Tiga Faktor Penyebab Pemuda Tak Memiliki Adab




Oleh Waryati
(Pemerhati Kebijakan Publik) 

Lagi, nalar publik dibuat tak berkutik. Gara-gara hal sepele seorang pemuda tega melakukan tindakan di luar batas kewajaran menyebabkan korban terbaring koma. 

Di tengah derasnya kebijakan negara mendorong generasi muda untuk aktif bergerak di segala bidang melalui potensi yang dimilikinya, justru berbanding terbalik dengan fakta yang tersuguh di kehidupan generasi muda. 

'Yang muda berkarya tuk menggapai asa setinggi cita-cita', serasa hanya nyanyian semu pengantar tidur bagi jiwa yang mengharap perubahan namun tak pernah mengenal arti perjuangan. Betapa tidak, pemberitaan terkait pemuda kerap membuat shok para orang tua dan juga masyarakat. Pasalnya, setiap harinya ada saja kasus kejahatan dilakukan pemuda. 

Pemuda harapan bangsa, tumpuan orang tua, penerus estapet kepemimpinan, nyatanya tak mungkin mewujud jika perilaku para pemuda kian tak beradab. 

Agar pemuda terselamatkan dari berbagai tindak anarkisme dan kesewenang-wenangan yang dapat menjerumuskan mereka pada kerugian dan menghancurkan masa depan mereka, hendaknya kita cermati tiga faktor berikut. 

Menapa pemuda bisa dengan mudah bertindak tanpa berpikir terlebih dulu. Bisa jadi karena adanya ketidak mandirian secara sosial, emosional dan finansial. 

Pemuda yang kurang bergaul dengan lingkungan, akan membentuk pribadi kaku dan introvert. Sehingga ketika ia bergaul di luar akan kebingungan bagaimana harus bersikap, bertindak dan berpikir secara jernih. 

Seseorang semacam ini cenderung mudah dipengaruhi oleh teman atau lingkungan barunya. Karena belum terbiasa bergaul luas dan memahami serta menganalisa sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Pada akhirnya kemandirian sosialnya tidak terbentuk dalam diri karena kurangnya interaksi dengan sesama. 

Akibatnya, akan berdampak pada ketidak mandirian secara emosional. Kenapa demikian? Orang yang terbiasa hidup dengan kesendirian atau bergaul dalam lingkup kecil saja, lebih berpotensi gagal mengendalikan diri. Ia akan tumbuh menjadi pribadi tertutup dan mudah tersinggung. Saat amarahnya tersulut sedikit saja, emosinya bisa tiba-tiba meledak. 

Ketika seseorang nyaman dengan kesendiriannya, maka ia hanya mengenali dirinya dan teman yang itu-itu saja. Pada akhirnya pengelolaan serta pengendalian jiwanya tidak matang secara sempurna, tersebab tidak disertai kematangan tingkat berpikirnya. Karena medan pergaulan juga kehidupan yang dihadapinya tergolong mudah. 

Dengan demikian, untuk memahami problem kehidupan dari orang-orang di luar sana akan sulit dicerna. Karena problem tersebut tak pernah ia jumpai di hidupnya, apatah lagi untuk menghadapinya, sudah pasti kesulitan.
Pemuda semacam ini tak terbiasa tuk berpikir serta memecahkan berbagai permasalahan. Karenanya, saat berhadapan dengan persoalan baru dan lingkungan baru, otaknya akan sulit merespon serta tindakannya bisa tak terkendali. Sebab, orang yang tidak mandiri secara emosional, ia akan bertindak tanpa berpikir terlebih dulu. 

Sangat berbeda dengan orang-orang yang bergaul secara luas. Di mana saat seseorang memiliki pergaulan luas, maka ia akan mengenal berbagai karakter, latar belakang kehidupan, perbedaan status sosial, dan masih banyak cerita kehidupan yang bisa dipelajari. Hal ini bisa mematangkan kedewasaan berpikir dan bersamaan membentuk kematangan emosional. 

Ketiga, tidak mandiri secara finansial. Pemuda yang terbiasa mendapatkan apapun keinginannya tanpa kerja keras akan berpotensi membentuk pola sikap arogan, angkuh, serta tidak terbentuk kepekaan dalam dirinya. Hal ini dikarenakan dalam hidupnya selalu mendapat berbagai kemudahan tanpa ada perjuangan terlebih dulu. Maka yang demikian, bisa mengakibatkan ketidak mampuan dalam menghargai orang lain, egois, ingin menang sendiri, juga tak mau terkalahkan dalam banyak hal. 

Untuk mengantisipasi para pemuda ke jurang keterpurukan lebih dalam, baik orang tua, masyarakat serta negara tentunya harus segera mengevaluasi apa pun yang berkaitan dengan pola pendidikan dan juga pola pengasuhan anak. 

Negara dalam hal ini paling bertanggung jawab atas kerusakan yang menimpa generasi muda. Maka negara wajib segera merevisi pendidikan. 

Pendidikan sebelumnya yang berlandaskan sekuler liberalisme diubah kepada pendidikan berbasis akidah Islam. Tanpa support sistem pendidikan dari negara mustahil pemuda mampu memahami serta menjalani kehidupan dengan baik. Mengingat di era digital seperti sekarang tantangan untuk para pemuda semakin berat. 

Dengan diterapkannya pendidikan berbasis akidah Islam kepada anak-anak sejak dini, mereka dipahamkan nilai baik dan buruk.  Memantapkan mereka dalam keimanan. Sehingga menjadikan anak-anak bertakwa dan memiliki akhlak mulia. 

Di samping pendidikan, negara harus menguatkan kembali peran keluarga. Tentunya negara memahami bahwa sebuah keluarga mempunyai tugas membentuk anak-anaknya menjadi generasi saleh dan salehah. Untuk memaksimalkan perannya itu, negara hadir di dalamnya dengan mempermudah berbagai pelayanan serta memberikan jaminan hidup sejahtera terhadap setiap keluarga. 

Poin ketiga adalah, menjadikan kontrol di masyarakat sebagai salah satu pilar penjagaan pemuda. Dengan terbentuknya kesadaran antar masyarakat untuk saling menjaga, di situ akan tumbuh rasa peduli, ketika sesuatu berpotensi menyebabkan kegaduhan, masyarakat bahu-membahu mengatasi. 

Dengan demikian, kemungkinan terjadinya pelanggaran dapat diminamilisir melalui peran aktif masyarakat dalam mengingatkan para pemuda untuk menjaga sikap dan perbuatan di tengah pergaulan mereka. 

Islam menjadikan akidah Islam sebagai asas untuk mengatur seluruh aspek kehidupan, sehingga menjadikan setiap individu menjaga perilaku. Selain keluarga dan masyarakat, negara diwajibkan menjadi pilar utama dalam menjaga umat selalu dalam kebaikan. 

Wallahu a'lam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post