Oleh Yulia Ummu Haritsah
Ibu
Rumah Tangga dan Pegiat Literasi
Akhir-akhir ini si melon jadi bahan
incaran para Emak-emak delegasi dapur. Dia susah ditemukan di beberapa tempat,
usut punya usut ternyata si melon berubah penampilan, kini tidak berwarna hijau
lagi, tapi berubah menjadi lebih cantik dengan berbalut warna merah muda.
Cantik memang cantik, tapi harganya
melambung tinggi. Sebelumnya memiliki harga kisaran 18-20 ribu, kini menjadi ekitar
54 ribu. Dengan harga selangit, hampir lebih dari dua kali lipat membuat Emak-emak
panik, dituntut memutar otak bagaimana mensiasati agar dapur tetap ngebul.
Femomena yang dimaksud di atas adalah menghilangnya
gas LPG 3 kg di beberapa tempat. Menurut Direktur Utama, PT Pertamina Nicke
Widyawati, karena meningkatnya permintaan masyarakat ketika liburan bulan lalu,
menyebabkan pasokan gas LPG langka di pasaran. Sehingga Pertamina pun
melakukan operasi pasar, untuk meminimalisir kekurangan pasokan gas, meski
harus antri panjang, masyarakat rela, demi membeli si melon yang langka.
Menjadi pertanyaan besar, benarkah
meningkatnya pemakaian di saat musim liburan dapat mengakibatkan kelangkaan gas
bersubsidi?
Kalau kita melihat kejadian sebelumnya, femomena
kelangkaan terjadi selalu diikuti produk baru, seperti ketika minyak tanah
langka, ternyata digantikan dengan gas,
ketika premium langka ternyata diganti dengan pertalite, ketika
pertalite langka diganti pertamax, begitu dan selalu begitu. Kini gas bersupsidi langka, akankah digantikan
oleh gas tak bersubsidi?
Datangnya produk baru kali ini, yang sama
kapasitas beratnya, tetapi memiliki harga lebih tinggi disebabkan tidak di
subsidi oleh pemerintah. Hal ini menjadi momok yang mengerikan untuk masyarakat
pada umumnya.
Karena dengan harga lebih mahal,
masyarakat pasti akan berusaha untuk membelinya walau terasa berat, karena merupakan kebutuhan pokok. Sehingga keinginan untuk memberikan kehidupan yang
layak kepada keluarga pun terhambat, karena mendahulukan memenuhi kebutuhan
primer.
Sungguh hidup di zaman kapitalis sekarang,
membuat hidup terhimpit. Kita harus berjuang sendiri untuk memenuhi kehidupan
keluarga sendiri, di tambah lagi biaya sekolah, biaya kesehatan yang harus ditanggung
sendiri, sehingga tak ada pelindung dalam kehidupannya.
Berbeda jauh dengan sistem Islam. Islam
membangun masyarakat dan penguasa satu kesatuan yang solid. Penguasa berperan
sebagai pelindung rakyatnya, dan sebagai pelayanan rakyatnya, sementara masyarakat mencintai pemimpinnya,
sehingga menjadi simbiosis mutualisme demi terciptanya kehidupan yang saling
melengkapi sesuai fitrahnya.
Begitu juga dengan kebutuhan primer,
semua dijamin pemenuhannya. Jika harus membeli, tentu dengan harga murah. Negeri
ini difasilitasi oleh Allah Swt. dengan Sumber Daya Alam yang melimpah, SDA
tersebut harus dikuasai oleh negara, dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan
rakyatnya. SDA tidak boleh dikuasai oleh swasta, karena Rasulullah saw. bersabda
menegaskan,
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga
perkara yaitu padang rumput, air, dan api." (HR. Abu Dawud dan
Ahmad).
Hutan, kekayaan alam, air, gas bumi, dan Sumber Daya Alam lainnya, harus dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk
kebutuhan rakyatnya.
Namun, sekarang kekayaan negeri ini dikuasai
oleh para pemilik modal. Sehingga harga diserahkan kepada mereka, menjadikan
kekuatan oligarki menguasai pasar. Seperti sekarang penguasa jadi pebisnis terhadap rakyatnya,
sehingga penguasa jadi pengusaha, siapa yang beruang dia yang berkuasa.
Itulah rusaknya sistem kehidupan buatan
manusia, yang membuat aturan sesuai keinginannya, keserakahan dan kerakusan
untuk mengeruk SDA demi kantong pribadi, kroni, dan oligarki. Sehingga rakyat
menjadi korban atas keserakahannya.
Oleh karena itu, sudah saatnya kembali
kepada aturan Allah dari segala aspek kehidupan, menerapkan aturan Allah secara
kaffah, sehingga negeri yang baldatun toyibatun warobbun ghofur tercipta.
Wallahualam bissawab