> Pencegahan Kekerasan Seksual Tak Cukup Hanya Dengan Peran Keluarga. - NusantaraNews

Latest News

Pencegahan Kekerasan Seksual Tak Cukup Hanya Dengan Peran Keluarga.


Tri Lusiana 

(Aktivis Muslimah)


Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Keluarga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Indra Gunawan mengungkapkan keluarga dan masyarakat dapat berkontribusi mencegah tindak pidana kekerasan seksual (TPKS). Indra menyoroti fenomena anak yang menjadi korban TPKS, namun enggan menceritakannya.


Indra menyebut anak tak mau melaporkan kasus TPKS karena takut menjadi aib dan mencoreng nama keluarga. Padahal orangtua perlu menciptakan ruang yang aman dalam keluarga. 

"Mencegah terjadinya kekerasan seksual dapat dimulai dari keluarga, sebab keluarga sebagai lembaga terkecil yang aman bagi setiap anggota bisa melindungi anak-anak mereka dari kekerasan seksual," kata Indra dalam keterangannya pada Ahad (27/8/2023). 


Indra menyebut peran keluarga dalam pencegahan dapat dimulai dari memberikan edukasi kepada seluruh anggota keluarga. Kemudian, dibangun komunikasi yang berkualitas bagi anggota keluarga. "Pencegahan kekerasan seksual khususnya dalam lingkup keluarga perlu terus digaungkan bersama secara terus menerus," ujar Indra. 


Sementara itu, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) dan Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR), Ratri Kartikaningtyas mengatakan kekerasan seksual bisa terjadi dan dilakukan oleh orang terdekat korban karena adanya relasi kuasa yang merugikan pihak korban. Padahal seharusnya, membentuk keluarga yang sehat jasmani dan rohani, dapat dimulai dari orangtua begitu pun dengan pencegahan kekerasan seksual terhadap anak juga dapat dimulai dari keluarga.

"Peran keluarga dalam pencegahan kekerasan seksual dalam keluarga keterampilan pengelolaan stress, relasi yang hangat dan sehat suami istri, edukasi seks pada anak sesuai usia, komunikasi terbuka dan ruang aman untuk bicara, koreksi persepsi orang dewasa tentang kekerasan seksual, dan jejaring dengan lembaga terkait penanganan kasus anak,” ujar Ratri.


Lebih lanjut, Ratri mengatakan dalam sebuah keluarga terdapat dinamika yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual antara lain, kurangnya keterampilan pengelolaan konflik perkawinan, ketidakmampuan pengelolaan stres orang dewasa, budaya relasi kuasa dalam sebuah keluarga dan gangguan dan penyimpangan seksual.

“Untuk mencegah kekerasan seksual kolaborasi dan sinergi dari seluruh pihak sangat dibutuhkan. Pencegahan juga dapat dimulai dari keluarga, keluarga yang sehat akan menciptakan anak yang sehat dan terhindar dari kekerasan seksual,” ujar Ratri (Republika).


Benar, keluarga atau pendidikan dirumah bisa membawa pengaruh besar pada pembentukan kepribadian remaja. Keluarga bisa menjadi pembangun karakter, benteng pertahanan akhlak juga menjadi rumah sakit untuk menyembuhkan persoalan-persoalan yang dihadapi anak diluar rumah. 


Namun perlu diketahui bahwa keluarga tidak bisa berjalan sendiri. Perlu adanya dukungan dari masyarakat, sekolah dan tentunya yang paling berpengaruh adalah kebijakan negara yang sejalan.


Kemudian, bila keluarga dianggap berpengaruh besar harus dipastikan bahwa setiap orangtua punya kemampuan memadai untuk mendidik. Negara harus menyiapkan perangkat kebijakan yang mendukung itu. Karena jika dilihat hari ini, pendidikan yang diajarkan dalam keluarga bertolak belakang dengan kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh negara. 


