Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, Rakyat Dapat Apa?


 By : Fitri Rahayu

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data bahwa pada kuartal pertama 2023 ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,03%. Dengan demikian, selama enam kuartal berturut-turut, Indonesia berhasil mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas 5% sehingga perekonomiannya layak disebut stabil. Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh Edy Mahmud menjelaskan, kondisi ini didukung oleh beberapa hal. Antara lain, tumbuhnya lapangan usaha, khususnya bidang industri pengolahan, perdagangan, dan pertambangan. Juga sektor transportasi dan pergudangan, akomodasi dan makan minum, serta sektor jasa lainnya. Bahkan, sektor transportasi dan pergudangan, akomodasi dan makan minum, serta jasa lainnya merupakan jenis usaha dengan pertumbuhan tertinggi. Hal ini ditengarai terkait dengan keputusan pemerintah mencabut PPKM yang mendorong peningkatan mobilitas masyarakat, termasuk banyaknya kedatangan wisman, serta adanya penyelenggaraan event nasional dan internasional. 

Pihak pemerintah sendiri, diwakili Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, merespons positif data yang dirilis BPS ini. Dengan bangga ia mengatakan, ekonomi Indonesia berada dalam jalur yang positif. Ia bahkan membandingkan, kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih tinggi dari negara-negara besar, seperti Cina, Amerika, Uni Eropa, Korea Selatan, dan Jerman. Pertumbuhan ekonomi Cina, misalnya, hanya sebesar 4,5%. Sementara itu, Amerika, UE, Korsel, dan Jerman, masing-masing sebesar 1,8%; 1,3%; 0,8%; dan 0,2 %. Sejak sebelum pandemi, kondisi perekonomian global memang sudah ada dalam kondisi kritis. Krisis ekonomi yang berimbas tsunami PHK terjadi di mana-mana. Wajar jika saat pandemi melanda, kondisi perekonomian semua negara nyaris kolaps. Pertumbuhan ekonomi global pun stagnan, bahkan negatif, tidak terkecuali di negara-negara adidaya. Terlebih Indonesia. Situasi ini nyatanya berdampak hingga sekarang. Melambatnya ekonomi negara-negara tujuan ekspor terbesar Indonesia, seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan lain-lain memberi pengaruh negatif terhadap ekonomi Indonesia. Ini ditambah dengan pecahnya perang Rusia-Ukraina yang menimbulkan tekanan geopolitik cukup besar kepada berbagai negara, meski untuk Indonesia justru menjadi windfall (durian runtuh) karena harga komoditas ekspor seperti batu bara dan sawit jadi melejit. Oleh karena itulah, catatan BPS soal stabilnya pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 5% tadi betul-betul dianggap angin segar dan menggembirakan. Ini karena Indonesia dianggap bisa bertahan di tengah situasi yang penuh risiko dan tantangan, bahkan pertumbuhan ekonominya terus membaik.
Pada kenyataannya tidak serta merta berpengaruh terhadap kesejahteraan seluruh masyarakat. Distribusi kekayaan tetap saja timpang. Terbukti dari angka kemiskinan yang tidak juga berkurang signifikan, tingkat pengangguran yang masih tinggi, serta gini ratio yang masih besar. Pemerintah sempat menargetkan angka kemiskinan pada 2023 ada pada angka 7,5%. Namun, data BPS per September 2022 menunjukkan angka 9,57%, naik tipis dari Maret 2022 yang mencapai 9,54%. Adapun ambang batas garis kemiskinan pada September 2022 ada di kisaran yang sangat rendah, yakni Rp535.547, sedangkan pada Maret 2022 sekira Rp505.468. Begitu pun dengan tingkat ketimpangan. 

