Kepolisian Negara Republik Indonesia menangkap 12 anggota sindikat tindak pidana perdagangan orang atau TPPO jaringan internasional yang menjerat 122 korban dengan modus penjualan organ ginjal di Kamboja.
Dua orang, di antaranya, merupakan anggota polisi dan petugas imigrasi, mereka turut membantu merintangi penyidikan sejak markas sindikat ini terungkap di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, pada Juni 2023.
Sindikat ini dikoordinasi oleh tersangka berinisial H (40) yang ditangkap di Bekasi pada 27 Juni 2023. H berperan mengatur semua hal, mulai dari menjaring korban melalui media sosial Facebook hingga memberangkatkan korban untuk operasi ginjal di Kamboja.
Dalam merekrut korban, H dibantu oleh tersangka D (30), A (42), dan E (23) melalui dua grup Facebook. Setiap ginjal korban dihargai senilai Rp 135 juta, ginjal itu kemudian dijual seharga Rp 200 juta, artinya para pelaku mendapat keuntungan Rp 65 juta per ginjal.
Sejak beraksi pada 2019, para pelaku meraih omzet sebesar Rp 24,4 miliar. Para korban tergiur karena terimpit masalah ekonomi yang terdampak pandemi Covid-19. Ginjal ini akan dijual ke sejumlah negara, seperti India, Malaysia, Singapura, hingga China.
kasus perdagangan organ tubuh manusia di Indonesia bukanlah hal baru. Pada tahun 2014 dan 2016, kepolisian mengungkap jaringan perdagangan ginjal di Makassar dan Bandung, Jawa Barat. Peristiwa ini melibatkan 30 korban yang menjual ginjalnya dengan dengan harga antara Rp75 juta—Rp90 juta. Untuk menutupi kejahatannya, kelompok ini melibatkan kantor notaris agar antara penjual dan pembeli sah secara hukum melakukan kesepakatan transplantasi ginjal tanpa ada paksaan, tuntutan di kemudian hari, ataupun motif uang di baliknya
Padahal undang undang di Indonesia melarang jual beli organ tubuh manusia. Hal ini diatur dalam UU Kesehatan maupun KUHP bahwa organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apa pun. Setiap orang yang terlibat dalam transaksi ini terancam hukuman paling lama 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Sementara itu, mereka yang menjadi makelar dalam hal ini bisa dijerat delik pidana perdagangan orang.
Realitas perdagangan organ ini jelas meresahkan, apalagi jelas-jelas melibatkan aparat. Kombes Hengki menjelaskan, oknum anggota Korps Bhayangkara itu berinisial Aipda M, sedangkan oknum petugas imigrasi berinisial HA. Terlaporkan, Aipda M menerima Rp612 juta untuk membantu para tersangka agar tidak terlacak oleh aparat. Perihal ini, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun menegaskan Aipda M dipastikan menjalani proses pidana.
Tentu saja ini membuat miris,keterlibatan aparat yang seharusnya melindungi keamanan masyarakat justru terlibat aksi untuk memuluskan sindikat ini dengan jaringan internasional.
Ditambah lagi kondisi masyarakat yang putus asa dalam peradaban sekuler materialistik. Uang menjadi poros aktivitas. Terlalu sulit untuk sekadar menyalahkan individu pelaku sebab terlalu banyak faktor sistemis yang menjadi pemicu.
Demokrasi Kapitalis, Biang Kemiskinan Massal
Kalau kita cermati, peristiwa ini berulang terjadi , mencerminkan kondisi masyarakat yang sekarat. Kebutuhan pada cuan beririsan dengan minimnya pengurusan negara terhadap kebutuhan rakyatnya.
Demokrasi melahirkan pemimpin tak amanah, yang akhirnya memunculkan perilaku khianat, korup, culas, dan ingkar. Semua ini karena proses politik demokrasi yang tidak alami.
Rakyat diminta memilih orang-orang pilihan parpol. Ketika para calon menang, mereka harus mengakomodasi kepentingan pemodal dan pendukungnya. Itulah politik balas budi. Dari praktik politik inilah lahir regulasi yang lebih memihak kepentingan kapitalis.
Janji mereka pada rakyat pun kandas dikalahkan nafsu kepentingan kekuasaan. Alhasil, kemiskinan hari ini adalah efek domino pemilihan pemimpin politik demokrasi.
Kemiskinan yang menimpa rakyat tidaklah berdiri sendiri tanpa sebab. Mereka hidup miskin bukan karena nasibnya yang tak beruntung. Mereka miskin bukan pula karena keterbatasan skill. Mereka sejatinya dimiskinkan sistem yang serba kapitalistik. Mereka dimiskinkan secara terstruktur oleh penguasa demokrasi kapitalis.
