kebebasan bertingkah laku yang membuat aturan agama tidak berlaku dalam kehidupan. Sekolah yang seharusnya berhasil mencetak generasi yang cerdas dan berakhlak mulia malah melahirkan anak-anak yang beringas, brutal, tidak beradab karena tidak adanya aspek spiritual dan keagamaan. Ketika agama tidak dijadikan asas dalam perbuatan maka akan menggiring manusia kepada keburukan dan kehancuran, celakanya keburukan itu akan menimpa siapa saja, baik itu orang dewasa, remaja, bahkan anak-anak. Sudah saatnya kita campakkan sistem kapitalis sekuler ini yang telah terbukti membawa manusia pada kehancuran dan keburukan.
Berbeda dengan Islam. Sistem Islam telah menjadikan akidah (keimanan) sebagai asas, yang terpancar darinya aturan yang sempurna untuk mengatur kehidupan manusia. Islam telah menjadikan tanggung jawab menjaga dan memelihara anak-anak dari kelemahan dan kezaliman tidak hanya pada keluarga dan masyarakat saja, tapi juga pada negara. Negara berkewajiban mewujudkan anak-anak yang hebat dan berkepribadian Islam yang segala perbuatannya akan dijauhkan dari perbuatan buruk atau tercela termasuk perundungan atau bullying.
Negara memastikan bahwa keluarga muslim bisa menanamkan pendidikan Islam di rumah-rumah mereka. Selain itu negara mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi anak, agar anak dijauhkan dari segala sesuatu yang akan membahayakannya seperti tontonan yang buruk, pornografi, pornoaksi, perkataan yang buruk dan menjamin keselamatannya dari tindakan kekerasan dan kerusakan. Adapun jika sampai terjadi kekerasan terhadap anak, maka negara akan memberlakukan hukuman atau sanksi yang tegas sehingga berefek jera bagi pelakunya dan mencegah siapapun untuk melakukannya.
Sudah saatnya kita kembali kepada Islam. Hanya Islam yang mampu menjaga dan memelihara keselamatan anak. Penerapan Islam secara kafah akan mampu menuntaskan kasus bullying sampai ke akarnya tanpa kecuali.
Wallahu a'lam bishshawwab.