KKB Semakin Beringas, Perlu Solusi Tuntas dan Tegas


Oleh Nina Marlina, A.Md
Aktivis Muslimah

KKB Papua tak henti berulah. Sudah 3 bulan mereka menyandera Pilot Susi Air, Kapten Philips Mark Marthen, kemudian menyerang anggota TNI yang akan melakukan penyelamatan hingga gugur sebanyak 6 orang. Selain itu menimbulkan kekacauan di sana dengan terus meneror warga sipil hingga memakan korban jiwa.

Dengan tindakan mereka yang semakin beringas dan brutal, Kapolda Papua Irjen Mathius D Fakhiri akan melakukan gebrakan baru untuk menumpas Kelompok Kriminal Bersenjata atau KKB Papua. Ia akan mengubah pola penanganan KKB Papua dari yang selama ini adalah operasi penanganan akan diubah menjadi operasi penegakan hukum. Selain itu, perubahan tersebut juga dilakukan guna menjaga situasi keamanan tetap kondusif dan mempersempit ruang gerak KKB (Tribunnews.com, 30/04/2023). 

KKB Mengancam Keutuhan Negara

Setiap tahun KKB Papua selalu menebar teror dengan melakukan aksi kekerasan hingga menimbulkan korban jiwa baik terhadap warga sipil maupun TNI dan Polri. Mereka melakukan penembakan, pembacokan, pembakaranrumah, penghancuran sekolah dan fasilitas publik. Mereka menggunakan senjata layaknya angkatan perang. Sebelumnya KKB Papua bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM). Gerakan separatis ini sangat mengancam keutuhan negara. 

Dalam channel YouTube Kurnen, seorang pria asli Papua bernama Krisyanto Yen Oni menuturkan pengakuannya terkait KKB. Menurutnya, KKB Papua adalah kelompok egois. Mereka tidak punya rasa belas kasihan terhadap masyarakat sipil Papua dan hanya mementingkan diri sendiri. Pembesar-pembesar OPM selalu memprovokasi masyarakat Papua untuk memberontak terhadap NKRI. Mereka tinggal di Amerika, Belanda, Australia, dan negara-negara lain. Ia memandang pembesar-pembesar OPM itu hidup enak di luar negeri, makan enak, pakai dasi, naik mobil dan hidup berlimpah. Namun mereka dengan seenaknya memprovokasi masyarakat Papua agar memberontak terhadap NKRI. Yang mereka kejar adalah kekuasaan. Dia mengungkapkan jika OPM/KKB berkuasa, mereka sudah punya ikatan janji dengan warga negara  - warga negara asing tersebut. Tambang-tambang emas, tembaga, dan lain-lain di Papua akan menjadi ladang berebutan harta bagi negara-negara yang menyokong pemberontakan Papua. Ia menerangkan bahwa jika Papua bergabung dengan negara asing dan menjadi negara sendiri, besar kemungkinan masyarakat Papua tetap jelata bahkan bisa saja dibunuh. Dia pun heran ketika ada orang-orang Papua berteriak menuntut haknya, menuntut HAM agar Papua merdeka, hal itu adalah omong kosong. Sebaliknya, Kristiyanto mengajak masyarakat Papua agar bersyukur dengan pemerintah Indonesia saat ini (Tribunnews.com,30/04/2023).

Sementara itu Tokoh pendiri Organisasi Papua Merdeka atau OPM, Nicolaas Jouwe mengungkap fakta bahwa OPM tidak lahir dari keinginan bangsa Papua sendiri. OPM justru didirikan oleh Belanda untuk memecah Indonesia. Nicolaas Jouwe merupakan pendiri OPM dan diperintah oleh Belanda untuk membuat bendera Bintang Kejora yang saat ini menjadi simbol Organisasi Papua Merdeka. Ia pun menegaskan bahwa saat Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, wilayah Indonesia termasuk Papua. Namun, Belanda yang tak rela negara bekas jajahannya merdeka, lalu mendirikan OPM untuk mengganggu dan memecah Indonesia (Fajar.co.id, 27/04/2023).