Mau sekolah tinggi, terkendala biaya pendidikan mahal. Mau kerja nyaman, terhalang skill yang tak mumpuni akibat pendidikan rendah. Mau kerja, tidak tahu dapat modal dari mana. Mau belanja kebutuhan, harga bahan pokok naik. Bayar listrik, air, tidak ada yang gratis. Ingin menikmati kesehatan gratis harus dihadapkan dengan aturan dan administrasi berbelit.
Semua ini karena segala komoditas dikapitalisasi. Dari mulai pendidikan, perdagangan, hingga kesehatan dikapitalisasi penguasa hasil pilihan demokrasi.
Kebijakan untuk rakyat dipersulit, regulasi untuk pemodal justru dipermudah. Belum lagi rakyat harus berhadapan dengan korupsi menahun di negeri ini. Di situasi pandemi, para penguasa itu masih saja memanfaatkannya sebagai ladang korupsi berjemaah seperti bansos yang dikorupsi mensos tadi.
Bagaimana kemiskinan mau dihilangkan bila akar masalah kemiskinan itu sendiri belum dituntaskan? Yaitu sistem demokrasi yang melahirkan pemimpin korup tidak amanah dan ekonomi yang serba kapitalistik. Lantas, bagaimana mengentaskan kemiskinan dengan solusi pas, tuntas, dan total?
Islam Mengatasi Kemiskinan
Islam memandang bahwa penyebab utama terjadinya ketimpangan adalah pada buruknya distribusi kekayaan. Sedangkan distribusi kekayaan tak bisa dilepaskan dari peran pemerintah. Oleh karena itu, peran sentral pemerintah menjadi faktor kunci terselesaikannya permasalahan ini. Pemerintahlah yang memiliki kewajiban menjamin kebutuhan umat.
Kriteria miskin dalam Islam bukan dihitung rata-rata, melainkan dihitung satu per satu kepala, apakah sudah tercukupi kebutuhan primernya, yaitu sandang, pangan, dan papan. Kepala keluarga yang menjadi pihak pencari nafkah pun akan dipermudah dan difasilitasi dalam bekerja, baik itu akses pada modal tanpa riba, pelatihan, hingga penyediaan lapangan kerja.
Jika kepala keluarga tidak mampu memenuhinya, yang wajib membatu adalah kerabatnya. Pendataan yang baik disertai perangkat pemerintah yang amanah akan meniscayakan pelaksanaan sensus tersebut.
Jika seluruh kerabatnya tak mampu memenuhi kebutuhan si polan, kewajiban memberi nafkah jatuh kepada kas negara (Baitulmal).
Anggaran yang digunakan negara untuk membantu individu yang tidak mampu, pertama-tama diambil dari pos zakat, sesuai dengan surah At-Taubah: 60. Apabila zakat tidak mencukupi, negara wajib mencarinya dari pos lainnya di Baitulmal. Apabila pos lainnya pun kosong, kewajiban menafkahi orang miskin beralih pada kaum muslim secara kolektif.
Secara teknis bisa dilakukan dengan dua acara: Pertama, cara langsung yaitu kaum muslim secara individu membantu orang-orang yang miskin.
“Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya.” (HR Ath-Thabrani)
Kedua, dengan skema dharibah (pungutan insidental) kepada orang laki-laki muslim yang kaya, hingga kebutuhan umat terpenuhi. Jika sudah terpenuhi, pungutan tersebut tidak diperlukan lagi dan negara akan menghentikan skema ini.
Seperti Firman Allah di bawah ini:
وَفِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِ
“Dan pada harta benda mereka, ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta.” (TQS Az-Zariyat: 19)
Oleh karena itu, kemiskinan akan bisa teratasi dan ketimpangan pun tak akan terjadi. Dalam masyarakat Islam, orang kaya akan bahu-membahu membantu masyarakat miskin untuk bisa memenuhi kebutuhannya. Sehingga, dalam kondisi pandemi, kelebihan harta si kaya akan mengalir pada masyarakat miskin, bukan pada bursa saham atau lainnya.
Negara pun sebagai pihak sentral, disertai dengan bank data yang akurat dan pejabat yang amanah, akan mampu menghimpun dana dari para agniya (orang kaya, ed.) jika Baitulmal defisit. Sehingga, tidak harus berutang apalagi pada negara kafir harbi fi’lan yang telah jelas menyebabkan mudaratnya.
Dalam sistem ekonomi Khilafah yang kuat, mekanisme kepemilikannya akan mengharamkan SDA dikuasai asing. Sehingga, akan menghantarkan pada kas negara yang kuat dan stabil dan defisit anggaran akan jarang terjadi.
Pada masa pandemi, Negara Khilafah akan fokus pada upaya penyelamatan nyawa manusia tanpa dipusingkan dengan dana yang terbatas. Walhasil, pandemi akan cepat berakhir dan kehidupan umat manusia kembali normal. Itulah sebab mengapa upaya penegakan Khilafah adalah perkara penting dan mendesak dalam upaya menyelamatkan umat manusia.