Oleh Ummu Fatiha
Pegiat Literasi
Mati satu tumbuh seribu sederet kasus korupsi bermunculan seolah menjadi budaya yang langgeng di negeri ini. Banyak koruptor ditangkap dan dijebloskan ke penjara oleh KPK. Namun nyatanya, koruptor-koruptor baru semakin banyak bermunculan, baik dari kalangan pejabat daerah hingga ke pejabat pusat.
Masyarakat Kabupaten Bandung dikagetkan dengan munculnya dugaan tindak pidana korupsi setelah sebelumnya Ketua Umum Komite Pencegahan Korupsi (KPK) Jawa Barat (Jabar), Piar Pratama, melaporkan salah satu anggota DPRD kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Bale Bandung.
Selang beberapa hari dari laporan tersebut Bupati Bandung Dadang Supriatna juga dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan tindak pidana korupsi. KPK tengah menelaah laporan tersebut. Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri membenarkan adanya pelaporan tersebut melalui jalur Pengaduan Masyarakat (Dumas). Pelaporan itu disinyalir terkait dengan dugaan penerimaan gratifikasi proyek revitalisasi pasar di Kabupaten Bandung.
Terlepas dari benar tidaknya pemberitaan di atas persoalan korupsi memang sudah menjadi makanan sehari-hari rakyat Indonesia. Mulai dari korupsi tingkat desa hingga level pejabat tinggi negara seperti menteri dan anggota DPR. Bila diakumulasi tentu kerugian negara sangatlah besar, dan ini sangat berefek pada pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
Faktor internal bisa karena lemahnya ketakwaan individu sehingga menurunkan integritas dan menghalalkan segala cara. Faktor eksternal yang turut menyuburkan korupsi adalah lemahnya kontrol negara dan sistem hukum. Negara yang harusnya menegakkan sanksi atas pelaku korupsi nyatanya tak terjadi dalam sistem saat ini. Bahkan hukuman pidana bagi koruptor tidak sebanding dengan dampak dari perbuatan yang mereka lakukan. Sehingga harapan bahwa hukuman tersebut bisa berefek jera tak pernah terjadi.
Sistem politik pilihan Indonesia memiliki konsekuensi yang logis. Siapa pun yang ingin memegang kekuasaan, harus melewati jalan yang sulit dengan prinsip-prinsip keuangan. Partai politik yang menjadi kendaraan tidak memberikan tiket gratis secara langsung. Ada biaya yang harus dibayar untuk mendapatkan posisi kekuasaan. Pertukaran ini tidak hanya melibatkan uang, tetapi juga janji-janji dan kepentingan lainnya untuk menempatkan orang-orang pilihan. Praktik ini umum dan dikenal oleh publik terkait dengan saling tukar jabatan demi keinginan memiliki kekuasaan.
Jika uang menjadi segalanya ketika naik kekuasaan, tidak heran bahwa ini mengonfirmasi bahwa sistem politik demokrasi sangat korup. Akibatnya, praktik korupsi berkembang dengan berbagai cara. Penyalahgunaan kekuasaan membuka peluang untuk suap, terutama terkait dengan pengelolaan anggaran, pengesahan, dan pembahasan anggaran. Praktik korupsi dan suap tidak hanya terjadi dalam lembaga legislatif, tetapi juga merembet ke lembaga eksekutif dan yudikatif.
Sistem demokrasi merupakan sistem yang membuka celah lahirnya para pelaku korupsi ketika negara tak memiliki perannya sebagai pemimpin. Korupsi kini dilakukan secara kolektif dan saling membantu untuk menutupi masalahnya. Kekuasaan mutlak korup memang nyata jika diterapkan pada sistem demokrasi. Ini jelas berbeda dengan Islam.
Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawab tersebut tidak hanya berlaku di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah di akhirat. Oleh karena itu, sistem Islam yang didasarkan pada akidah Islam memberikan solusi yang tidak hanya muncul ketika ada masalah. Sistem Islam mencegah manusia untuk memiliki niat korupsi sejak awal. Di sinilah Islam memberikan solusi secara sistemik dan ideologis terkait dengan pemberantasan korupsi.
Islam tidak hanya mengatur ritual, tetapi juga mengatur kehidupan, terutama dalam pemilihan pemimpin dan pejabat negara. Seorang kepala negara dalam Islam diangkat berdasarkan rida dan pilihan rakyat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan Al-Quran dan sunah. Demikian pula, pejabat yang diangkat harus melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dua sumber hukum tersebut.
Pengangkatan kepala daerah dan pemilihan anggota majelis umat dalam Islam memiliki karakteristik yang berkualitas, amanah, dan tidak memerlukan biaya yang tinggi. Hal ini dilakukan untuk menekan korupsi, suap, dan hal-hal lainnya. Namun, tetap ada perangkat hukum yang disiapkan untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai negara. Selain itu, dilarang keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh secara tidak syar'i, baik dari harta milik negara maupun dari masyarakat.
Pemerintah dalam sistem Islam juga akan membentuk Badan Pemeriksa Keuangan. Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab "Al-Amwal fi Dawlah Khilafah" menyebutkan bahwa untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan melakukan kecurangan atau tidak, badan pemeriksa keuangan melakukan pengawasan yang ketat.
Oleh karena itu dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, pemerintah menetapkan takwa sebagai syarat, selain profesionalitas. Karena takwa menjadi kontrol awal sebagai pencegah terhadap perbuatan dosa dan sikap tercela. Dengan iman yang kuat, seorang pejabat selalu merasa diawasi oleh Allah Swt. dalam melaksanakan tugasnya.
Ketika takwa digabungkan dengan zuhud, yaitu merendahkan pandangan terhadap dunia dan merasa cukup dengan apa yang Allah berikan, pejabat atau pegawai negara menjadi benar-benar amanah. Mereka tidak bertujuan untuk dunia semata, tetapi mengutamakan rida Allah dan pahala sebagai standar mereka. Mereka menyadari bahwa menjadi pemimpin, pejabat, atau pegawai negara hanya sebagai sarana untuk menghormati Islam dan umat muslim bukan demi kepentingan materi atau memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.
Di samping itu, negara dalam sistem Islam benar-benar menjalankan perannya untuk melayani rakyat dengan sepenuh hati. Mereka tidak tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau kelompok elit yang rakus. Oleh karena itu, untuk memastikan loyalitas dan totalitas dalam mengurus umat negara memberikan gaji yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Untuk menjaga terlaksananya syariat di tengah umat, negara akan menegakkan sanksi sebagai upaya untuk menciptakan efek jera dan mencegah munculnya kasus yang serupa. Hukuman bagi pelaku kecurangan/korupsi dapat berupa publikasi, stigma sosial, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, bahkan hukuman mati.
Sejarah juga mencatat tindakan yang tegas dalam penegakan keadilan dalam pemerintahan Islam. Sebagai contoh, Khalifah Umar pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membaginya menjadi dua setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya, Muawiyah, yang saat itu menjabat sebagai gubernur Syam.
Dengan demikian, perubahan menuju Islam dan implementasi solusi Islam dalam memberantas korupsi harus segera dilakukan. Upaya ini membutuhkan kesungguhan dan komitmen untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang menerapkan syariat Islam secara komprehensif. InsyaAllah, dengan implementasi nilai-nilai Islam, korupsi dapat diberantas dan keadilan dapat terwujud dalam pemerintahan.
Wallahu a'lam bishawab