Kasus konflik lahan yang mengguncang Pulau Rempang akhir-akhir ini menyita perhatian masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, tanah warga yang sudah ditempati selama ratusan abad secara turun temurun tiba-tiba harus dikosongkan untuk proyek besar bernama Rempang Eco City.
Konflik bergejolak ketika warga yang mencoba mempertahankan lahan mereka dihadapi dengan tindakan keras dari aparat keamanan. Alasan yang dikemukakan oleh pemerintah adalah investasi senilai Rp 300 triliun ini akan meningkatkan pendapatan daerah dan kesejahteraan warga.
Meski Pulau Rempang batal dikosongkan pada Kamis (28/09) seperti rencana awal pemerintah, masyarakat di Kampung Pasir Panjang, Sembulang, mengaku masih cemas dan waspada. Sebab sampai saat ini, pemerintah maupun Badan Pengusahaan (BP) Batam memperpanjang tenggat waktu pendaftaran dan belum membatalkan rencana pemindahan masyarakat dari kampung-kampung tua.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia pada Senin (25/09) lalu menyatakan bahwa rencana pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City tetap berjalan, namun pemerintah "memberi waktu lebih" untuk sosialisasi. (bbc. com, 28/09/23)
Konflik ini hanya satu dari banyak konflik agraria yang mengguncang Indonesia. Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkapkan bahwa sejak tahun 2015 sampai dengan 2022 telah terjadi 2.710 kejadian konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektar tanah dan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia. (cnnindonesia. com, 24/9/23).
*Menillik Permasalahan Konflik Rempang*
Dalam kasus Rempang, pemerintah membela diri dengan argumen bahwa sebagian besar warga tidak memiliki sertifikat lahan yang memvalidasi hak kepemilikan mereka. Oleh karena itu, tindakan yang dilakukan di Rempang dianggap sebagai pengosongan, bukan penggusuran.
Namun, kekhawatiran muncul bahwa negara menggunakan konsep "domein verklaring," yang secara efektif mengubah lahan yang tidak memiliki bukti kepemilikan menjadi milik negara, memberikan otoritas kepada negara untuk mengelola dan mengalihkan lahan tersebut kepada pihak lain.
Domein verklaring sendiri memiliki akar sejarah dalam era kolonial Belanda, yang menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak, termasuk Komnas HAM. Lebih lanjut, UU Cipta Kerja menciptakan ketidakpastian, karena memungkinkan pengalihan lahan pertanian untuk kepentingan umum atau proyek strategis nasional.
Dari kasus ini, ada baiknya kita memandang secara kritis mengenai kedaulatan rakyat yang telah diadopsi oleh negara ini. Pertanyaannya adalah, siapa yang sejatinya berdaulat dalam situasi seperti ini? Kedaulatan rakyat seharusnya berarti bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat, dan keputusan yang memengaruhi nasib mereka harus didasarkan pada kepentingan rakyat itu sendiri.
Namun, dalam banyak kasus konflik agraria dan perampasan lahan seperti yang terjadi di Rempang, tampaknya rakyat justru banyak dirugikan. Proses pengambilalihan lahan yang tidak mempertimbangkan hak-hak warga dan mengabaikan aspirasi mereka mengungkapkan paradoks dalam konsep kedaulatan rakyat yang dijunjung dalam sistem demokrasi.
*Kasus Rempang dalam Perspektif Syariah Islam*
Dalam konteks ini, perspektif syariah Islam menawarkan sudut pandang yang berbeda. Sebagai agama yang sempurna, Islam memiliki aturan yang adil terkait masalah kepemilikan lahan, memberikan hak kepada pemilik lahan untuk memperolehnya melalui hadiah, warisan, atau pemberian dari negara.
Syariah Islam juga mengizinkan pemilik lahan untuk mengelola tanah mati yang tidak memiliki pemilik. Dalam pandangan Islam, jika seseorang menghidupkan lahan yang tidak memiliki pemilik dengan menanam, membangun, atau mengelola, maka lahan tersebut menjadi haknya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ
Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain) (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).
Meski begitu, syariah Islam juga memperingatkan agar pemilik lahan tidak menelantarkan lahan mereka. Penelantaran selama tiga tahun dapat menyebabkan hak kepemilikan lahan berpindah tangan kepada pihak yang sanggup mengelolanya. Ketetapan ini berdasarkan Ijmak Sahabat pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Imam Abu Yusuf dalam Kitab Al-Kharâj mencantumkan perkataan Khalifah Umar ra., “Tidak ada hak bagi pematok lahan setelah tiga tahun (ditelantarkan),” (Abu Yusuf, Al-Kharâj, 1/77, Maktabah Syamilah).
Dalam pandangan Islam, perampasan lahan tanpa alasan syar’i perbuatan ghasab dan zalim. Nabi saw. telah mengancam para pelakunya dengan siksaan yang keras pada Hari Akhir. Hal ini terdapat dalam sabda Rasulullah SAW. berikut:
مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ
Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan tujuh bumi kepada dirinya (HR Muttafaq ‘alayh).
Selain itu dalam konteks politik, Islam memiliki pandangan khusus mengenai kedaulatan. Islam memandang bahwa kedaulatan ada dalam tangan syara (hukum Islam) dan umat sebagai pemilik kekuasaan. Negara dalam Islam merupakan pihak yang bertanggung jawab atas urusan rakyatnya, termasuk menjaga hak-hak mereka.
Islam menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak rakyatnya, termasuk hak atas tanah dan properti mereka. Ini menciptakan kerangka kerja yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat, dengan negara yang bertindak sebagai pelindung hak-hak individu.
Demikianlah aturan Islam dalam mengatur masalah pertanahan, sangat adil dan jelas. Sehingga tidak akan ada pihak yang terdzalimi. Sebab, mengambil tanah yang sudah ada pemiliknya meski sejengkal merupakan dosa besar yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat.