Di Alam Demokrasi, Kenapa Kritik Dikriminalisasi?



Oleh Ummu Nida
Pengasuh Majelis Taklim

"Sesungguhnya kritik itu meluruskan yang bengkok, menyadarkan yang lalai, mengingatkan yang lupa dan membenarkan yang salah, meski hanya ngomong doang, tapi resikonya nggak doang, dan hasilnya bisa jadi perubahan besar." (Aab Elkarimi, Influencer)

Ungkapan kalimat di atas, sungguh benar adanya, kalau diterima dengan hati yang lapang. Ucapan terima kasih seharusnya terlontar dari orang yang mendapat kritik karena sudah diingatkan akan kesalahannya. Tetapi, di alam demokrasi yang katanya terbuka, tak sedikit pejabat bersikap resisten terhadap kritik. Padahal, kritik dalam demokrasi merupakan perwujudan daulat rakyat. Karena rakyat yang memberikan mandat kepada penguasa. Seperti yang viral baru-baru ini tentang rakyat yang mengkritik penguasa atas kinerjanya.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, menyatakan kesiapannya untuk memberikan pendampingan hukum terhadap TikToker Bima Yudha Saputro, pemilik akun TikTok @awbimaxrebon yang dituntut karena mengkritik pemprov Lampung. Bima senantiasa mengkritik dengan pedas terhadap kampung halamannya yang dinilai tidak maju-maju karena diduga pemerintahnya korup. Infrastruktur yang bobrok seperti jalan rusak, tata kelola biokrasi, pertanian, proyek Kota Baru Lampung yang mangkrak hingga kecurangan dalam sistem pendidikan tak luput dari kritiknya. Atas konten tersebut, Bima dituduh melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sehingga diancam pidana. (cnnindonesia, 15/4/2023)

Kasus pengaduan ini sungguh telah mencoreng demokrasi. Kenapa di alam demokrasi, kritik dikriminalisasi? Padahal, hak untuk memberikan kritik dijamin dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD RI Tahun 1945 yang berbunyi, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat," juga tertuang dalam Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) serta Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Pada faktanya, semua ini hanya jargon kosong belaka. Undang-undang tersebut hanya berlaku bagi penguasa, bukan bagi rakyat yang mengkritik kinerjanya. Penguasa yang membuat aturan, penguasa sendiri yang melanggarnya. Sungguh ironis!

Dikutip dari (detik.com, 16/4/2023). APBD Lampung ternyata dihabiskan untuk gaji PNS-DPRD sebanyak 2,14 triliun, sementara dana untuk perbaikan jalan hanya dialokasikan sebanyak Rp72, 44 miliar. Apakah kesejahteraan PNS lebih utama daripada keselamatan jiwa rakyatnya dikarenakan banyak jalan berlubang? Apakah, ketika rakyat mengingatkan penguasanya akan kewajibannya adalah pembuat hoax yang harus dikriminalisasi? Padahal, tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Tidak mungkin ada kritik kalau penguasa tidak melakukan kezaliman.

Kritik kepada penguasa bukanlah sesuatu yang asing, karena aktivitas ini sudah dilakukan sejak masa Rasulullah saw. Di dalam Islam, aktivitas ini dinamakan "muhasabah al-hukkam." Muhasabah artinya mengontrol dan mengoreksi, sedangkan al-hukkam berarti para pejabat pemerintahan. Jadi aktivitas muhasabah al-hukkam adalah perwujudan pelaksanaan amar makruf nahi mungkar. Muhasabah al-hukkam atau koreksi terhadap pejabat adalah wujud kasih sayang umat kepada pemimpin yang telah dipercayai untuk mengurus setiap urusan rakyat.

Di dalam Islam, muhasabah kepada para pejabat pemerintahan adalah kewajiban yang diperintahkan oleh Allah Swt. Perintah ini bersipat tegas, yaitu melakukan muhasabah terhadap para penguasa dan mengubah perilaku mereka jika mereka melanggar hak-hak rakyat, melalaikan kewajiban-kewajibannya terhadap rakyat, mengabaikan salah satu urusan rakyat, memutuskan hukum selain wahyu yang diturunkan Allah, menyalahi hukum-hukum Islam, dan lain sebagainya.

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, ..." (TQS. Ali Imran [3]:110)

Penguasa saat ini seharusnya mengambil pelajaran dari sikap Khalifah Umar, ketika beliau mendapat kritik. Diceritakan, seorang wanita dengan penuh keberanian mengkritik kebijakan Umar tentang penetapan mahar yang tidak boleh lebih dari 400 dirham kepada istri-istri mereka sambil membacakan firman Allah Swt. surat An-Nisa ayat 20. Sungguh, apa yang terjadi di luar dugaan. Khalifah Umar menyadari atas kekhilafannya, kemudian dengan tanpa merasa malu, beliau membenarkan ucapan wanita itu dan mengakui kesalahannya.

Oleh karena itu, hanya dalam sistem khilafah yang menerapkan Islam kafah yang bisa melahirkan para pemimpin yang tidak anti kritik. Sebaliknya, pemimpin dalam Islam akan berterima kasih kepada orang yang mengkritiknya karena sudah mengingatkan atas kebijakannya yang salah. Maka, sungguh beruntung bagi kaum muslim dengan ideologi Islam yang diyakininya, yang tidak pernah memisahkan persoalan politik dengan dinullah Islam. Politik dalam Islam  semata-mata untuk mengurusi urusan umat sesuai hukum Allah Swt.

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post