Sebulan lalu tepatnya 23 Juli 2023, Indonesia baru saja memperingati hari anak nasional yang sudah menjadi agenda tahunan di Indonesia. Namun apakah dengan diperingatinya hari anak sudah memberikan kesejahteraan bagi anak atau justru masih terabaikan?
Sebenarnya, pemerintah berusaha untuk memberikan wadah bagi para pemegang kebijakan untuk bersama-sama memberikan kesejahteraan pada anak dan memberikan hak anak dengan sepenuhnya melalui program Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) yang diusut oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).
Namun kita tahu masalah yang melibatkan anak masih tergolong masif di Indonesia. Dari mulai stunting, kekerasan terhadap anak, kesehatan mental sampai pendidikan anak yang banyak mengalami perubahan. Belum lagi paparan negatif dunia maya juga mempengaruhi bagaimana cara anak berpikir dan berperilaku. Hal ini tentu menjadi perhatian, khususnya bagi orang tua untuk lebih memperhatikan bagaimana anak-anak dalam mengonsumsi media sosial.
Maka dari peringatan Hari Anak Nasional, sebetulnya menjadi refleksi bagi kita semua untuk lebih dalam melihat pada kondisi anak-anak saat ini. Misalnya pada sektor pendidikan anak, berkaca pada bagaimana pendidikan Islam di masa Daulah dulu. Satu hal yang masih teringat di pikiran saya bahwa pendidikan Islam sangat menitikberatkan pada fitrah anak masing-masing.
Pendidikan Islam mengajak anak untuk mengasah fitrah anak agar bisa memberikan kontribusi yang bermanfaat untuk Islam. Tidak seperti pendidikan Barat yang diadopsi di Indonesia terlihat sekali pendidikan cenderung menghantarkan anak untuk ‘mencari uang’ dan ‘memiliki kuasa’ di masa depan.
Alih-alih mementingkan kualitas agama, pendidikan Barat justru hanya fokus pada materi saja. Dalam artikel yang di tulis oleh Asad Zaman yang berjudul Teaching Fish to Fly, ada satu kalimat yang ditulis oleh Sami Abdul Aziz yaitu, "Di sini tidak ada ikan yang dipaksa untuk terbang dan tidak ada burung yang disuruh untuk berenang." Kata-kata tersebut ditulis untuk menggambarkan bagaimana pendidikan Islam di masa Ottoman.
Pendidikan Islam tidak memaksakan anak untuk berperan yang tidak sesuai dengan fitrahnya karena tujuannya mencetak para pemimpin peradaban. Dalam pendidikan Islam, seorang guru berkewajiban memotivasi anak untuk belajar serta mengembangkan potensi anak. Maka peran guru bukanlah memberikan ilmu pengetahuan saja melainkan memotivasi untuk terus bertumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrahnya masing-masing.
Hal tersebut diharapkan bisa memaksimalkan peran anak untuk masa depan Islam yang lebih baik. Kontribusi nyata untuk kebermanfaatan umat jauh lebih diharapkan agar bisa menciptakan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat bukan kaum tertentu saja.[]