Sebagian kaum muslimin masih menyakini dan memilih demokrasi sebagai sebuah jalan perubahan. Ini karena mereka memahami demokrasi hanya sebagai alat untuk mewujudkan suatu perubahan.
Sejak demokrasi muncul, kendali kekuasaan berada di tangan para intelektual dan orang - orang bermodal. Pada akhirnya kebijakan negara pun lebih banyak diarahkan untuk kepentingan kelompok tersebut. Hingga kini, di negara demokrasi manapun, kelompok kapitalislah yang menjadi pemilik kekuasaan bahkan kedaulatan. Mayoritas rakyat dipaksa untuk mengikuti suara segelintir orang yang mampu membeli suara rakyat tersebut. Itulah demokrasi yang menyerahkan segala urusannya kepada rakyat. Maka dari itu, kelompok rakyat yang dianggap kuat yang akan menentukan arah negara.
Kaum perempuan juga tak luput dari keterlibatannya dalam mencoba bersaing dalam pesta demokrasi. Yang menjadi iming-iming, adalah kuota 30 % keterlibatan perempuan di pesta demokrasi ini dilansir dari online Republika (29/08/2023), untuk ditempuh sebagai jalan perjuangan kaum perempuan dan untuk memperjuangkan hak rakyat.
Apa yang sudah demokrasi berikan untuk perempuan?. Sesungguhnya sistem buatan manusia ini tidak bisa terhindar dari adanya pengaruh dan perubahan sesuai dengan pendapat pribadi atau kelompok dan menggeser kepentingan nasional. Saat kekuasaan dipegang oleh penguasa yang disokong kapitalis, maka kepentingan rakyat akan diabaikan. Karena itulah, sistem demokrasi - liberal telah memproduksi jutaan perempuan miskin di seluruh penjuru dunia. Mereka dibuat tidak berpendidikan, tidak sehat, tidak aman dan di paksa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
Dengan keterpaksaan mereka mengais sampah di jalan - jalan mencari sisa-sisa makanan untuk menghilangkan rasa lapar mereka. Perempuan Indonesia misalnya, dipaksa untuk bekerja ribuan mil jauhnya dari rumah mereka. Mereka sering disalahgunakan untuk bekerja seperti budak, di pabrik atau di toko dengan upah yang minim, atau menjual tubuh mereka untuk kesenangan laki - laki untuk makan diri mereka sendiri dan keluarga mereka.
Demokrasi yang bertumpu pada kebebasan telah menjadikan keuntungan materi dan finansial menjadi prinsip fundamental dalam pembuatan undang-undang. Misalnya, industri fashion, obat-obat diet dan kosmetik secara legal dibolehkan ada untuk membuat perempuan merasa bahagia dengan penampilan fisik mereka. Industri pornografi, baik dalam bentuk produk film, majalah dan media lainnya legal dalam sistem demokrasi. Akibatnya, masyarakat terpapar oleh berbagai rangsangan seksual dahsyat yang mendorong mereka untuk melakukan perilaku bejat free sex. Hasilnya? Perselingkuhan, kehamilan tidak sah, aborsi dan ragam penyakit seksual masyarakat, termasuk perempuan. Sementara para kapitalis meraup untung dengan adanya industri tersebut.
Demokrasi sekuler ini pun mengajarkan, jika perempuan ingin hidup sejahtera dan bahagia, mestilah ia harus setara dan sejajar dengan laki-laki dalam ukuran materi. Ia akan dihargai dengan lembaran dolar, rupiah yang didapat dengan keringatnya. Para pendukung kesetaraan gender pun mempromosikan bahwa laki-laki dan perempuan harus memiliki hak yang sama, peran dan tanggung jawab yang sama dalam semua bidang kehidupan, termasuk politik.
Harga mahal yang ditebus perempuan akibat demokrasi adalah : Pertama, demokrasi telah menyerang peran keibuan. Ibu yang seharusnya mengasuh dan mendidik anak - anaknya harus menjadi mesin uang dan menduduki kursi jabatan strategis, tanpa pernah mendapatkan penjaga kehormatan, kesehatan, bahkan keamanan serta dipaksa menjauh dari tanggung jawab terhadap anak - anaknya. Kedua, pendidikan anak menjadi tidak maksimal, sebagai konsekwensi dari hilangnya peran keibuan, maka pendidikan anak pun terabaikan. Ketiga, ketidak utuhan rumah tangga. Dampak lanjutan dari pemberdayaan perempuan ala demokrasi adalah ancaman perceraian, hal ini disinyalir karena kemandirian istri secara ekonomi dan politik. Keempat, makin mengokohkan sistem demokrasi dan ekonomi kapitalis. Karena banyak perempuan tidak faham bahwa kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan justru akan melanggengkan sistem demokrasi dan ekonomi kapitalis itu sendiri.
