Thrifting, Bisnis dari Limbah




Oleh Ummu Irsyad 
(Pegiat Literasi)

Istilah "thrifting" adalah kegiatan mencari barang-barang bekas atau second-hand dengan harga yang murah, dan sering dilakukan di toko-toko barang bekas atau pasar loak. Kegiatan ini semakin populer di kalangan masyarakat karena selain dapat menemukan barang dengan harga yang lebih terjangkau, juga dapat membantu mengurangi limbah dan mendukung konsumsi yang lebih berkelanjutan.

Tak dimungkiri, berburu barang-barang second-hand menjadi salah satu alternatif kalangan muda dalam memenuhi gaya hidup mereka. Dengan budget minimal, mereka bisa mendapatkan outfit yang menarik hanya dengan barang-barang second-hand. Tak sedikit juga diantaranya mendapatkan barang bermerk dengan harga terjangkau. Perilaku konsumtif seperti ini memang lumrah terlihat dalam sistem sekuler kapitalistik. Karena standar kebahagiaan hidup masyarakat sekuler diletakkan pada terpenuhinya kebutuhan materi. Seperti pakaian, makanan, rumah atau kendaraan yang nampak mewah atau bermerk. Dari sinilah bisnis thrifting banyak diburu.

Tumpang Tindih Peraturan Impor

Tumpang tindih peraturan pemerintah Indonesia terkait pelarangan impor baju bekas memang menjadi suatu permasalahan yang kompleks. Di satu sisi, terdapat peraturan yang mengizinkan impor baju bekas secara legal, seperti Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 54 Tahun 2016. Namun, di sisi yang lain, terdapat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2020 yang melarang impor baju bekas.

Sebagian besar orang berpendapat bahwa pelarangan impor baju bekas adalah hal yang positif karena dapat mendukung industri tekstil dalam negeri dan memberikan peluang kerja bagi masyarakat. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa pelarangan ini dapat mempengaruhi harga dan kualitas produk fashion yang dihasilkan di Indonesia.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2020 sendiri merupakan revisi dari Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2019 yang juga melarang impor baju bekas. Namun, peraturan tersebut kemudian direvisi dengan memberikan pengecualian bagi beberapa pihak yang diizinkan melakukan impor baju bekas.

Pengecualian tersebut diberikan kepada organisasi sosial yang bergerak dalam bidang kemanusiaan, pemberdayaan masyarakat, dan lingkungan hidup, serta pengecualian bagi industri tekstil dan produk tekstil yang menggunakan bahan baku limbah tekstil bekas (used textile material/UTM) sebagai bahan baku alternatif.

Namun, masih banyak yang mengkritik peraturan ini karena dianggap tidak tegas dan masih memungkinkan terjadinya impor baju bekas secara ilegal. Selain itu, juga masih ada persoalan terkait pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran impor baju bekas.

Secara keseluruhan, tumpang tindih peraturan terkait pelarangan impor baju bekas memang menjadi isu yang kompleks dan membutuhkan penanganan yang tepat. Pemerintah perlu memastikan bahwa peraturan yang dibuat tidak hanya memberikan keuntungan bagi industri dalam negeri, namun juga memperhatikan dampak sosial dan lingkungan serta memberikan jaminan bagi para pelaku usaha yang memang membutuhkan impor bahan baku tertentu.

Sejauh ini, kegiatan thrifting yang dilakukan oleh masyarakat umum tidak secara langsung mempengaruhi kinerja atau keberlangsungan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia. Sebaliknya, kegiatan thrifting justru dapat membantu UMKM dengan meningkatkan permintaan untuk produk-produk second-hand atau vintage, yang mungkin juga diproduksi atau dijual oleh UMKM.

Namun, jika Presiden atau pemerintah mempertanyakan dampak kegiatan thrifting terhadap UMKM, mungkin perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam untuk menilai dampaknya secara objektif. Kemudian, langkah-langkah dapat diambil untuk memastikan bahwa kegiatan thrifting tidak mengganggu atau merugikan UMKM, misalnya dengan memperkuat promosi dan dukungan terhadap produk-produk lokal UMKM, atau dengan mengatur regulasi terkait impor barang-barang second-hand.