Sehingga bisa dikatakan bahwa akar masalahnya bukan hanya pada keluarga saja, tetapi dari ketidakseriusan pemerintah untuk membuat kebijakan menyeluruh menyelamatkan generasi. Justru saat ini negara memberlakukan sistem kehidupan sekular-liberal. Dalam sistem kehidupan seperti ini, setiap individu diperbolehkan untuk melakukan apa saja, termasuk dalam perilaku seksual. Tidak heran bila kemudian kekerasan seksual dan berbagai perilaku menyimpang lainnya semakin marak. Nilai-nilai sekular-liberal itu sudah masuk ke tengah-tengah masyarakat .


Karenanya, mencegah terjadinya kekerasan seksual tak cukup hanya dengan peran keluarga saja. Karena sebagian keluarga terkadang sudah mendidik anak sebaik-baiknya, memenuhi kebutuhan dan membangun hubungan kasih sayang terhadap anak. Namun lingkungan dan media massa menghancurkan apa yang dibangun orang tua ini.


Hal ini sangat jauh berbeda dalam Islam, karena dalam Islam memberikan penanganan menyeluruh.


Pertama: Dimulai dari keluarga, orangtua harus menjalankan fungsinya sebagai pendidik dan pembina anak. Nilai-nilai keislaman harus menjadi pedoman dalam pendidikan keluarga. Nilai-nilai sekular-liberal harus dicampakkan. Orangtua patut mewaspadai tontonan, bacaan dan penggunaan gawai pada anak-anak. Ini sebagai salah satu bentuk pelaksanaan firman Allah SWT:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا... 

 Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari siksa api neraka… (TQS at-Tahrim [66]: 6).

Orangtua wajib menanamkan pemahaman pada anak remaja mereka bahwa kedudukan mereka sudah menjadi mukallaf di hadapan Allah SWT. Artinya, amal perbuatan mereka kelak akan dipertangunggjawabkan di hadapan-Nya. Karena itu mereka wajib menjaga diri dari perkara yang telah Allah SWT haramkan.


Kedua: Masyarakat tak boleh bersikap cuek terhadap kerusakan akhlak, karena hanya akan menambah persoalan sosial dan mengundang murka Allah. Sehingga masyarakat tidak sepantasnya membiarkan maraknya kasus kekerasan seksual apalagi menerima itu sebagai kewajaran perilaku. Padahal itu adalah kemungkaran yang seharusnya dihentikan.


Ketiga: Negara harus berperan dalam menjaga akhlak masyarakat, termasuk mencegah berbagai perbuatan yang mendekati terjadinya kekerasan seksual. Misalnya, sekolah-sekolah harus mendidik dan memperingatkan para pelajar agar tidak melakukan aktivitas seperti pacaran baik di lingkungan sekolah maupun di luar. Sanksi pun harus diberikan kepada para remaja dan pelajar yang melanggar aturan tersebut.


Jika masih ada yang melakukan kekerasan seksual,maka akan dijatuhkan sanksi yang tegas, sanksi yang dijatuhkan sebagai bentuk perlindungan terhadap umat manusia. Tindakan kekerasan seksual nyata merusak kehormatan korban dan mengacaukan nasab bayi yang lahir. Bila nasab anak yang masih jelas diketahui ayah biologisnya saja sudah dirusak, bagaimana dengan nasib bayi-bayi yang dibuang oleh orangtuanya? Sungguh malang nasib mereka.


Alhasil, tak ada lagi jalan keluar yang dapat menyelamatkan ummat melainkan syariah Islam. Sudah saatnya kita kembali pada aturan-aturan Allah SWT yang telah menjamin kebaikan dan keberkahan hidup. Sungguh hanya dengan menerapkan syariah Islam secara kâffah, kehidupan dan kehormatan umat manusia akan terlindungi. 


Wallahu a’lam bish-showab

NusantaraNews Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Theme images by Bim. Powered by Blogger.