Meningkatkan Ketakwaan di Bulan Ramadan


Oleh Silmi Safirah
Generasi Penerus Dakwah

Kini bulan yang dinantikan telah datang. Yakni bulan Ramadan. Bulan Ramadan merupakan bulan suci umat Muslim. Dimana umat Muslim melakukan ibadah puasa yang merupakan salah satu rukun Islam. Berpuasa hukumnya wajib. Telah disampaikan pada Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 186 yang berbunyi: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa."

Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa menjalankan puasa di bulan Ramadan akan menjadikan seseorang bertakwa. Muslim sejati akan menjaga ketakwaannya hingga Ramadan berakhir. Maksudnya mereka akan bertakwa juga di bulan-bulan selain Ramadan.

Dalam tafsiran Syaikh Abu Bakar al-Jazairi, makna dari kata "agar kalian bertakwa" adalah bahwa dengan berpuasa itu Allah telah merancang agar umat Muslim yang beriman dapat menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi larangan Allah.

Makna Takwa

Sebagaimana yang banyak orang ketahui, bahwa makna dari takwa adalah menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. 

Dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 1-2, Allah berfirman: "Alif lam mim. Kitab (al-Qur'an) ini, tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi kaum yang bertakwa."

Dalam pernyataan Ibn Abbas ra. yang dikutip oleh Imam Ibn Jarir ath-Thabari menyebutkan bahwa orang-orang yang bertakwa akan merasa takut untuk menyekutukan Allah Swt. dan orang yang bertakwa akan melaksanakan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah kepada mereka.

Setiap orang yang bertakwa akan berusaha menjauhi hal yang membuatnya menjadi musyrik. Perbuatan menyekutukan Allah Swt. dengan makhluk-Nya adalah maksud dari syirik. Baik dalam perihal akidah ataupun ibadah. Menyekutukan Allah juga bisa dengan yakin bahkan hingga menegakkan hukum yang dibuat oleh selain Allah Swt..

Allah berfirman dalam Al-Qur'an surah At-Taubah ayat 31: "Orang-orang Yahudi dan Nasrani telah menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai Tuhan-Tuhan selain Allah."

Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa orang Yahudi dan Nasrani telah menyekutukan Allah dengan menjadikan pendeta dan rahibnya sebagai Tuhan. Karena mereka telah mengikuti aturan atau perintah yang dibuat oleh para pendeta dan rahibnya.

Sebagaimana pada kisah Rasulullah yang sedang membacakan ayat di atas. Lalu saat itu ada Adi bin Hatim (seorang Nasrani yang hendak masuk Islam) mendengarnya. Lalu Adi bin Hatim pun berkata bahwa orang-orang Nasrani tersebut tidak pernah menyembah para pendetanya. Kemudian Rasulullah bertanya, Bukankah para pendeta kalian biasa menghalalkan yang telah Allah haramkan dan mengharamkan yang telah Allah halalkan dan kalian pun menaatinya?" Adi bin Hatim menjawab "Benar", Rasulullah pun menegaskan bahwa perbuatan tersebut merupakan bentuk penyembahan mereka kepada para pendeta mereka. 

Namun saat ini, perilaku syirik dilakukan kepada para penguasa di sistem demokrasi yang berperan sebagaimana pendeta dan rahib tersebut. Mereka tanpa rasa takut menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan mengharamkan yang telah Allah halalkan. Misalnya pemerintah melakukan transaksi riba yang padahal riba telah diharamkan oleh Allah. Negara meminjam pinjaman kepada negara lain dengan bunga yang tinggi. Setiap tahun pemerintah mengeluarkan dana untuk membayar bunganya saja. 

Kita sebagai umat Muslim tidak ingin jatuh ke dalam kesyirikan dengan menyembah para penguasa melalui bentuk ketaatan pada hukum-hukum yang telah dibuatnya. Sudah jelas hukum buatan manusia bertolak belakang dengan hukum Allah.

Ketakwaan yang Hakiki

Di kehidupan akhir zaman ini banyak umat Muslim yang mengaku keimanannya tetapi tidak sampai pada perbuatannya. Muslim tidak cukup berbekal dengan keimanan saja tetapi wajib juga disertai dengan ketakwaan.

Lantas ketakwaan yang sebenarnya itu seperti apa? Seperti yang sudah disebutkan oleh Imam al-Hasan bahwa ada beberapa tanda pada orang bertakwa. Di antaranya adalah jujur dalam bercakap, dapat dipercaya jika diamanahi, menepati janji, rendah hati dan tidak sombong, senang bersilaturahmi dan selalu mencintai orang lemah, menjaga diri dari wanita, memiliki akhlak yang baik, memiliki pengetahuan yang luas dan selalu bertaqarrub kepada Allah Swt..

Ketakwaan yang hakiki seharusnya dimiliki oleh setiap Muslim. Seorang Muslim mesti memelihara ketakwaannya dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun. Rasulullah saw.bersabda: "Bertakwalah engkau dalam segala keadaanmu!" (HR at-Tirmidzi dan Ahmad)

Namun melihat kondisi yang sangat memprihatinkan saat ini, banyak orang yang mengaku Muslim tetapi masih tidak sepenuhnya bertakwa. Mereka melakukan kemaksiatan tanpa rasa takut kepada Allah. Seolah maksiat yang dilakukan saat ini adalah suatu hal yang biasa.

Ketakwaan yang hakiki dapat menyelamatkan diri dari kemaksiatan dan kesengasaraan di dunia. Misalnya pada kasus korupsi, pejabat yang sudah memiliki gaji yang besar dan mendapatkan fasilitas secara gratis tetapi karena dia memiliki ketakwaan yang kurang, dia tidak takut mencuri uang yang bukan haknya. Padahal pejabat memiliki amanah yang diemban dari rakyatnya. Seperti yang telah disebutkan bahwa tanda dari seseorang bertakwa adalah dapat dipercaya ketika diberi amanah. 

Andaikan jika seorang pejabat itu memiliki ketakwaan yang hakiki, tentu ia tidak akan terkena hukuman akibat korupsi yang dilakukannya itu. Hukuman pidana di dunia dan hukuman kelak di akhirat.

Takwa Kolektif

Dalam Al-Qur'an Surah Al-A'raf ayat 96, Allah Swt. berfirman :"Andai penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, Kami pasti melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi …."

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa untuk mendapatkan berkah yang melimpah maka orang-orang dalam suatu negara mesti bertakwa. Takwa tidak cukup untuk pribadi saja melainkan ketakwaan pada suatu negeri. Negeri yang di dalamnya penduduk bertakwa dapat terjadi jika menerapkan sistem Islam secara kaffah. Karena umat Islam akan takut melanggar aturan Allah jika diterapkannya hukum-hukum yang murni dari Allah Swt..

Wallahu a'lam bi ash-shawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post