Menakar Sensitivitas Penguasa Pada Kasus Penembakan di Kantor MUI


Oleh: Astriani Lydia,S.S

Ramadhan baru saja berlalu, suasana cerianya berhari raya masih dirasakan kaum muslimin. Akan tetapi keceriaan mulai terusik ketika muncul kabar ada penembakan kantor MUI Pusat. Dikabarkan pelaku datang ke kantor MUI dan meminta bertemu Ketua MUI Miftachul Akhyar. Petugas keamanan kemudian menahan yang bersangkutan. Saat itulah menurut polisi, pelaku mengeluarkan air soft gun. Usai melepaskan tembakan, pelaku berusaha kabur dan dikejar oleh petugas keamanan dan pegawai MUI lainnya. Saat proses diamankan, beberapa saat kemudian tersangka pingsan dan dibawa ke polsek serta dibawa ke Puskesmas Menteng. Ketika diperiksa oleh petugas medis di puskesmas tersebut, pelaku dinyatakan telah tewas. (Wartakotalive.com,2/5/2023).

Pelaku penembakan dikatakan sudah dua kali datang ke kantor MUI dan ini yang ketiga kalinya. Dirinya mendakwakan diri sebagai Nabi. Pelaku juga diberitakan pernah melakukan penyerangan ke Kantor DPRD Lampung tahun 2016 dan mengaku sebagai wakil Nabi Muhammad, yang menyebabkan pelaku ditangkap dan sudah menjalani hukuman penjara dan sudah dibebaskan. (Tempo.co,2/5/2023).

Melihat sudah beberapa tahun lamanya kasus pertama yang dilakukan pelaku dan motifnya ternyata sama sampai dengan hari ini yaitu menuntut pengakuan bahwa dirinya wakil Nabi Muhammad Saw. menandakan kekurang sensitivan penguasa saat ini. Ketika ada seseorang yang “terganggu” akidahnya, seharusnya pemerintah sigap untuk menangani gangguan yang dialami orang ataupun kelompok tertentu. Sehingga gangguan tersebut berkelanjutan bahkan mengendap dalam pemikiran seseorang ataupun sekelompok orang.

Sejak dulu sebetulnya sudah ada beberapa orang yang mengaku Nabi. Sebut saja Musailamah al-Kazzab, Sajjah binti al-Harits, Aswad al-‘Ansi, Mirza Ghulam Ahmad, Thulaihah bin Khuwailid, Ahmad Moshaddeq, dan masih adalagi yang lainnya. Akan tetapi Rasulullah Saw dan para sahabat tegas terhadap para pengaku Nabi ini. Jika mereka tidak mau kembali pada keimanan yang shohih bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi terakhir dan tidak adalagi Nabi setelah beliau, maka orang tersebut akan dihukum mati. Sehingga kerusakan akidah tidak menjalar ke masyarakat yang lain dan menimbulkan ketidaktentraman.

Ditambah lagi saat ini kondisi ketidakstabilan menyerang berbagai sisi. Mulai dari politik, ekonomi, keamanan, dan lain sebagainya. Sehingga masyarakat ingin menyelesaikan masalah dengan cara yang praktis. Jika ada orang atau kelompok yang membawa kepada ketenangan hidup, masyarakat akan dengan mudah mengikutinya. Dan hal ini sangat berbahaya karena akan memunculkan perpecahan diantara masyarakat. Apalagi di sistem saat ini, masyarakat minim ilmu keislamannya. Masyarakat belum betul-betul memahami mana yang hak dan yang batil. Maka perlu peran penguasa untuk menjaga akidah masyarakat.

Islam sebagai agama yang sempurna telah mewajibkan penguasa untuk melindungi rakyatnya. Rakyat adalah amanah, mereka pun layaknya gembalaan yang wajib dijaga oleh penggembalanya. Nabi Saw bersabda, “Imam (Khalifah) itu pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” Maka sebagai seorang penguasa muslim di negeri muslim, hendaknya berusaha keras untuk menjaga akidah umat agar tidak mudah rusak. Karena perkara akidah adalah perkara yang penting. Dan setiap pemimpin harus mengingat hadits Nabi Saw bahwa “ Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Wallahu a’lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post