Diketahui gini ratio atau tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia pada September 2022 tercatat sebesar 0,381, menurun tipis 0,003 poin dari Maret 2022 (0,384). Namun, meski angka ketimpangan tersebut ada pengurangan, secara keseluruhan tetap saja terhitung lebar. Selain gap antara si miskin dan si kaya, ketimpangan pun mencakup isu gap antara perkotaan dan perdesaan, serta isu gap antara Jawa dan luar Jawa. Terkait hal ini, majalah Forbes pernah merilis kabar bahwa pada 2023 Indonesia masuk ke dalam daftar 20 negara yang paling banyak memiliki miliuner. Forbes mencatat setidaknya ada 29 orang terkaya (crazy rich) di Indonesia. Salah satunya Low Tuck Kwong, pengusaha batu bara, pendiri Bayan Resources yang total kekayaannya mencapai US$26,4 miliar atau Rp396 triliun (kurs Rp15.000 per dolar AS). Bahkan, jika dari 29 orang terkaya di Indonesia itu, kekayaan 10 orang saja ditotal, jumlahnya bisa mencapai US$107,5 miliar atau setara Rp1.612.500 triliun! Sementara itu, rata-rata batas ambang kemiskinan yang digunakan untuk menghitung jumlah penduduk miskin tadi begitu rendah, yakni hanya Rp535.547. Padahal bisa dibayangkan, bagaimana seseorang bisa memenuhi seluruh kebutuhan hidup meskipun dengan uang Rp2 juta pada masa sekarang?

Dalam sistem ekonomi kapitalisme, indikator kesehatan perekonomian yang menunjukkan kesejahteraan memang sudah lumrah diukur dengan angka pertumbuhan ekonomi. Para ahli sendiri mendefinisikan pertumbuhan ekonomi ini sebagai perkembangan kegiatan yang menyebabkan bertambahnya barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat sehingga kemakmuran masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi diukur dari peningkatan jumlah produk domestik bruto (PDB) yang detailnya bisa dihitung dari pertumbuhan lapangan usaha maupun kelompok pengeluaran. Jika PDB terhitung makin meningkat, berarti negara dianggap makin kaya dan kesejahteraan masyarakat pun makin meningkat. Masalahnya, apakah faktanya demikian? Ketika ekonomi dikatakan tumbuh atau tingkat produksi naik, apakah mewakili rakyat secara keseluruhan? Misalnya, orang miskin berubah menjadi kaya, atau jangan-jangan justru orang kaya yang makin kaya? Kenyataannya, yang sering terjadi adalah kian lebarnya gap antara si miskin dan si kaya. Ini karena yang terlibat dan diuntungkan dalam kegiatan produksi, termasuk investasi, hanyalah para pemodal alias orang-orang kaya yang jumlahnya hanya minoritas. Sedangkan sisanya yang mayoritas justru saling berebut remah-remahnya. Dengan demikian, mengukur kesejahteraan dan kesuksesan pembangunan hanya dari pertumbuhan ekonomi sejatinya merupakan sebuah penyesatan, bahkan kezaliman. Selain tidak mencerminkan pemerataan, penggunaan konsep ini juga bisa menutup kanibalisme yang dilakukan negara pemilik modal yang berdiri di balik proyek-proyek investasi atau produksi di negara miskin atau berkembang. Bisa jadi pertumbuhan ekonomi mereka tampak jauh lebih rendah, tetapi sejatinya cengkeraman alias penjajahan mereka terhadap negara miskin dan berkembang justru makin menguat.

Untuk itulah, Islam menetapkan seperangkat aturan (sistem) hidup yang akan membimbing para pemimpin umat hingga tujuan kepemimpinan itu bisa direalisasikan dengan sebaik-baiknya. Dengan syariat Islam, mereka benar-benar akan memfungsikan dirinya sebagai pengurus sekaligus pelindung umat, bukan pebisnis atau kacung kapitalis seperti tampak pada era sekarang. Aturan-aturan Islam tersebut meliputi sistem politik dalam dan luar negeri, sistem ekonomi, pergaulan, hukum dan sanksi, bahkan pertahanan dan keamanan. Semua aturan ini saling mengukuhkan. Oleh karenanya, tidak bisa diterapkan secara sebagian-sebagian.

Penerapan strategi politik ekonomi Islam memastikan negara akan punya modal melimpah untuk menyejahterakan rakyatnya hingga orang per orang. Ini karena dalam Islam, seluruh sumber daya alam seperti aneka tambang, hasil laut, dan hutan, secara syar’i ditetapkan sebagai milik umum yang tidak boleh dikuasai secara personal sebagaimana dalam sistem sekarang. Begitu pun negara wajib memberi ruang kondusif bagi seluruh warganya sehingga mampu mengakses seluruh faktor ekonomi secara berkeadilan.
Penulis : Fitri Rahayu
Aktivis : Mahasiswi Dan Lembaga Dakwah Kampus

Post a Comment

Previous Post Next Post