Pembungkaman Kebebasan Berpendapat


Oleh: Khanty Netta

Opini --Belakangan ini viral kritikan pedas Tik Toker Bima alias Bima Yudho Saputro pemilik akun  @awbimaxreborn, membuat konten berjudul "Alasan Kenapa Lampung Gak Maju-Maju".

Dalam konten itu, Bima menyindir kondisi sejumlah sektor di Provinsi Lampung. Di antaranya mengenai infrastruktur, proyek Kota Baru, pendidikan, tata kelola birokrasi, dan pertanian.

Tidak hanya itu, Bima juga sempat menyebut dirinya berasal dari Provinsi 'Dajjal' sembari menunjuk slide Provinsi Lampung.

Sayangnya, kritik pemuda asal Lampung itu justru ditanggapi dengan pelaporan advokat yang juga asal Lampung, Gindha Ansori wayka, pada 10-4-2023.Advokat yang pernah menjadi tim kuasa hukum Gebenur Lampung tersebut melaporkan Bima atas dugaan memberikan informasi yang menyesatkan di publik serta merendahkan martabat dan menghina masyarakat Lampung dengan sebutan "Dajjal".(intisari(dpt)grid, 17-4-2023).

Tidak hanya itu, keluarga Bima diduga mengalami intimidasi dan intervensi. Buntut konten sang anak, ayah Bima mendapat panggilan dari Bupati Lampung Timur dan diperiksa pihak kepolisian. Untuk kesekian kalinya, kritik rakyat dibungkam dengan UU ITE.Lagi- lagi kritik berujung ancaman .

Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung menyatakan siap memberikan pendampingan hukum kepada Bima.

Ketua Aji Bandar Lampung, Dian Wahyu Kusuma mengatakan beberapa tahun terakhir, UU ITE memang menjadi celah penguasa untuk mengkriminalisasi dan membungkam orang yang aktif mengkritik kebijakan pemerintah, (cnnindonesia, 15/04/2023).

Ada yang keliru dengan pemimpin di negeri ini, sangat sensitif terhadap kritikan rakyat, padahal jelas dalam sistem pemerintahan demokrasi menjunjung tinggi kebebsasan Hak Asasi Manusia (HAM), rupanya kebebasan itu bukan untuk rakyat.

Hal ini menunjukkan adanya penguasa anti kritik. Realitas ini sebenarnya sudah lama muncul di negeri ini, yang tergambar dari pengesahan UU ITE, yang sering dijadikan alat untuk membungkam pengkritik dan menguatkan arogansi penguasa, miris.

Kritik yang membangun sejatinya sangat dibutuhkan oleh penguasa dan ini merupakan mekanisme kontrol masyarakat, terlebih bagi penguasa yang mendapatkan amanah mengurus rakyat. Bukan sebaliknya merasa terancam jika ada rakyat yang kritis mengkritik kinerja penguasa.

Lain halnya dengan sistem Islam yaitu khilafah yang akan menjamin kebebasan masyarakat dalam menyuarakan aspirasi ataupun kritikan terhadap pemerintah. Bahkan menjadi suatu keharusan jika penguasa melenceng, masyarakat wajib mengingatkan. Karena di dalam sistem Islam, tidak dibenarkan adanya kezaliman yang dilakukan penguasa.

Seorang pemimpin pun menyadari akan tugas dan tanggungjawabnya dalam meri’ayah masyarakat yang kelak dihisab di akhirat. Sehingga seorang pemimpin tidak akan berani mendzalimi rakyatnya. Sebaliknya, senantiasa mengharapkan kritikan ketika terjadi kekeliruan dalam menjalankan kepemimpinannya.

Kondisi demikian akan melahirkan pemimpin yang amanah dan masyarakat yang taat pada pemimpinnya. Karena suara rakyat selalu didengarkan, pemimpin pun tidak segan menerima nasihat dan kritikan. Maka sudah saatnya mencampakkan sistem kufur saat ini yang selalu menimbulkan kerusakan dan kesengsaraan.

Masyarakat semestinya semakin menyadari kebobrokan demokrasi kapitalis dan segera beralih pada satu-satunya solusi hakiki. Penerapan sistem Islam secara kaffah sebagai bukti ketundukkan total pada syariat Islam dan hukum-hukum Allah swt.

Seperti saat kepemimpinan khalifah Umar bin khatab yang menerima kritikan seorang wanita terkait pernyataan Umar yang melarang memahalkan mahar. Umar membatasi mahar tidak boleh lebih dari 12 uqiyah atau setara 50 dirham. Wanita tersebut membacakan firman Allah swt :

” Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (QS. An-Nisa’ 4:20).

Khalifah Umar pun menyadari kekhilafannya, kemudian dengan tanpa merasa malu, ia membenarkan ucapan wanita itu dan mengakui kesalahannya. “Wanita ini benar dan Umar salah,” ucapnya di depan banyak orang.

Wallahu’alam bishowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post