Tradisi Harga Naik Menjelang Ramadan


Oleh : Hj Padliyati Siregar ST

Kenaikan harga bahan pokok kerap menjadi isu yang perlu diantisipasi menjelang hari besar keagamaan, salah satunya Bulan Suci Ramadan tahun 2023. Kenaikan harga ini dapat terjadi diantaranya karena adanya peningkatan permintaan di masyarakat. 

Oleh karena itu, Wapres mengimbau agar hal ini dapat diantisipasi dengan baik sehingga harga yang beredar di pasaran nantinya tidak membenani masyarakat.
 
“Biasanya memang menjelang Ramadan itu suka ada [harga bahan pokok] yang naik, tetapi jangan sampai naiknya itu melampaui kewajaran. Fenomena di bulan Ramadan seperti itu,” imbuh Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin dalam keterangan persnya di Alila Hotel Solo, Jl. Slamet Riyadi No. 562, Jajar, Kec. Laweyan, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (01/03/2023).
 
Lebih lanjut Wapres menyampaikan, pemerintah telah menyiapkan beberapa langkah antisipasi untuk mengatasi kenaikan harga akibat kelangkaan barang di pasar.
 
“Pemerintah sudah mengantisipasi melalui upaya-upaya penanggulangan inflasi, supaya di daerah itu tidak terjadi kenaikan harga karena kelangkaan,” papar Wapres.
 
Wapres menambahkan, salah satu upaya konkret yang dilakukan adalah dengan mendatangkan bahan pokok dari daerah lain yang memiliki stok lebih dan biaya transportasinya akan ditanggung oleh pemerintah daerah.
 
Upaya dilakukan dimana-mana sehingga tidak menambah harga, jadi harganya tetap seperti di daerah lain juga, sehingga tidak terjadi lonjakan harga. Itu sebenarnya yang sedang dilakukan oleh pemerintah,” imbuh Wapres.

Kenaikan harga pangan menjelang Ramadan dan hari keagamaan lainnya selalu menjadi momok bagi masyarakat. Seakan menjadi tradisi, masyarakat dibuat “biasa” dengan keadaan ini.
 
Dengan pola peningkatan permintaan pada kondisi seperti ini, tentu upaya antisipasi sangat mungkin diambil. Namun, berulangnya lonjakan harga pangan menunjukkan kebijakan antisipasi tersebut tidak dipilih pemerintah.

Amburadulnya pengaturan sektor pangan menyebabkan persoalan tak kunjung selesai. Telah nyata, lonjakan harga pangan makin menambah berat beban hidup rakyat.
 
Apalagi pada masa setelah pandemi  saat ini, dengan daya beli yang makin menurun, rakyat dihadapkan dengan harga pangan yang terus meroket. Sayangnya, kebijakan untuk mengatasi dan mengantisipasi hanya setengah hati. Tidak tampak keseriusan untuk mengurai akar masalah yang sesungguhnya.

Jika kita perhatikan, secara garis besar, harga kebutuhan pokok di pasar dipengaruhi tiga faktor, yaitu tingkat permintaan (demand-side); ketersediaan stok, baik dari produksi domestik maupun impor (supply-side); dan kelancaran distribusi hingga ke retail.
 
Selain faktor permintaan, aspek produksi dan kelancaran distribusi tidak lepas dari konsep tata kelola. Namun, alih-alih memperbaiki pengelolaan, negara berkutat pada solusi teknis dan tetap dalam bingkai neoliberal.
 
Untuk mengatasi minimnya stok pangan, lagi-lagi pemerintah mengandalkan langkah praktis yaitu impor. Pemerintah berdalih bahwa komoditas yang diimpor adalah yang tidak bisa dipenuhi dari dalam negeri.
 
World Food Programme mencatat, tingkat pemenuhan impor Indonesia sangat besar yaitu daging sapi (28%), gula (70%), dan bawang putih (94%). Ditambah garam, kedelai, gandum, dsb.. Sementara, langkah untuk mengoptimalkan pemenuhan dari dalam negeri masih jauh dari target, sekalipun swasembada acap kali dicanangkan.
 
Kebijakan pada aspek distribusi pun tak berbeda, alias pragmatis. Operasi pasar, misalnya, yang seharusnya bersifat sebagai pendukung, tetapi ternyata menjadi solusi tetap. Di samping itu, operasi pasar yang menyasar konsumen bukan pedagang, dilakukan dengan menggandeng pihak ketiga (korporasi).
 
Dukungan anggaran negara yang terbatas pun terbukti tidak menghentikan lonjakan harga kecuali hanya sesaat. Begitu pula pembentukan outlet penjualan milik pemerintah, seperti Toko Tani Indonesia dan Rumah Pangan Kita yang digadang-gadang bisa memutus rantai tata niaga saat ini seperti mati suri.

 elain perannya yang tidak terasa, keberadaannya tidak murni untuk melayani kebutuhan rakyat. Sebab, mereka hanyalah mitra pemerintah yang juga berorientasi profit.

Jelaslah, kebijakan praktis pragmatis tidak bisa mengurai problem karena jauh dari akar persoalan yang ada. Pada dasarnya, harga pangan yang melonjak sehingga sulit dijangkau rakyat, berpangkal dari lemahnya fungsi negara dalam mengatur sektor pertanian pangan akibat paradigma kapitalisme neoliberal. 

Sistem ini telah memandulkan peran pemerintah tidak lebih dari sekadar regulator dan fasilitator, bukan sebagai penanggung jawab urusan rakyat.
 
Pengelolaan dan pemenuhan kebutuhan rakyat justru diserahkan kepada korporasi, sehingga menjadi proyek bancakan untuk mengejar keuntungan. Berbagai aturan yang dibuat pemerintah malah memfasilitasi masuknya para pemodal dalam bisnis hajat asasi ini.
 
