Antara RUU Perampasan Aset dan Gurita korupsi


Oleh ; Khoirunnisa, S.E.I
 
Korupsi merupakan kata-kata yang tak asing di dengar oleh kebanyakkan orang. Aktivitas korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Di Negeri Indonesia ini, kasus korupsi banyak sekali terjadi. Semua sudah menjamur dimana-mana dan sangat menggurita. 

Baru-baru ini terdengar kabar baik di kalangan pejabat, anggota dewan atau ASN, bahkan aktivitas ini dilakukan secara jama’ah. Contoh saja seperti kasus Bupati kapuas, dikutip dari tirto.id - pegiat antikorupsi dari PUKAT UGM Zaenur Rohman menilai aksi korupsi yang dilakukan Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S Bahat dan anggota DPR RI Fraksi Nasdem Ary Egahni Ben Bahat bukan lah modus baru. Zaenur menilai, modus yang dilakukan pasangan suami istri itu kerap dilakukan pejabat lain dengan menyalahgunakan wewenangnya. 

Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencekal 10 tersangka dalam penyidikkan kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja (tukin) pegawai di Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun anggaran 2020 – 2022 ke luar negeri. 

Tentunya masih banyak lagi kasus-kasus seperti ini di jaman sekarang. Sebagaimana yang disampaikan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa ada 533 penindakan kasus korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum (APH) sepanjang 2021. Dari seluruh kasus tersebut, total potensi kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp29,4 triliun. 

Dikutip dari dataindonesia.id – terdapar 1.261 kasus korupsi yang terjadi sepanjang 2004 hingga 3 januari 2022. Berdasarkan data wilayah, korupsi yang paling banyak terjadi di pemerintahan pusat, sebanyak 409 kasus.  

Sungguh miris, korupsi yang menggurita ini merupakan bahaya laten yang butuh disolusikan hingga akarnya. Karena kerugian yang ditimbulkan sungguh besar dan sangat mendzalimi rakyat. 
 

 *Ide RUU Perampasan Aset _(Asset Recovery)_* 
Dalam rangka membasmi semua tindak kasus korupsi maka muncullah isu RUU Perampasan Aset. Untuk diketahui, RUU Perampasan Aset atau yang dikenal dengan istilah asset recovery, merupakan salah satu aturan yang harus ada ketika suatu negara sudah menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Melawan Korupsi.  Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada 2003 dan melakukan ratifikasi dengan membuat Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006. Namun, hingga kini, Indonesia belum juga memiliki aturan hukum soal perampasan aset. 

Baru-baru ini, RUU Perampasan Aset kembali mengemuka usai Menkopolhukam, Mahfud MD, meminta DPR RI untuk mendukung kehadiran UU tersebut.  Apa itu UU Perampasan Aset? Pakar Hukum Universitas Trisakti, Prof Abdul Fickar Hadjar mengatakan, secara terminologi perampasan aset itu dimaksudkan untuk aset-aset hasil kejahatan. Sebab, ada upaya-upaya paksa yaitu perampasan. 

Selama ini, aset yang disita dan dirampas oleh penegak hukum pada akhirnya harus melalui putusan pengadilan. Jadi, aset itu berpindah tangan kalau ada lembaga, peristiwa hukum atau putusan pengadilan, baru bisa disita atau bisa dilelang. Artinya, adanya RUU ini, menandakan  menciptakan sistem baru atau lembaga baru dalam penegakan hukum, Sebab, pada dasarnya dalam penegakan hukum perdata sepenuhnya menjadi kewenangan pengadilan untuk menyita, melelang dan memberikan hasilnya kepada yang berhak. 

Terobosan mungkin akan dimunculkan oleh UU Perampasan Aset ini tanpa ada proses pengadilan terhadap aset-aset tertentu yang nanti dikualifikasi secara teknis. Jadi, bisa dirampas negara atau lembaga yang memberikan kredit dan sebagainya. 
 

 *Solutifkah RUU Perampasan Aset _(Asset Recovery)_* 
Melihat data korupsi yang menggurita, ternyata Menurut laporan Transparency International, dari 180 negara yang di survey maka Indonesia di nilai sebagai negara terkorup ke-5 di Asia Tenggara. Dan dari sini, memang butuh berfikir keras untuk solusi tuntas dari bahaya laten korupsi ini. 

Namun apakah benar bahwa dengan pembahasan RUU Perampasan aset (Asse Recovery), yang merupakan mandat PBB itu, dirasa mampu untuk menyelesaikan smua permasalah korupsi yang telah menggurita ini? 

Adanya asas sekulerisme yang diterapkan oleh negeri ini, menjadikan munculnya kebiasaan dalam memisahkan segala urusan agama dengan kehidupan. Hal inilah yang berefek pada terkikisnya keimanan seorang muslim. Karena mereka menomorduakan aturan mulia Sang Illahi, Allah swt. 

