Pemilu Yang Menguntungkan Oligarki Dan Menyengsarakan Rakyat


Oleh: Mentari
Aktivis muslimah ngaji

Pandemi belum sepenuhnya angkat kaki dari negeri ini, hal ini pun makin menambah deretan keresahan masyarakat. Tidak hanya itu, buruknya kondisi ekonomi makin memperparah situasi di negeri ini. Ditambah lagi, masyarakat terus disuguhi dengan pemberitaan pemilu yang penuh dengan kontroversi. Lantas, masihkah masyarakat percaya dengan sistem demokrasi yang hanya melahirkan oligarki?

Akhir-akhir ini, masyarakat tampaknya tengah dihebohkan dengan Pemilu 2024 yang menjadi isu dan menuai banyak kontroversi. Belum lagi wacana penundaannya yang santer berembus ke tengah-tengah masyarakat. Sontak saja, hal ini pun mendapat begitu banyak respons dari berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari masyarakat awam hingga kaum intelektual sekelas mahasiswa pun turut andil dalam menanyakan arah dan kebijakan yang sedang diberlakukan di negeri ini.

Kali ini, muncullah pemberitaan terbaru mengenai anggaran dari pemilu itu sendiri yang jumlahnya dirasa sangat fantastis. Presiden telah memperkirakan, bahwa anggaran pelaksanaan Pemilu 2024 mencapai kisaran Rp110 triliun. Setelah sebelumnya dirincikan, jumlah tersebut meliputi anggaran untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang jumlahnya sebesar Rp76,6 triliun dan juga Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yaitu senilai Rp33,8 triliun, (tirto.id, 12/04/2022).

Jumlah yang begitu besar ini tentunya sangat mengejutkan banyak pihak. Sebab, angka ini mencapai lebih dari empat kali lipat dari anggaran Pemilu di tahun 2019 yang lalu, dengan kisaran Rp25 triliun. Padahal ketika kita perhatikan, kondisi Pemilu 2024 nanti, tampaknya masih dalam situasi yang jauh berbeda dari sebelumnya, karena negeri ini masih harus mengemban tugas besar untuk memulihkan ekonomi masa pandemi. Bahkan berdasarkan laporan sementara yang didapat dari Kementerian Keuangan pada kuartal I 2022, APBN telah mengalami defisit, yaitu mencapai Rp5,81 triliun atau 0,67% dari target APBN. Sehingga dari sini, banyak pihak yang memberikan tanggapannya, bahwa anggaran Pemilu harus dipangkas. (katadata.co.id, 12/04/2022).

Inilah gambaran dari sistem buatan manusia yaitu demokrasi-kapitalisme, yang mana untuk memilih pemimpin saja harus mengeluarkan biaya yang sangat tinggi di tengah ekonomi masyarakat yang lesu. Selain itu, ongkos yang besar ini hanya digunakan sebagai alat berburu materi oleh para oligarki. Sudah banyak sekali fakta yang menunjukkan, bahwa penyelenggaraan pemilu dalam sistem demokrasi memang membutuhkan banyak biaya dan memakan waktu, bahkan nyawa. Jika bercermin pada pemilu sebelumnya, tak sedikit petugas dari KPU yang harus bekerja lebih dari jam yang seharusnya sehingga mengakibatkan kelelahan dan berujung pada kematian. 

Belum lagi, pemilu pada sistem saat ini juga memakan waktu yang tidak sebentar, mulai dari pencalonan, proses kampanye, pemilihan, hingga menghitung hasil suara, yang bahkan prosesnya juga tidak murni. Mirisnya, pemilu yang sejatinya dilakukan lima tahun sekali ini, nyatanya tidak dapat menghasilkan pemimpin yang amanah. Mereka hanya berjanji saat kampanye saja. Namun, lupa akan janjinya ketika sudah menduduki kursi jabatan. Tak hanya itu, dana yang besar ini dalam prosesnya ternyata dibantu oleh para korporasi yang berkolaborasi dengan para oligarki sehingga terjadilah jual beli jabatan dan kebijakan. 

Semua itu menjadikan penguasa negeri ini jauh dari kebaikan dan pastinya hanya akan mementingkan para pemilik modal semata, karena hubungan gelap yang sudah tercipta sejak awal. Apabila dibandingkan dengan mekanisme pengangkatan seorang pemimpin dalam sistem Islam, sungguh ini sangat jauh berbeda. Pengangkatan seorang pemimpin dalam sistem Islam akan dilakukan dengan sangat efektif dan efisien. Bahkan efek dari diterapkannya Islam sebagai sistem kehidupan nyatanya mampu untuk menyejahterakan masyarakat hingga ke level individu.

Hal yang terpenting dari ini semua adalah setiap prosesnya berbiaya sangat murah dan juga tidak memakan waktu yang lama. Sehingga dari sini, negara tidak akan mengalami pembengkakan biaya. Sebab tujuan dari pemilihan kepemimpinan dalam Islam adalah menjadikan negeri ini bertakwa, mendapatkan pemimpin yang amanah dan juga berkualitas. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an,

ÙŠٰۤـاَÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِÙŠْÙ†َ اٰÙ…َÙ†ُÙˆْا Ù„َا تَØ®ُÙˆْÙ†ُوا اللّٰÙ‡َ Ùˆَا لرَّسُÙˆْÙ„َ ÙˆَتَØ®ُÙˆْÙ†ُÙˆْۤا اَÙ…ٰÙ†ٰتِÙƒُÙ…ْ Ùˆَاَ Ù†ْـتُÙ…ْ تَعْÙ„َÙ…ُÙˆْÙ†َ

“Wahai, orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS Al-Anfal : 27).

Pemimpin yang dipilih dalam sistem Islam, bukanlah seseorang yang gila jabatan. Akan tetapi menjadikan jabatan yang dipegangnya sebagai sesuatu amanah yang harus dilakukan semata-mata hanya untuk mengharapkan rida Allah Swt. Dengan adanya pemimpin yang amanah akan menjadikan rakyat aman, nyaman dan sejahtera. Untuk itu, marilah kita tegakkan kembali sistem Islam yang hukumnya berasal dari Allah Sang Maha Pencipta. Wallahualam bissawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post