(Praktisi Pendidikan)
Oknum pegawai neger sipil (PNS) dari Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Berau, diduga telah melakukan tindak kekerasan seksual kepada anak di bawah umur di Kecamatan Maratua.
Ironisnya, kasusnya mengendap begitu saja. Meskipun, orang tua korban yang juga merupakan ASN di Kecamatan Maratua, sudah berupaya mencari keadilan. Bahkan, melaporkannya ke OPD tempat terduga bekerja. Hasilnya nihil. Selain itu ada juga kasus guru yang melakukan kekerasan seksual.
Selain itu, ada juga kasus guru yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak didiknya.
Kepala UPTD Bontang Sukmawati mengatakan, kasus yang menimpa pelajar kelas VI SD itu terjadi di lingkungan sekolah. Terduga pelaku merupakan oknum guru dari pelajar tersebut. (28/10/2023 Prokal.co)
Berdasarkan data yang dihimpun KPAI sepanjang 2021, setidaknya ada 18 kasus kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan. Pelaku kekerasan seksual terdiri dari pendidik/guru sebanyak 10 orang (55.55%), Kepala Sekolah/ Pimpinan Pondok Pesantren sebanyak 4 orang (22,22%), pengasuh (11,11), tokoh agama (5.56%) dan Pembina Asrama (5.56%). Pengumpulan data dilakukan mulai 2 Januari – 27 Desember 2021 melalui pemantauan kasus yang dilaporkan keluarga korban ke pihak kepolisan dan diberitakan oleh media massa. (Mediaindonesia, 28-12-2021)
Sangat Memprihatinkan
Kekerasan seksual yang berulang sangat memprihatinkan dan menyesakkan dada.
Jika kita telisik, ada banyak aspek yang menjadikan kasus kekerasan seksual terhadap anak makin parah. Pertama adalah aspek sanksi yang tidak menjerakan. Berdasarkan UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar (Kompas, 6-1-2022)
kedua, masih terdapat perbedaan persepsi di antara para aparat terkait definisi kasus. Perbedaan definisi kasus di antara para aparat ini bisa menjadi kesalahan fatal karena terkait penentuan hukuman bagi pelaku.
Ketiga, buruknya pengaturan media massa. Pornografi-pornoaksi banyak bergentayangan di internet. Siapa pun mudah saja mengakses konten porno melalui ponselnya.
Keempat adalah buruknya sistem pendidikan. Kurikulum pendidikan kita begitu jauh dari agama (sekuler) sehingga output-nya adalah orang-orang yang mengabaikan agama. Mereka tidak peduli halal-haram, juga tidak takut neraka, apalagi mau merindukan surga. Mereka merasa bebas berbuat apa saja tanpa peduli terhadap syariat. Akibatnya, terwujudlah masyarakat liberal sehingga memunculkan beraneka macam tindak kejahatan.
Anak-anak pun tidak luput dari keburukan sistem ini. Mereka menjadi korban dari kerusakan sistem sekuler liberal yang diterapkan. Selama negeri ini menerapkan sistem sekuler, selama itu pula akan terus ada yang menjadi korban kejahatan seksual, termasuk remaja dan anak-anak.
Butuh Solusi Tegas
Dalam Islam, terdapat tiga pihak yang berkewajiban menjaga dan melindungi generasi. Pertama, keluarga sebagai madrasah utama dan pertama. Ayah dan ibu harus bersinergi mendidik, mengasuh, mencukupi gizi anak, dan menjaga mereka dengan basis keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt..
Kedua, lingkungan. Dalam hal ini masyarakat berperan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan generasi. Masyarakat adalah pengontrol perilaku anak dari kejahatan dan kemaksiatan. Masyarakat akan terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar kepada siapapun.
Ketiga, negara sebagai periayah utama. Dalam hal ini, fungsi negara adalah memberikan pemenuhan kebutuhan berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan setiap anak. Negara juga wajib melindungi generasi dari perilaku buruk dan maksiat dengan tindakan pencegahan yang berlapis, yaitu:
Pertama, menerapkan sistem sosial dan pergaulan Islam. Di antara ketentuan Islam dalam menjaga pergaulan di lingkungan keluarga dan masyarakat ialah: (1) kewajiban menutup aurat dan berhijab syar’i; (2) larangan berzina, berkhalwat (berduaan dengan nonmahram), dan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan); (3) larangan eksploitasi perempuan dengan memamerkan keindahan dan kecantikan saat bekerja; (4) larangan melakukan safar (perjalanan) lebih dari sehari semalam tanpa diserta mahram.
Kedua, optimalisasi fungsi lembaga media dan informasi dengan menyaring konten dan tayangan yang tidak mendukung bagi perkembangan generasi, seperti konten porno, film berbau sekuler liberal, media penyeru kemaksiatan, dan perbuatan apa saja yang mengarah pada pelanggaran terhadap syariat Islam.
Ketiga, menegakkan sistem sanksi yang tegas dengan menghukum para pelaku berdasarkan jenis dan kadar kejahatannya menurut syariat. Hukuman yang diberikan sesuai dengan ketentuan hukum Allah dan kebijakan khalifah selaku pemegang kewenangan pelaksanaan hukuman.
Keempat, menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Dengan sistem ini, seluruh perangkat pembelajaran mengacu pada Islam. Dengan begitu, anak-anak memiliki akidah yang kuat, orang tua memiliki pemahaman agama yang baik, dan masyarakat yang berdakwah dengan saling memberi nasihat di antara sesama.
Dengan perlindungan berlapis seperti ini, upaya pencegahan akan berjalan efektif. Jika upaya preventif sudah dilakukan tetapi masih terjadi pelanggaran, maka tindakan kuratif, yakni sistem sanksi Islam akan memberikan efek jera sekaligus penebus dosa bagi pelaku kejahatan. Wallahualam Bisshawab.