Sungguh, demokrasi adalah sistem ilusi yang penuh kedustaan, yang tidak mampu menjamin kesejahteraan perempuan sebagaimana yang ia inginkan. Ia pun tidak mampu menjamin keadilan ekonomi, juga hak-hak dasar manusia. Bohong jika demokrasi dikatakan berpihak pada rakyat. Kenyataannya, pelaksanaan demokrasi hanyalah berbuah masalah bagi rakyat.
Pertanyaan penting bagi setiap perempuan yang harus direnungkan adalah, " Apakah nilai-nilai sekularisme, liberalisme dan kesetaraan gender dalam sistem demokrasi benar-benar merupakan perubahan yg akan menghapus segala penindasan mereka?
Kerugian besar yang diderita perempuan dan masih terus dirasakan hingga saat ini, seharusnya muncul kesadaran bahwa demokrasi bukan tumpuan harapan perempuan. Kesejahteraan dan kemuliaan perempuan bukan dijamin oleh ide kesetaraan gender dan program pemberdayaan perempuan yang kini diterapkan di berbagai negara, terutama Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim.
Islam sebagai sistem kehidupan yang sempurna telah memberikan aturan kehidupan yang lengkap, termasuk aktivitas politik perempuan. Bahkan, Islamlah yang memelopori pemberian hak politik kepada perempuan saat Barat masih meminggirkan peran perempuan dan justru menganggapnya sebagai sumber godaan dan kejahatan. Islam menjadikan urusan kekuasaan ada pada tangan laki-laki dan melarang perempuan menjadi penguasa. Rasulullah saw. bersabda dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan.” Selain sebagai kepala negara (Khalifah), yang juga dilarang bagi perempuan adalah jabatan mu’awin tafwidh (pembantu Khalifah dalam urusan pemerintahan—dalam sistem demokrasi disebut sebagai menteri).
Meskipun penguasa harus laki-laki, tidak lantas urusan perempuan terabaikan, karena Islam mewajibkan penguasa untuk juga mengurusi perempuan sebagai bagian dari rakyat yang dipimpinnya. Kewajiban ini tidak akan dilalaikan oleh laki-laki yang menjadi penguasa, karena pengurusannya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat kelak. Hal ini jelas berkebalikan dengan keyakinan para pegiat kesetaraan gender yang menyatakan urusan perempuan hanya akan terselesaikan bila perempuan juga berada pada posisi setara sebagai pemimpin dan pengambil keputusan.
Meskipun Islam melarang perempuan sebagai penguasa, tetapi memberikan berbagai hak-hak politik kepada perempuan, seperti hak untuk memilih penguasa, menjadi wakil rakyat dan menasihati penguasa, juga untuk menjadi anggota partai politik. Islam tetap memuliakan perempuan meskipun Islam melarangnya menjadi penguasa. Islam tetap memberikan perlindungan atas kehormatan dan keselamatan jiwanya dan menjamin kesejahteraannya. Islam juga membolehkan perempuan bekerja dalam berbagai bidang sesuai dengan tuntunan syariat.
Islam pun memberi kesempatan kepada perempuan untuk menuntut berbagai ilmu dan mengamalkannya dalam kehidupan. Islam menjadikan perempuan memiliki peran strategis sesuai dengan kodrat yang diberikan Allah kepadanya, yaitu sebagai istri, ibu, dan penerus generasi. Peran kodrati ini sangat penting untuk mewujudkan ketahanan keluarga yang kuat, sehingga membentuk masyarakat Islam yang juga kuat.
Peran kodrati perempuan tersebut tidak lantas menjadikan perempuan lebih rendah derajatnya dibandingkan laki-laki, karena Islam menentukan kemuliaan seseorang ada pada ketakwaannya kepada Allah Swt.. Penghormatan dan terpenuhinya hak-hak perempuan hanya akan terwujud secara nyata dalam wadah negara yang menerapkan Islam secara kafah, yaitu Khilafah Islamiah. Negara Barat yang sekuler tidak akan pernah bisa menjadi harapan, karena aturan hidup yang dibuat berdasarkan akal manusia yang lemah. Oleh karenanya, hanya Khilafah Islamiah yang layak menjadi harapan bagi semua perempuan. Wallahu a’lam bishshawwab.