Balada Impor Gula di Negeri Kaya Raya


By : Bazlina Adani 
Kampus UMN Medan

Dikutip dari detikFinance (26/03/2023), pemerintah akan melakukan impor gula kristal putih sebanyak 215.000 ton untuk tahun ini. Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) menugaskan kepada BUMN Pangan dalam hal ini ID FOOD dan PTPN Holding untuk mengimpor gula tersebut.

Stok awal gula nasional di Januari 2023 sebesar 1,1 juta ton, adapun kebutuhan gula nasional per bulan tercatat sebesar 283 ribu ton. Pada Januari-Desember 2023, diperkirakan produksi gula dalam negeri sekitar 2,6 juta ton. Namun belum bisa memenuhi kebutuhan gula nasional 2023 sekitar 3,4 juta ton. Sehingga selisihnya masih harus ditutup oleh pasokan luar negeri. Hal inilah yang menjadi alasan pemerintah memutuskan untuk impor.

Negeri yang pernah berjuluk sebagai negeri eksportir gula ternama pada zamannya kini berubah menjadi negeri yang bergantung pada komoditas impor. Padahal kekayaan sumber daya alamnya sangat melimpah ruah. Namun untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri masih diimpor dari negara lain. Padahal gula merupakan salah satu kebutuhan masyarakat luas yang harus tersedia sehingga kebutuhan terhadap gula tercukupi. Terlebih lagi muatan komoditas gula yang diimpor terbilang cukup banyak. Sementara ini tidak sejalan dengan program swasembada gula 2024 yang ingin diwujudkan pemerintah. Nyatanya kebutuhan nasional tak sebanding dengan produksi gula nasional. Wajar saja, hal ini pernah diakui oleh Kemenperin bahwa masih terdapat gap kebutuhan gula.

Dalam hal ini, impor gula dalam jumlah besar menunjukkan gagalnya pemerintah mewujudkan ketahanan pangan di negeri yang notabenenya memiliki lahan luas nan subur. Kurangnya stok untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri yang sangat besar menunjukkan ketidakmampuan negara mencukupi kebutuhan gula dalam negeri. Dengan seringnya pemerintah melakukan aktivitas impor tentu akan membuat negeri ini semakin bergantung pada negeri importir. Bahkan meningkatnya aktivitas impor tidak menutup kemungkinan cenderung menguntungkan para importir. Sebab impor bahan pangan yang dilakukan oleh negeri ini bukan hanya pada gula saja tetapi pada jenis komoditas pangan lainnya pun demikian, baik itu kedelai, daging, sayuran dan lain sebagainya. 

Inilah yang terjadi pada negeri kaya raya berjuluk gemah ripah loh jinawi. Pasalnya mekanisme pengelolaan sumber daya alam di negeri ini justru mengikuti asas sekularisme yang memisahkan aturan agama dalam aspek kehidupan. Agama seolah tidak relevan dijadikan pengaturan dalam pengelolaan sumber daya alam. Sehingga kebijakan pengelolaannya diserahkan oleh swasta ataupun para kapitalis. Sebab negara yang menganut sistem pemerintahan kapitalisme-sekularisme hanya berperan sebatas regulator dan fasilitator, negara tidak terjun langsung mengurus dan mengendalikan sepenuhnya pengelolaan sumber daya alam. Maka wajar jika harapan pemerintah dalam mewujudkan swasembada pangan seolah hanya kisah klasik tanpa realita. Swasta dan para kapitalis justru diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya alam. Tentunya ini juga hanya menguntungkan mereka tanpa sedikitpun rakyat merasakan dampaknya.

Kondisi ini tentu berbeda dengan ketahanan dan kedaulatan pangan di dalam islam. Islam mengajarkan bahwa kaum muslim harus punya mempunyai kemandirian dalam mengatur urusan negerinya guna meminimalisir ketergantungan terhadap negara lain. Terlebih lagi jika negara tersebut adalah negara yang memusuhi islam dan kaum muslimin, maka negara tidak diperkenankan melakukan aktivitas impor. Oleh karenanya Islam memiliki mekanisme politik dalam mengelola sumber daya alam berdasarkan syari’at yang berasaskan aqidah Islam. Di dalam Islam, negara berperan langsung sebagai raa’in (pengurus) yang akan mengatur seluruh persoalan di dalam negara dan tidak membiarkan para kapitalis menguasai sektor apapun atas kaum muslimin. Maka untuk menjaga ketahanan pangan, negara akan mempersiapkan lahan yang strategis, pengelolaan lahan dan komoditas dengan kualitas terbaik, tentu didukung juga oleh infrastruktur serta sarana dan prasarana yang mendukung.

Dengan begitu Islam akan memaksimalkan lahan pertanian dan mengatur lahan untuk industri pertanian dan pemukiman. Dalam sektor pertanian, negara tidak hanya mementingkan bagaimana pengelolaan lahan yang baik, namun juga berbicara terkait distribusi kekayaan alam yang telah dikelola. Sumber daya alam termasuk ke dalam harta kepemilikan umum, maka rakyat berhak menerima dan merasakan manfaatnya. Negara tidak dibenarkan melakukan jual-beli layaknya produsen dengan konsumen. Sebab sudah menjadi kewajiban negara memenuhi kebutuhan warga negaranya dalam urusan sandang, pangan dan papan.

Jika negara telah melakukan mekanisme pengaturan tersebut tanpa adanya intervensi swasta maupun kapitalis, negara di dalam Islam dapat menciptakan ketahanan pangan guna memenuhi kebutuhan pangan negara. Negara juga tidak mudah melakukan impor komoditas pangan lantaran negara berhasil mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan dengan jenis yang beragam.

Mekanisme seperti inilah yang akan membebaskan negara dari aktvitas impor terhadap negara lain. Walaupun Islam tidak melarang melakukan impor, namun impor hanya dilakukan ketika negara benar-benar dalam kondisi krisis dan tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan warga negaranya. Maka sudah selayaknya kita berganti mekanisme pengaturan politik pertanian yang sesuai dengan syariat Islam kaffah. Sehingga menjadi keharusan bagi kita untuk berjuang mengembalikan kehidupan Islam ditengah-tengah kehidupan. Wallahua’lam.

Bazlina Adani
Alumni UMN-AW Medan

Post a Comment

Previous Post Next Post