Aktivis Muslimah ngaji
Sedih miris hancur apa lagi yang harus di katakan untuk kondisi rakyat negeri agraris yang teramat subur ini. Bagaimana tidak menyesakkan? Negeri yang sering disebut sebagai surga dunia karena kekayaan alamnya yang melimpah, di mana tongkat, kayu dan batu menjadi tanaman, ternyata tak mampu menyejahterakan rakyatnya. Bagi masyarakat miskin, sebagian besar pendapatan mereka yang tidak seberapa digunakan untuk membeli bahan pangan, terutama beras.
Sayangnya, hingga hari ini persoalan seputar beras masih saja terjadi dengan masalah klasik yang tidak terurai. Adapun menurut Kepala Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT) Yuris Triyanto, variabel yang sangat berpengaruh adalah rantai penjualan yang panjang dari produsen ke distributor-agen-pengecer dimana setiap titik memberikan pengaruh signifikan terhadap kenaikan harga yang disebabkan karena tambahan biaya transportasi dan tenaga kerja. (liputan, 26/08/2023)
Namun faktanya tidak sesuai harapan yang diinginkan, negeri ini masih memiliki segudang permasalahan, salah satunya dengan ketersediaan bahan pokok seperti beras. Padahal masyarakat Indonesia sekitar 90% mengonsumsi beras sebagai makanan pokok. Kenaikan harga ini jelas berdampak negatif bagi masyarakat.
Masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah dapat dipastikan mengalami kesulitan untuk mendapatkan beras yang layak makan. Jika kenaikan harga beras dikarenakan India melarang eksport beras, seharusnya hal ini tidak memberikan pengaruh terhadap harga beras dalam negeri, namun jika hal ini dijadikan alasan, membuktikan bahwa harga dalam negeri terpengaruh dengan kebijakan pasar internasional, negara tidak memiliki kekuatan untuk melindungi harga dalam negeri.
Kemiskinan yang terjadi saat ini merupakan kemiskinan yang terjadi secara sistematis. Bagaimana tidak, kemiskinan yang terjadi merupakan dampak dari penerapan sistem ekonomi Kapitalisme. Sistem ini menjadikan kekayaan alam dikuasai para kapital dengan cara legal. Padahal, kekayaan alam yang notabenenya merupakan harta kepemilikan umum seharusnya untuk kemaslahatan rakyat bukan segelintir golongan atau individu. Alhasil, hasil yang melimpah dari sektor ini masuk ke dalam kantong para korporat dan negara tidak memiliki dana untuk mengurus rakyatnya.
Padahal Indonesia dianugerahi sumber daya alam yang melimpah dan beraneka ragam komoditas pangan, tanah subur yang terbentang luas dan juga para pakar pertanian. Namun karena adanya situasi ekonomi global, sehingga negeri ini tidak mampu menjadi negara mandiri yang mampu mengelola sumber pangan untuk pemenuhan kebutuhan rakyat termasuk beras.
Akar persoalan ini muncul karena paradigma yang keliru dari tata kelola sistem pertanian yang mengadopsi konsep kapitalisme yang semuanya diukur dengan standar untung dan rugi. Padahal negara dalam hal ini perlu mewujudkan kemandirian pangan agar rakyat tidak merasakan kesulitan dari pelonjakan harga pangan.
Kenaikan harga beras yang terjadi saat ini dipicu oleh beberapa hal. Turunnya pasokan beras dalam negeri selama musim kemarau dan terjadinya El Nino yang berdampak kekeringan pada lahan pertanian dipandang sebagai penyebab naiknya harga beras. Faktor lain seperti persaingan pasar, konversi lahan pertanian secara besar-besaran hingga tingginya biaya produksi juga disinyalir menjadi penyebab harga beras menjadi mahal.
Penyebab mahalnya harga beras dalam negeri ternyata tidak hanya itu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Pengamat Pertanian, Khudori, bahwa penyebab kenaikan harga beras bukan karena faktor tunggal saja. Adanya kebijakan global terkait dengan larangan ekspor beras di India turut memicu kenaikan harga beras.