Korporatisasi yang begitu masif di sektor ini menyebabkan stabilitas harga tidak pernah terwujud, bahkan ketahanan dan kedaulatan pangan makin jauh dari kenyataan. Penguasaan korporasi di aspek produksi menyebabkan mayoritas stok pangan berada di tangan swasta, bukan dalam kendali negara sedangkan dalam Islam  kebijakan negara mampu menjaga  stabilitas harga.



Kebijakan Negara  Menjaga Stabilitas Harga

Demi menjaga stabilitas harga, Khilafah akan mengambil kebijakan sebagai berikut:
 
Pertama, menjaga ketersediaan stok pangan supaya suplai dan demand menjadi stabil. Kebijakan ini diwujudkan dengan menjamin produksi pertanian di dalam negeri berjalan maksimal. Keberhasilannya sangat tergantung dengan kebijakan Khilafah di sektor pertanian.
 
Negara akan memastikan lahan-lahan pertanian berproduksi dengan menegakkan hukum tanah yang syar’i. Negara juga akan memberi dukungan kepada petani/peternak, baik berupa saprotan maupun pembangunan infrastruktur pendukung. 

Termasuk implementasi hasil riset dan inovasi dari para pakar dan intelektual untuk mengejar produktivitas pertanian setinggi mungkin. Teknologi yang terkait prediksi cuaca dan iklim pun diterapkan, sehingga cuaca yang kurang bersahabat bisa diantisipasi lebih awal (mitigasi).
 
Dengan penguasaan stok pangan yang berada dalam pengaturan negara, akan mudah menjalankan kebijakan distribusi pangan dari daerah surplus ke daerah yang mengalami kelangkaan (di samping konsep otonomi daerah seperti saat ini juga tidak diakui).
 
Melalui pengadaan infrastruktur dan moda transportasi yang juga dikuasai negara, proses pengiriman bisa berlangsung dengan mudah dan cepat.
 
Sebagaimana pernah dilakukan Umar bin Khaththab ketika Madinah mengalami musim paceklik. Beliau mengirim surat kepada Abu Musa ra. di Bashrah yang isinya, “Bantulah umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam! Mereka hampir binasa.” Setelah itu, surat yang sama dikirim kepada ‘Amru bin Al-‘Ash ra. di Mesir.

Kedua gubernur ini kemudian mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, terdiri dari makanan dan bahan pokok berupa gandum. Bantuan ‘Amru ra. dibawa melalui laut hingga sampai ke Jeddah, kemudian dari sana baru dibawa ke Makkah.
 
Jika ketersediaan stok pangan di dalam negeri tidak memadai, Khilafah bisa melakukan impor. Namun, impor dilakukan secara temporer hanya untuk menstabilkan harga, tidak diperbolehkan menjadi ketergantungan. Impor boleh dilakukan kecuali dari negara-negara kafir harbi fi’lan dan komoditasnya pun bukan komoditas haram.
 
Kebijakan kedua, menjaga rantai tata niaga, yaitu dengan mencegah dan menghilangkan distorsi pasar. Di antaranya melarang penimbunan, melarang riba, melarang praktik tengkulak, kartel, dsb.. Disertai penegakan hukum yang tegas dan berefek jera, sesuai aturan Islam.
 
Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok sampai menunggu harganya naik. Abu Umamah al-Bahili berkata, “Rasulullah saw. melarang penimbunan makanan.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).[10]
 
Penting untuk dipahami, tumbuh suburnya spekulan, mafia, atau kartel di pasar kapitalisme juga akibat hilangnya peran negara. Walhasil, rantai perdagangan dikuasai oleh korporasi alias pedagang besar/tauke. Harga yang terbentuk di pasar bukan berdasar hukum supply and demand, melainkan dikendalikan oleh para pedagang ini.
 
Karenanya, negara harus hadir mengawasi rantai perdagangan dan menegakkan sanksi bagi siapa saja yang terbukti melakukan pelanggaran. Qadhi Hisbah akan bertugas mengawasi tata niaga di pasar dan menjaga agar bahan makanan yang beredar adalah makanan yang halal dan thayyib.
 
Meski demikian, Negara  tidak akan mengambil kebijakan penetapan harga. Sebab, hal ini dilarang sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak.” (HR Ahmad, Al-Hakim, Al-Baihaqi)
 
Jika Negara  perlu melakukan operasi pasar, kebijakan ini sepenuhnya berorientasi pelayanan, bukan bisnis. Sasaran operasi pasar adalah para pedagang dengan menyediakan stok pangan yang cukup, sehingga mereka bisa membeli dengan harga murah dan dapat menjualnya kembali dengan harga yang bisa dijangkau konsumen.
 
Yang tidak kalah penting adalah peran negara dalam mengedukasi masyarakat terkait ketakwaan dan syariat bermuamalah. Dalam Islam, ketakwaan individu merupakan salah satu pilar penting tegaknya sistem. Hal ini dibentuk mulai dari keluarga dan sistem pendidikan yang diselenggarakan negara. Pemahaman tentang konsep bermuamalah yang benar adalah prasyarat yang harus dimiliki setiap orang yang berinteraksi di pasar.
 
Umar ra. pernah melarang orang yang tidak memiliki ilmu untuk datang ke pasar dengan mengatakan, “Jangan berjual beli di pasar kami, kecuali orang yang berilmu. Apabila tidak, dia akan makan riba, baik disengaja atau tidak.” Bahkan, beliau juga mengutus seseorang untuk mengusir orang-orang yang tidak berilmu dari pasar.

Wallahu a’lam bishshawab. 
 

Post a Comment

Previous Post Next Post