> Politik dan Agama Ibarat Dua Sisi Mata Uang yang Tidak Bisa Dipisahkan - NusantaraNews

Latest News

Politik dan Agama Ibarat Dua Sisi Mata Uang yang Tidak Bisa Dipisahkan


Oleh Venny Swandayani

Aktivis dakwah


Habisnya  masa jabatan presiden dan wakil presiden 2023, capres dan cawapres sudah makin memanas. Sampai saat ini terdapat 3 kandidat yang akan berkompetisi dalam pemilihan presiden 2024. Parpol-parpol dan para pendukungnya sudah saling angkat bicara, dan membuat kampanye hitam dimana-mana, terutama di sosial media.


Jika beberapa waktu lalu ada yang menolak politisasi agama yakni Islam, baru-baru ini muncul pernyataan menteri agama agar jangan memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Menteri agama Yaqut Cholil memperingkatkan masyarakat bahwa "Agama seharusnya dapat melindungi kepentingan seluruh umat, masyarakat. Umat Islam diajarkan agar menebarkan Islam sebagai rahmat untuk semesta alam. Bukan rahmatan lil islami, saja".


Pernyataan yang demikian sejatinya tidak pantas diucapkan oleh pejabat publik apalagi sebagai Menag. Hal ini dapat menyesatkan dan membahayakan kehidupan umat. Karena agama di tuduh sebagai alat politik.  Pernyataan ini pula akan menggiring mindset umat bahwa Islam tidak mengajarkan mengenai politik. Padahal politik dan Islam bukan sesuatu yang terpisah dan asing, justru politik merupakan bagian dari syariat  Islam, dan keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.


Pernyataan menteri agama soal Islam rahmat lil alamin juga keliru. Seolah jika kaum muslim menegakkan akidah dan syariah Islam akan mengancam umat lain. Komentar ini bertentangan dengan makna yang dikandung dalam Al-Qur'an (QS. Al-anbiya:107) dan juga bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Banyak ulama tafsir mu’tabar yang memaknai rahmatan lil ‘alamin itu tidak semata untuk kaum muslim. Profesor Doktor Wahbah Az-Zuhayli dalam at-Tafsir al-Munir menjelaskan makna ayat ini: “Tidaklah Kami mengutus engkau, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat untuk semesta alam, manusia dan jin…”. at-Tafsir al-Munir, 17/142


Maka ketika ada penggambaran negatif terhadap syariah Islam terutama politik dan pemerintahan, sesungguhnya datang dari Barat yang tujuannya untuk menciptakan Islamofobia. Yang seharusnya dilakukan Menag atau pejabat publik lainnya adalah bukan menyalahkan Islam tapi memperingatkan masyarakat agar memilih capres dan cawapres dengan cara yang benar dan tidak menyatakan janji palsu kepada masyarakat yang akan menggiring mereka pada dosa-dosa yang mereka perbuat.


Mestinya yang pantas dicap mempolitisasi agama adalah mereka yang berkamuflase menjelang Pemilu seolah Islami; bersorban, berkerudung, sowan kepada para ulama, difoto sedang shalat, buka puasa, dsb. Padahal keseharian mereka belum tentu demikian. Semua dilakukan sebagai pencitraan agar dipilih oleh kaum muslim.


Kondisi ini menggambarkan betapa buruknya sistem politik demokrasi kapitalisme. Suatu sistem yang meniscayakan politik uang sebagai alat baku untuk politisi dan parahnya lagi Indonesia peringkat nomor tiga sedunia yang sudah menganggap wajar politik uang dalam pemilu Indonesia. Jumlah uang yang digunakan dalam pemilu pun tidak main-main jumlahnya. Menurut ekonom senior, Raden Pardede, belanja politisi sampai pemilu nanti diperkirakan akan mencapai Rp200 triliun.


Dari mekanisme Pemilu seperti itu, apa yang bisa diharapkan oleh rakyat? Terbukti eksekutif dan legislatif sering melahirkan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat. Padahal Nabi saw. telah mengingatkan betapa bahaya perebutan dan haus jabatan serta kekuasaan. 


"Sungguh kalian akan berambisi terhadap kepemimpinan (kekuasaan), sementara kepemimpinan (kekuasaan) itu akan menjadi penyesalan dan kerugian pada Hari Kiamat kelak". (HR al-Bukhari, an-Nasa’i dan Ahmad)


Nabi saw. juga mengingatkan ancaman kepada para pemimpin yang suka menipu rakyat dalam masa jabatannya.


"Tidaklah seorang hamba yang Allah beri wewenang mengatur rakyat, lalu mati, dan hari ketika ia mati ia menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan untuk dirinya surga". (HR al-Bukhari)


Dalam Islam menjadi penguasa itu memiliki tujuan mulia, yakni sebagai amal salih untuk mengurus umat dengan penerapan Islam dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Politik dalam Islam digunakan untuk mengurus urusan umat dan menyatukan wilayah-wilayah kekuasaan Islam di bawah naungan kepemimpinan Islam yang berdiri kokoh selama 1300 tahun lamanya. Keberhasilannya pun sudah diakui oleh orang Barat dan tercetak dalam sejarah, berarti bukti ini dilakukan oleh kaum muslimin dalam melakukan aktivitas politik. Baik di dalam negeri maupun di luar negeri sesuai syariah Islam.


Karena memilih pemimpin bukan sekadar memilih yang beragama Islam, tetapi memilih pemimpin muslim yang akan menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan sehingga tercipta rahmat bagi semesta alam. Tanpa menerapkan syariah Islam, sesalih apapun seorang pemimpin tidak akan bisa mengundang rahmat Allah Swt.


Wallahu a'lam bissawab.

NusantaraNews Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Theme images by Bim. Powered by Blogger.