RUU Kesehatan dan Ancaman Liberalisasi Kesehatan

 



Oleh  Heni Kusma
(Pegiat Literasi)

Persoalan kesehatan di Indonesia semakin kompleks. Mulai dari persoalan infrastruktur yang minim, kekurangan tenaga medis hingga pelayanan yang berbelit. Di tengah banyaknya persoalan tersebut, saat ini pemerintah beserta DPR sedang membahas Rancangan Undang-undang (RUU) kesehatan. RUU tersebut menuai penolakan di tengah-tengah masyarakat, bahkan ada juga pihak-pihak yang menyetujuinya. Penolakannya karena ada banyak pasal yang justru merugikan tenaga  medis serta rakyat.

Diantaranya dan menjadi persoalan serius bahwa pemerintah akan mempermudah dokter asing dan tenaga kesehatan beroperasi di dalam negeri. Hal ini tertuang dalam Draf Revisi Undang-undang No. 36-2009 tentang Kesehatan.

Melalui RUU ini, dokter asing dan tenaga kesehatan dapat beroperasi sesuai syarat yang tertuang dalam pasal 233 dan pasal 234. Syarat pertama dalam pasal 233 adalah dokter lulusan luar negeri tersebut harus lolos evaluasi kompetensi. Evaluasi kompetensi berupa kelengkapan administratif dan penilaian kemampuan praktik. Setelah itu, mereka wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara dan Surat Izin Praktek (SIP).

Adapun dalam Pasal 234, dokter asing maupun dokter diaspora juga harus beradaptasi di pelayanan kesehatan, memiliki STR sementara, dan SIP. Namun semua syarat tersebut dapat diterobos khusus dokter asing spesialis maupun dokter diaspora spesialis (katadata.co id, 19/4/2023).

Kemudahan bagi dokter asing beroperasi di dalam negeri tentu bukan hal baru, pasalnya pada tahun 2020 lalu, pemerintah juga memberikan kemudahan pada dokter asing dan berencana membagun rumah sakit internasional dengan tujuan agar rakyat yang ingin mendapatkan pelayanan kesehatan secara khusus tidak perlu lagi berobat ke luar negeri.

Hal ini perlu ditelisik. Mengingat lulusan tenaga kesehatan yang ada di dalam negeri sudah tidak terhitung lagi saking banyaknya. Jika dokter asing diberikan kemudahan untuk beroperasi, lantas bagaimana dengan tenaga kesehatan dalam negeri? Bukankah nantinya akan banyak pengangguran?

Tidak hanya itu, bukankah dengan pemberian kemudahan bagi dokter asing mengindikasikan secara tidak langsung bahwa negara gagal mencetak tenaga kesehatan yang cerdas dan handal di bidangnya?

Semestinya pemerintah fokus untuk menyelesaikan persoalan kesehatan di dalam negeri yang begitu kompleks bukannya menimbulkan masalah baru sebagaimana yang tertuang dalam pasal-pasal RUU kesehatan tersebut. Sayangnya hal itu tidak dilakukan oleh pemerintah selaku pemangku kebijakan.

Ini disebabkan sistem kapitalisme yang telah lama bercokol dalam negeri. Pelayanan kesehatan dari negara kepada rakyat bak penjual dan pembeli. Jika mampu, maka akan dilayani dengan kualitas bagus. Sebaliknya, maka pelayanan pas-pasan, terkesan ribet dan lambat pun akan diperoleh rakyat.

Persis seperti pernyataan kritis dari tujuh organisasi profesi kedokteran bersama dengan Pimpinan Pusat Muhamadiyah yang menolak dengan tegas pembahasan RUU tersebut. Dalam pernyataan tersebut, RUU kesehatan telah mengubah filosofi bidang kesehatan, yang pada awalnya ditujukan sebagai layanan pemenuhan salah satu hak dasar kepada masyarakat, menjadi kegiatan industrialisasi dan komersialisasi yang berorientasi bisnis dan mencari keuntungan semata-mata (mediaindonesia.com, 8/2/2023).

Maka dari itu, masyarakat tentu tidak ingin mendapatkan pelayanan demikian. Butuh pelayanan terbaik oleh negara. Hal itu hanya bisa didapatkan dalam negara yang menerapkan sistem Islam. Darinya, kesehatan adalah kebutuhan dasar bagi seluruh warga negara, baik yang kaya, miskin, Muslim maupun nonmuslim.

Negara tidak diperkenankan memungut biaya sedikit pun kepada rakyat dalam pelayanan kesehatan. Tersebab pemenuhan kebutuhan pokok rakyat termasuk kesehatan adalah tanggung jawab negara yang pembiayaannya diambil dari baitul maal yang merupakan tempat penyimpanan pemasukan negara.

Wallahu a'lam bishawab

Post a Comment

Previous Post Next Post