Kecuali jika pemerintah mendapatkan pesan khusus dari para pengusaha tekstile besar di mana mereka merasa terganggu oleh kegiatan thrifting tersebut. Jika memang ada unsur tekanan dari pemilik modal, maka hal ini membuktikan bahwa peran pemerintah hanya sebagai regulator semata. Dan kebijakan melarang impor baju bekas hanya untuk kepentingan oligarki.

Meskipun pemerintah Indonesia mengeluarkan regulasi dan standar kualitas yang ketat terkait dengan impor baju bekas. Namun kenyataannya masih banyak oknum yang bisa mendatangkan baju bekas tersebut ke dalam negeri, baik secara legal maupun illegal. Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Bahan Baku Tekstil dan Produk Tekstil serta Produk Tekstil Jadi membatasi impor baju bekas hanya untuk kepentingan sosial, seperti bantuan kemanusiaan atau kegiatan amal. 

Faktanya celah inilah yang digunakan importir untuk meraup keuntungan, baju atau barang layak pakai tersebut bukan untuk donasi tapi justru diperjualbelikan kembali. Hal ini ternyata memperoleh sambutan luar biasa dari segenap masyarakat kita. Dengan harga terjangkau mereka bisa bergaya kekinian.

Dari sisi ekonomi, bisnis thrifting memang menguntungkan, baik bagi importir maupun pengguna barang. Namun di sisi lain hal ini justru menunjukkan sisi kemiskinan bangsa ini. Rendahnya tingkat perekonomian masyarakat menjadikan mereka berburu barang-barang murah berkualitas untuk memenuhi kebutuhan primer mereka. 

Permasalahan thrifting memang layak dipikirkan oleh kepala negara, karena akar permasalahan ini ada pada kebijakan pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya. Permasalahn bukan pada thrifting nya, namun lebih kompleks dari sekedar impor barang bekas. 

Pemerintah harusnya pusing bagaimana agar perekonomian secara nasional mampu bangkit. Bagaimana mensejahterakan rakyat hingga memenuhi kebutuhan primer mereka. Serta kebijakan yang tegas terhadap impor limbah dari luar negeri. 

Lalu bagaimana pandangan Islam terkait ekspor impor dan thrifting?
Dalam konteks kegiatan thrifting, sebagian ulama memandangnya sebagai suatu kegiatan yang diperbolehkan selama barang yang dibeli atau dijual tersebut halal dan tidak melanggar hak-hak orang lain.

 Namun, terdapat juga pandangan yang menganggap kegiatan thrifting sebagai suatu bentuk penipuan atau pelanggaran terhadap hak cipta dan hak milik orang lain.

Maraknya thrifting berasal dari tuntutan gaya hidup hedonis ditengah masyarakat. Oleh karena itu pemahaman tentang pemenuhan kebutuhan hidup sesuai Islam perlu ditanamkan ke masyarakat. Selain itu himpitan ekonomi menjadikan pasar dalam negeri lesu, daya beli masyarakat menurun diakibatkan lemahnya ekonomi dan kemiskinan. Dalam Islam kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan merupakan kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi oleh negara. 

Dalam hal kegiatan ekspor impor, Islam membuka kerjasama hanya pada negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik. Islam tidak menjalin kerjasama dengan negara-negara yang memusuhi Islam. Pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam Islam diutamakan berasal dari dalam negeri sendiri, dengan memberdayakan segala sumber daya yang dimiliki. Barang-barang yang boleh diimpor juga tidak sembarangan, hanya barang-barang yang dibutuhkan dan tidak ada di dalam negara saja yang boleh diimpor. 

Kebijakan melarang impor baju bekas tidaklah sepenuhnya salah. Justru kebijakan pemerintah yang tumpang tindih menunjukkan ketidakseriusaan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan masyarakat. Persoalan thrifting disebabkan karena kemiskinan dan lemahnya perekonomian, selain itu gaya hidup hedonis dan brandedmind menjadikan bisnis thrifting menjamur. Kebijakan pemerintah seharusnya independen untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat bukan kepentingan oligarki.

Wallahu a'lam bishawwab 

Post a Comment

Previous Post Next Post