Mustahillah jika dengan RUU Perampasan Aset ini, mampu mencabut bahaya laten korupsi dan mustahil untuk mampu memulihkan ekonomi negara yang telah dirugikan oleh para pelaku korupsi. Alasannya adalah Walaupun semua aset mampu disita, namun tak menjamin adanya tindak jera bagi pelaku yang lain. Belum lagi kejujuran negarapun patut dipertanyakan. Melihat hasil survey, bahka kasus korupsi banyak dilakukan oleh pemerintah pusat. 

Maka pangkal dari segala masalah yang menjerat selama ini yaitu sekulerisme. Tak hanya kasus korupsi, kasus kriminalitas apapun bisa terjadi karena asas ini. Maka setiap manusia yang menerapkan sekulerisme, di dalam hidupnya akan selalu memiliki problem ditengah-tengah masyarakat. Dan tak memiliki solusi jitu dalam menyelesaikan problematika manusia di dunia.


 *Islam Tampil Beda, Basmi Korupsi Hingga Akar* 
Islam memberikan sejumlah hukuman yang berat kepada pelaku korupsi, suap dan penerima komisi haram. Pada masa Rasulullah saw. pelaku kecurangan seperti korupsi, selain harta curangnya disita, pelakunya di-tasyhir atau diumumkan kepada khalayak. 

Dalam Perang Khaibar ada seorang budak dari Bani Judzam bernama Rifa’ah bin Zaid dari Bani adh-Dhubaib. Ketika mereka singgah di satu lembah, budak tersebut dipanah (oleh musuh) sehingga menjadi sebab kematiannya. Serta-merta mereka berkata, “Berbahagialah dia dengan pahala syahid, wahai Rasulullah.” 

Namun, dengan tegas Rasulullah mengatakan: 

كَلاَّ، وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، إِنَّ الشَّمْلَةَ لَتَلْتَهِبُ عَلَيْهِ نَارًا أَخَذَهَا مِنَ الْغَنَائِمِ يَوْمَ خَيْبَرَ لَمْ تُصِبْهَا 

Sekali-kali tidak! Demi Zat Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh sehelai kain yang ia ambil dari rampasan perang yang belum dibagi pada Perang Khaibar akan menyalakan api padanya (HR Muslim). 

Abu Hurairah berkata: (Mendengar itu) para sahabat sangat ketakutan sehingga ada seorang yang menyerahkan satu atau dua tali sandal seraya mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami mendapatkan ini pada Perang Khaibar.” Rasulullah saw. pun bersabda, “Ketahuilah, sungguh itu adalah satu atau dua tali sandal dari api neraka.” 

Pada masa Khulafaur Rasyidin ada kebijakan yang dibuat oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. untuk mencatat harta kekayaan para pejabatnya saat sebelum dan setelah menjadi pejabat. Jika Khalifah Umar merasa ragu dengan kelebihan harta pejabatnya, ia akan membagi dua hartanya dan memasukan harta itu ke Baitul Mal. 

Khalifah Umar ra. juga tak segan merampas harta yang diberikan oleh para pejabatnya kepada karib kerabat mereka. Umar pernah merampas separuh harta Abu Bakrah ra. karena kerabatnya bekerja sebagai pejabat Baitul Mal dan pengurusan tanah di Irak. Harta Abu Bakrah sebesar 10 ribu dinar (lebih dari Rp 25 miliar) dibagi dua oleh Khalifah Umar. Separuh diberikan kepada Abu Bakrah. Separuh lagi dimasukkan ke Baitul Mal (Syahid al-Mihrab, hlm. 284). 

Amirul Mukminin Umar ra. juga pernah merampas harta Abu Sufyan setelah ia pulang dari Syam, menjenguk putranya, Muawiyah. Harta itu adalah oleh-oleh dari putranya. Beliau merampas uangnya sebesar 10 ribu dirham (lebih dari Rp 700 juta) untuk disimpan di Baitul Mal. 

Pelaku suap, korupsi atau penerima gratifikasi juga bisa diberi sanksi penjara hingga hukuman mati sesuai keputusan qadhi sebagai ta’zir dalam sistem pidana Islam. 

Islam memang beda dalam Pemberantasan korupsi. Semua menjadi lebih mudah dan tegas karena negara dan masyarakatnya dibangun di atas dasar ketakwaan. Hukumnya pun berasal dari wahyu, bukan dari hawa nafsu manusia sebagaimana dalam sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi, hukuman untuk para koruptor dan upaya penindakannya bisa diubah sesuai kepentingan. 

Korupsi marak di Tanah Air Antara lain karena keserakahan para pelaku, lemahnya hukum, juga mahalnya ongkos politik dalam sistem demokrasi. Untuk menjadi kepala daerah saja seorang calon harus punya dana minimal Rp 20-30 miliar. Padahal gaji yang mereka terima setelah menjabat kepala daerah hanya puluhan juta rupiah. Pemilihan caleg di berbagai tingkat juga berbiaya tinggi. Inilah yang mendorong sejumlah kepala daerah dan anggota dewan ramai-ramai melakukan korupsi. 

Karena itu sudah saatnya umat kembali pada syariah Islam yang datang dari Allah Mahasempurna. _Wallahu’allam bi ash shawwab_

Post a Comment

Previous Post Next Post