Oleh Alfaqir Nuuihya
Ibu Pemerhati Masyarakat
Kasus penemuan mayat yang telah menjadi kerangka kembali terjadi. Berawal dari keanehan warga yang melihat rumah tetangganya lama tanpa cahaya lampu bahkan rumah terlihat tak terurus. Dari kejadian ini, warga berinisiatif menerobos rumah korban, apalagi setelah tercium bau bangkai yang menyengat. Kejadian ini mengingatkan kita pada fenomena serupa beberapa waktu lalu yaitu kasus yang sama-sama terjadi di perumahan elite, Kalideres, sementara kali ini di perumahan elit Cinere, Depok. (kompas.com (07/09/23)
Melihat fenomena ini, betapa telah menjadi hal yang lumrah, masyarakat abai atau tidak peduli akan keadaan sekitar, bahkan menjadi pribadi yang individualis. Sikap ini tidak sepenuhnya salah karena saat ini terkadang peduli kepada sekitar akan diartikan sebagai ikut campur urusan orang lain. Bahkan lebih miris bisa dianggap mengganggu kebebasan tetangga, sebagaimana digaungkan oleh kaum liberal. Sebab, bagi kaum liberalis, kebebasan individu sangat dijamin, individu bebas bersikap apa saja di dalam masyarakat, termasuk menjadi orang yang antisosial.
Masyarakat dibiasakan untuk hidup tertutup, menyendiri, tidak ada interaksi dengan sekitar. Ini mengakibatkan antartetangga tidak saling mengetahui permasalah dan kondisi masing-masing. Padahal sebagai makhluk sosial, kita butuh untuk berinteraksi bahkan untuk saling menjaga dan memelihara.
Apalagi, kita hidup ditunjang oleh sistem kapitalis. Tidak akan terjadi interaksi antartetangga, jika tidak bisa menghasilkan materi. Interaksi dengan tetangga bisa usai begitu saja, jika keinginan kita, semisal materi atau kekuasaan tercapai. Akhirnya, konflik strata itu mudah terwujud.
Maka sangat wajar, jika hubungan dengan sekitar bisa memburuk. Suatu hal yang sangat lumrah, jika kita tidak pernah mengetahui keadaan sekitar karena akhirnya hanya akan melahirkan sikap suuzan dari sekitar. Dalam sistem sekuler saat ini, sikap kita sering kali bagai buah simalakama, peduli sekitar akan dicurigai, tidak peduli sekitar kita terbebani hukum syarak.
Padahal di dalam Islam, peduli kepada tetangga adalah suatu hal yang lumrah. Amar makruf nahi mungkar kepada lingkungan sekitar adalah suatu hal yang ditekankan dalam Islam. Bagaimana bisa kita dikatakan beriman, jika kita tidak bisa bersikap baik kepada tetangga, sedangkan dalam hadis riwayat Muslim saja sudah jelas, bahwa memuliakan tetangga adalah ekspresi keimanan kita kepada Allah dan Hari Akhir.
Lalu bagaimana kita bisa dikatakan hamba yang baik, jika kita tidak bisa berbuat baik kepada tetangga? Padahal begitu banyak ayat Al-Qur'an yang memerintahkan kita untuk senantiasa tolong-menolong dalam kebaikan. Jelas juga dalam hadis riwayat Tirmidzi, bahwa sebaik-baik hamba di sisi Allah adalah yang paling baik kepada tetangganya. Sampai-sampai Rasul saw. saja menekankan dalam hadis riwayat Bukhari bahwa kita tidak akan dikatakan beriman jika tetangga tidak dalam keadaan aman dari sikap kita.
Dalam Islam, dimulai dari diri sendiri, keluarga, lalu masyarakat semuanya mendorong setiap anggota masyarakat menjadi pribadi yang sigap, tolong-menolong, dan peduli akan sekitar. Berlandaskan akidah Islam, masyarakat akan terbiasa dalam suasana amar makruf nahi mungkar, dengan harapan rida Allah. Kita pun tidak akan menjadi pribadi yang gemar meremehkan kebaikan tetangga karena kita paham akan hal dan kewajiban antarsesama.
Terakhir, tersedianya negara yang menerapkan sistem Islam adalah jaminan bahwa sistem sosial Islam itu akan terwujud. Dalam Islam, kita adalah makhluk sosial, yang saling melengkapi dan membutuhkan satu sama lain. Suatu hal yang mustahil, jika kita berharap kepada negara yang bersistem kapitalis untuk bisa menerapkan kepedulian sosial. Oleh karena itu, kita butuh sistem Islam untuk dapat mewujudkan kepedulian tulus kepada sesama dan menghapus sikap individualisme yang berbahaya.
Wallahualam bissawab.