Oleh Venny Swandayani
Pelajar dan Aktivis Dakwah
Belakangan ini, warga Indonesia sedang dihebohkan dengan berita tentang berdirinya Pondok Pesantren Al-Zaitun yang meliputi berbagai macam misteri dan kontrovensi. Pemimpinnya, yakni Panji Gumilang yang berlokasi di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Banyak pihak menilai Pondok Pesantren Al-Zaitun dan Panji Gumilang telah menyimpang dari ajaran Islam. Masyarakat pun kian resah dan meminta kepada pemerintah untuk membubarkan ponpes tersebut karena kegiatannya yang dianggap sesat viral di media sosial.
Viralnya video pelaksanaan shalat idul fitri yang diatur berjarak dan ada perempuan di antara shaf laki-laki di Pondok Pesantren Al-Zaitun, lalu diikuti statemen pemimpinnya yang mengaku bermazhab Soekarno, serta ajakan sang pemimpin untuk menyanyikan salam Yahudi bersama jemaah yang hadir, adalah beberapa contoh penyimpangan paham pesantren Al-Zaitun yang sudah terdeteksi sejak lama. Selain itu ada juga cuplikan video ceramah Panji Gumilang yang mengeklaim bahwa al-Quran bukanlah firman Allah Swt. tetapi ucapan Nabi Muhammad saw. yang berasal dari wahyu Allah Swt. Klaim ini terkonfirmasi juga saat wawancara eksklusif Panji Gumilang di salah satu televisi swasta.
Mirisnya, hingga kini pujian dan suara dukungan kerap dilontarkan oleh para pejabat pemerintah terhadap ponpes yang disebut-sebut termegah, termodern, dan terbaik se-Asia Tenggara ini. Bahkan ketika desakan masyarakat kian santer untuk membubarkan Al Zaitun, pemerintah terkesan ambigu dan enggan bersikap tegas. Padahal sudah banyak kasus dan isu yang beredar soal penyimpangan paham dari pesantren yang berdiri di atas lahan seluas 1.200 hektar di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat ini. Desakan masyarakat tentang menyuarakan perihal Pondok Pesantren Al-Zaitun seakan-akan tidak didengar.
Mengapa negara enggan membubarkan Al Zaitun meski fakta penyimpangannya tersebar nyata dan mengancam akidah umat Islam?
Semua itu tidak lain karena negara saat ini menganut dan menerapkan akidah sekularisme. Akidah sekularisme adalah akidah dimana agama harus dipisahkan dari urusan negara dan kehidupan umat. Bukan hanya itu negara pun tidak berhak mencampuri urusan keyakinan warga negaranya. Dari sekularisme akhirnya lahir sistem demokrasi yang menjamin kebebasan yang disebut liberalisme. Di antaranya kebebasan beragama. Ini tidak ada masalah karena dalam Islam juga setiap orang bebas memeluk agama dan setiap orang tidak boleh dipaksa untuk memeluk agama Islam sebagaimana firman Allah berikut: "Tidak ada paksaan dalam memasuki agama (Islam)." ( QS al-Baqarah [2]: 256)
Masalahnya, dalam demokrasi kebebasan beragama tak hanya dipahami sebagai kebebasan untuk memeluk agama tertentu. Demokrasi justru menjamin kebebasan bagi siapapun untuk menyelewengkan ajaran agamanya. Terbukti dengan banyaknya aliran sesat seperti Ahmadiyah, Lia Eden, Gafatar, Kerajaan Ubur-ubur dan kasus menistakan ajaran agama Islam, terkesan dibiarkan. Inilah bahaya yang sebenarnya ketika kebebasan umat itu tak berlandaskan syariat melainkan hawa nafsu manusia dengan akidah kufurnya.
Berbeda halnya dalam negara Islam. Rasulullah saw. ketika beliau menjadi kepala negara di Madinah sangat tegas terhadap aliran yang menyimpang. Salah satu contohnya adalah peristiwa seseorang yang mengeklaim sebagai nabi (nabi palsu). Dialah Musailamah al-Kadzdzab dengan nama aslinya adalah Musailamah bin Habib dari Bani Hanifah. Rasulullah saw. kemudian mengirimkan surat untuk Musailamah sebagaimana dikutip dalam Sirah Ibnu Ishaq: “Dari Muhammad Rasulullah kepada Musailamah sang Pendusta. Keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk (QS Thaha: 47). Sungguh bumi ini adalah milik Allah. Allah mewariskan bumi ini kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa." (Ibnu Hisyam, Sîrah Ibnu Hisyâm, 2/601).
Selain Musailamah, di era pemerintahan Islam, khususnya masa Khulafaur Rasyidin dan era setelahnya, masih banyak orang yang menyebarkan aliran sesat/menyimpang. Rata-rata mengeklaim sebagai nabi. Mereka sebelumnya muslim, lalu menyimpang dari ajaran Islam. Disebutkan dalam Nihâyat al-'Alam karya Muhammad al-'Arifi bahwa selain Musailamah, ada beberapa nabi palsu yang hidup pada zaman Rasulullah saw. dan para khalifah sepeninggal beliau. Semuanya diperangi oleh negara, tentu setelah sebelumnya mereka diminta untuk bertobat dan kembali ke dalam pangkuan Islam, tetapi mereka menolak.
Demikianlah sikap tegas yang ditunjukkan Rasulullah saw. dan para khalifah dalam menyikapi penyimpangan akidah. Ketegasan ini adalah bukti bahwa hanya Islam yang bisa mewujudkan sosok pemimpin penjaga agama/akidah umat. Semua hal ini akan kembali terealisasi jika sistem Islam diterapkan ditengah-tengah umat, karena negara akan menjaga dan melindungi umat dengan manjauhkan pemikiran-pemikiran asing yang menyimpang dan memberikan sanksi yang tegas kepada siapa pun jika sengaja menistakan ajaran agama Islam. Allah Swt. telah berfirman:
"Siapa saja yang mencari agama selain Islam tidak akan diterima dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. (TQS Ali ‘Imran [3]: 85)
Wallahu a'lam bissawab.