Remisi, Wujud Ketidakseriusan Negara Memberikan Efek Jera?

Oleh: Farihan_Almajriti

Remisi. Satu hal yang terlintas dalam benak kita saat mendengar kata ini adalah “hadiah”. Dalam hal ini, “hadiah” dari presiden yang diberikan kepada para narapidana dan anak pidana. Lebih tepatnya, remisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pengurangan hukuman yang diberikan kepada orang terhukum. Atau lebih singkatnya sebut saja potongan atau korting masa hukuman.


Beberapa minggu lalu kita sebagai umat Muslim merayakan hari raya Idulfitri atau biasa kita sebut lebaran. Walaupun sebagian umat Muslim di Indonesia kurang kompak merayakan hari kemenangan ini dengan negara Muslim di belahan dunia yang lain, namun kita tetap merayakannya dengan penuh suka cita. Hari lebaran adalah momen dimana kita bersedih sekaligus berbahagia. Sedih karena kita harus ditinggalkan oleh bulan mulia yang penuh dengan pengampunan dan pahala, bahagia karena kita sudah berhasil melewati puasa selama 29/30 hari lamanya. Dalam waktu yang hampir bersamaan pula, ada sekelompok orang yang terisolasi juga berbahagia karena mereka mendapat remisi lebaran dari presiden. Sebanyak 146 ribu narapidana mendapat remisi (Kompas, 23/04/2023). Ada 6.746 narapidana di Jawa Tengah mendapat remisi dengan 44 narapidana langsung bebas (Merdeka, 23/04/2023). Bahkan, koruptor kelas kakap yang sudah jelas mempermainkan hukum seperti Setya Novanto pun dapat remisi khusus pada lebaran tahun ini (Tempo, 23/04/2023). Layakkah ia yang mempermainkan hukum mendapatkan hadiah berupa pengurangan masa hukuman? Sudah jelas telah merugikan negara akan tetapi justru diberi kortingan hukuman. Ingin heran, tapi sadar kita sedang berada di Indonesia. Subhanallah.


Adapun untuk mendapatkan remisi, persyaratan umum yang harus dipenuhi oleh seorang narapidana atau anak pidana tercantum dalam pasal 34 ayat (1) dan (2) PP Nomor 99 Tahun 2012 yaitu; (1) berkelakuan baik, dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman, disiplin dalam kurun waktu enam bulan terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian remisi, dan telah mengikuti porgram pembinaan yang diselenggarakan lapas dengan predikat baik; (2) telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan. Selain itu terdapat syarat tambahan khusus bagi narapidana yang mendapat hukuman akibat tindak pidana tertentu seperti korupsi tercantum pada pasal 34A.


Dari hal ini, kita mendapat gambaran bahwa pada sistem yang berlaku saat ini, asalkan seorang narapidana berkelakuan baik selama di penjara, maka napi tersebut berkemungkinan besar mendapat remisi. Maka menjadi wajar, jika ditemukan kasus kejahatan seperti pencurian, perampokan dan lain-lain pelakunya adalah mantan napi yang mendapat remisi. Bisa jadi mereka akan berpikir bahwa jika mereka tertangkap lagi mereka tinggal berkelakuan baik saat berada di dalam penjara dan mendapat remisi lagi. Sehingga kejahatan akan terus mereka lakukan. Efek jeranya di mana jika demikian adanya? Bahkan belakangan ini tidak jarang mantan koruptor yang bebas mendaftar lagi menjadi pejabat negara. Sudah sangat jelas sistem saat ini tidak memberikan efek jera bagi para pelakunya.


Materi menjadi tolok ukur perbuatan dalam sistem Kapitalisme. Mari kita melihat fakta yang ada saat ini. Fakta kemiskinan yang tercipta karena adanya kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Kerasnya himpitan hidup karena ekonomi inilah yang bisa memicu timbulnya berbagai kejahatan. Para pelaku kejahatan melakukan tindakan kriminal demi mempertahankan hidupnya adalah akibat daripada pengabaian terhadap pengurusan urusan rakyat. Inilah yang luput dari sistem hukum yang berlaku saat ini. Ditambah lagi dengan berlakunya sistem hidup ala kapitalisme yang dimana prinsip hidup berdasarkan hukum rimba sehingga menciptakan lingkungan hidup yang rawan dengan tindakan kriminalitas.


Hukum seolah abai dengan fakta yang ada. Di sisi lain, adanya praktik suap-menyuap dalam persidangan, juga hukum yang tumpul ke atas tapi tajam ke bawah, dan lain-lain menjadi pelengkap catatan gelap sistem hukum yang berlaku saat ini. Berbagai aturan terkait sistem persanksian saat ini juga menjadi wujud ketidakseriusan negara dalam memberikan efek jera bagi para pelakunya. Berbeda dengan sistem sanksi dalam kacamata Islam. Lantas, bagaimana sistem sanksi dalam Islam memberikan efek jera?


Keistimewaan sistem sanksi dalam Islam adalah dijatuhkan kepada orang yang berdosa tanpa membedakan antara penguasa, rakyat, atau antara yang kaya dengan yang miskin, anak pajabat atau anak pembantu, atau juga antara laki-laki dan perempuan. Karena sanksi dalam Islam ditetapkan berdasarkan hukum syarak. Sistem sanksi yang tidak hanya berdimensi dunia, tetapi juga pada akhirat. Sistem sanksi dalam Islam adalah sistem yang sudah pasti dan jelas mampu berfungsi sebagai pencegah dan penebus dosa. Atau dalam Islam dikenal dengan istilah zawajir dan jawabir. Sistem yang bisa mencegah orang lain bertindak kejahatan yang sama, serta menjadi penebus dosa bagi para pelaku jika ia bertobat. Sistem sanksi ini mampu mencegah kriminalitas dengan tuntas. Akan tetapi, sistem sanksi ini tidak bisa terlaksana dengan baik tanpa didukung pula dengan sistem yang lainnya seperti sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem sosial, dan seterusnya yang seluruhnya harus berlandaskan Islam. Penerapan sistem Ekonomi Islam misalnya, karena negara menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyatnya dan juga penyediaan lapangan kerja, dapat meminimalisir dilakukannya tindakan kejahatan karena terhimpitnya ekonomi.


Jika saja sistem sanksi saat ini dilaksanakan dengan bentuk dan cara sesuai yang berlaku dalam sistem Islam, maka setiap orang akan berpikir terlebih dulu dengan konsekuensi yang akan diterima, bahkan orang yang melakukan pelanggaran akan menyesal dan pada akhirnya tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Dengan demikian, pelanggaran maupun penyimpangan akan bisa dihindari.

Wallahu a’lam

Post a Comment

Previous Post Next Post