Negeri agraris dengan tanahnya yang subur dan terhampar luas nyatanya sudah sangat bergantung kebutuhan pangannya dari pasokan luar negeri. Kondisi wilayah yang sangat potensial tak mampu menjadikan negeri ini berdaulat dan mampu berswasembada pangan memenuhi kebutuhan dasar masyarakatnya. Negeri ini tak bisa mencukupi kebutuhannya sendiri. Yang ada malah banyak tergantung kepada orang lain sehingga harus tunduk pada kebijakan luar negeri.
Namun, apa yang mau dikata negara justru menyerahkan urusan ini kepada para korporasi. Begitupun juga terkait aspek distribusi yang dalam hal ini negara alpha, yang berakibat merajalelanya para mafia yang banyak melakukan penimbunan barang.
Konsep ekonomi kapitalis neoliberal telah gagal dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat dalam urusan pangan.
Berbeda halnya dengan konsep Islam yang sudah terbukti mampu dalam menjaga kedaulatan negara dan kemandirian pangan. Yaitu dengan cara mengoptimalisasi kebijakan sektor hulu, yakni dengan meningkatkan produksi pertanian dengan intensifikasi, seperti menyediakan bibit unggul, pupuk dan sarana lain yang dibutuhkan dalam sektor pertanian. Negara juga akan memberikan subsidi kepada rakyat dengan cuma-cuma, semua itu bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian.
Islam mewajibkan negara untuk menyediakan kebutuhan pokok. Tidak hanya memperkirakan kecukupan, namun memastikan kebutuhan setiap individu terpenuhi. Islam mengharamkan negara mematok harga, dan Islam memiliki mekanisme agar ketersediaan pangan dan harganya tetap terjaga Islam juga melarang kaum muslim bergantung pada asing agar negara punya kedaulatan,meskipun Islam tidak melarang import asalkan memenuhi kriteria syariat, seperti larangan kerja sama dengan negara kafir harbi.
Islam sebagai agama yang diturunkan dengan seperangkat aturan di dalamnya memiliki pandangan tersendiri terkait pengelolaan pangan sebagai kebutuhan pokok. Negara adalah pihak yang mengatur segala keperluan rakyat termasuk dalam hal pangan.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Imam/khalifah itu laksana gembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap hewan gembalanya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits ini memberikan gambaran bahwa seorang pemimpin negara memiliki kewajiban untuk menjamin terpenuhinya segala kebutuhan dasar (primer) setiap individu masyarakat secara keseluruhan. Pangan bersama sandang dan papan merupakan hak dasar rakyat yang harus dipenuhi oleh negara.
Dari kewajiban ini, seorang pemimpin dituntut untuk memberdayakan segala potensi yang dimiliki daulah untuk mewujudkannya. Negara akan memastikan semua lahan pertanian atau sawah benar-benar tergarap maksimal. Melalui penerapan mekanisme pengaturan tanah sesuai syariat Islam, negara akan memaksimalkan produksi pangan
Hal ini bisa ditempuh dengan cara menghidupkan tanah mati, kewajiban mengelola tanah oleh pemiliknya, serta larangan untuk menyewakan lahan pertanian. Dengan begitu, akan meniscayakan tidak ada lahan pertanian yang menganggur. Pemilik tanah yang menelantarkan tanahnya lebih dari tiga tahun, akan dicabut haknya sehingga ia tidak lagi memiliki tanah tersebut.
Sebagaimana dahulu Khalifah Umar ra. pernah berkata, “Orang yang memagari tanah, tidak berhak lagi (atas tanah tersebut) setelah (menelantarkannya) selama tiga tahun.”
Sehingga petani tidak mengeluh dengan kenaikan gabah, pupuk dan lainnya. Negara juga akan menyediakan lapangan pekerjaan kepada para petani yang tidak mempunyai lahan.
Dalam sistem Islam pemimpin adalah sebagai ra'in bagi rakyatnya, karena setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.