Pada tahun 2021, Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD telah mengategorikan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua serta seluruh organisasi dan orang-orang yang tergabung di dalamnya serta yang mendukung gerakan tersebut sebagai teroris. Sikap Pemerintah ini dinilai telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 

Sayangnya ada pihak yang tidak setuju pelabelan teroris ini terhadap KKB. Menurutnya, pelabelan teroris telah mengakibatkan berbagai dampak negatif, khususnya pada masyarakat sipil Papua. Masyarakat Papua marah, sakit hati dan merasa ikut dicap sebagai teroris. Adanya pelabelan teroris kepada kelompok masyarakat Papua merupakan suatu pendekatan pemerintah yang cenderung diskriminatif.

Menurutnya diperlukan transparansi demokrasi dan akses informasi terhadap masyarakat di Papua yang selama ini masih sulit dan tertutup. Pemerintah harus memberikan jaminan demokrasi di tanah Papua dan menghindari pendekatan militerisme secara terus menerus. Ruang demokrasi di Papua sendiri masih bisa dibilang rentan terhadap konflik. Pendekatan diplomatis yang lebih humanis dan damai dengan merangkul masyarakat Papua merupakan pendekatan yang tepat untuk menghindari diskriminasi dan mencegah konflik berkepanjangan. 

Pendapat di atas tentu keliru pasalnya aksi KKB sudah sangat jelas merupakan tindak kekerasan yang tak dapat ditolerir. Untuk menghentikan kekejaman mereka, tidak cukup dengan dialog apalagi dirangkul. Namun harus dengan kekuatan negara yang bersifat tegas. 

Perlu Solusi Tuntas dan Tegas

Aksi KKB yang berusaha memisahkan diri dari Indonesia tentu harus dicegah dan ditindak tegas. Sebagai agama yang sahih dan sempurna, Islam memiliki mekanisme yang tegas dan jelas untuk mengatasi disintegrasi negara. 

Sebagaimana diketahui Papua adalah negeri yang kaya raya dengan Sumber Daya Alam khususnya tambang emas dan tembaga. Namun faktanya kehidupan masyarakatnya jauh dari sejahtera. Kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik belum terpenuhi. Makanya ketimpangan ini menjadi salah satu pemicu pemberontakan. Semestinya pemerintah bertanggung jawab untuk memenuhi hak tersebut sesegera mungkin. 

Dalam Islam, negara akan mengurus rakyat dengan sebaik mungkin hingga mereka bisa merasakan kesejahteraan. Setiap warga negara baik muslim maupun non muslim akan diperlakukan sama, mendapatkan hak dan pelayanan yang sama. Mereka tidak akan mengalami diskriminasi. Alhasil kepuasan mereka terhadap pelayanan negara tidak akan menimbulkan kebencian terhadap penguasa. 

Adapun terhadap pelaku pemberontakan atau bughat akan segera ditindak tegas. Jika mereka keluar menentang negara, mengangkat senjata, dan bertahan di suatu tempat tertentu menjadi suatu kekuatan, maka satuan kepolisian Departemen Keamanan Dalam Negeri meminta kepada Khalifah agar mendukungnya dengan kekuatan militer atau pasukan. Sebelum diperangi, mereka diingatkan untuk kembali pada ketaaatan masuk ke dalam jamaah dan berhenti mengangkat senjata. Jika mereka bertobat, maka tidak boleh diperangi. Jika mereka menolak, maka diperangi dalam rangka mendidik bukan untuk membinasakan agar mereka dapat kembali kepada ketaatan. Hal inilah yang dilakukan oleh Khalifah Imam Ali bin Abi Tahlib ra terhadap kaum Khawarij yang memberontak pada masa kepemimpinannya (Struktur Negara Khilafah). 

Demikianlah bagaimana Islam mengatasi permasalahan disintegrasi negara. Jika negeri ini mau menerapkan aturan Islam tentu masalah ini dapat diatasi secara tuntas tanpa berlarut-larut hingga terus menimbulkan kekacauan. Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post