Sistem Kapitalisme Melahirkan Pejabat Bermental Materialistik



Oleh: Cia Ummu Shalihah
 (Aktivis Muslimah)


Gaya hidup mewah di lingkungan Ditjen Pajak menjadi menjadi sorotan publik. Hal ini setelah mencuatnya kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy Satrio.

Mario Dandy merupakan putra pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo yang seringkali memamerkan gaya hidup mewah di media sosial.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Andreas Budi Widyanta menilai gaya hidup mewah yang ditunjukkan salah satu pejabat Ditjen Pajak ibarat fenomena gunung es. "Ini seperti fenomena gunung es, yang kelihatan baru puncaknya saja. Sementara di bawah lautan jumlahnya banyak dan belum teridentifikasi. Inilah yang menyebabkan kenapa ketimpangan ekonomi bangsa menganga lebar," ujar Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Andreas Budi Widyanta dalam keterangan tertulis Humas UGM (kompas.com/27/02/2023).

Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto jadi sorotan publik usai viral tagar Bea Cukai Hedon di Twitter. Warganet menyebut Eko kerap flexing harta dan hidup hedon, termasuk kendaraan-kendaraan mewah miliknya.
Merujuk Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), kekayaan Eko mencapai Rp15,7 miliar, tapi dia masih memiliki utang sekitar Rp9 miliar, sehingga kekayaan bersihnya hanya sekitar Rp6,7 miliar.

Dalam beberapa unggahan, Eko terlihat menggunakan moge. Dia juga dikatakan netizen mengoleksi mobil antik dan barang-barang 'branded'. (CNNindonesia.com/28/02/2023).

Hedonis Dan Nirempati 

Dilihat dari satu sisi, yakni gaya hidup mewah atau hedon yang membuat para pejabat negara terlihat lebih bermudah-mudahan dalam menggunakan harta. Sejatinya tidak pantas hidup mewah di tengah kesusahan banyak orang. Apalagi dengan status pejabat, yaitu orang yang menjadi pemimpin dan pengatur urusan rakyat.

Disisi lain, Media sosial saat ini lekat dengan kehidupan semua orang bergadget dan akrab fungsi multitaskingnya. Era modern sungguh memanjakan orang dengan teknologi. 

Media saat ini sudah menjadi kebutuhan masyarakat karena dari situlah segala informasi bisa diketahui. Namun sangat di sayangkan, media yang seharusnya memberikan informasi mencerdaskan umat justru di manfaatkan oleh segelintir orang alias pemilik modal. Pemilik media yang punya modal punya kekuasaan untuk menyetir mana yang harus diliput dan luput dari medianya. Akibatnya banyak tayangan maupun isi siaran dimonopoli pemilik modal tersebut.

Media terhubung dengan pemilik modal. Bisnis media pun menjadi bisnis yang menggiurkan bagi para konglomerat. Tak dipungkiri para kapitalis merambah bisnis media ini sejak lama. Ada satu prinsip yang menjadi dasar mereka yaitu siapa yang menguasai media, dia akan menguasai dunia. 

Media massa menjadi alat manipulasi opini di tengah masyarakat. Bisa dibayangkan bagaimana opini dunia jika para konglomerat dunia ini memiliki agenda setting atas produk informasi mereka. Patut dicatat, para pemilik media ini tidak hanya sekadar berbisnis demi meraih keuntungan ekonomi. Mereka juga bagian dari kekuasaan global untuk menguasai dunia.

Media Dalam Islam 

Hal demikian tidak akan kita dapati dalam sistem Islam, seorang pejabat negara yang mereka berkutat pada kepemimpinan dan pengaturan urusan masyarakat adalah orang-orang yang fokus terhadap tugas negara hingga kebutuhan merekapun akan dijamin pemenuhannya secara baik oleh sistem keuangan negara khilafah. Sehingga mereka tidak akan dipusingkan dengan kegalauan akan kebutuhan hidup bagi keluarga.

Potret kehidupan mewah dan pamer harta, bahkan bersikap semena-mena, tidak akan terjadi dalam negara yang menerapkan syariat kafah. Ini karena Islam akan memberikan rambu-rambu tegas. 

Di antara rambu-rambut Islam adalah 1) larangan hidup bermewah-mewah, berperilaku boros, dan pamer harta; (2) larangan berbuat khianat; (3) penyuasanaan ibadah dan saling menasihati dalam kebaikan; (4) kewajiban amar makruf nahi mungkar, termasuk mengoreksi kebijakan penguasa; (5) pengawasan terhadap pejabat/aparatur negara melalui penghitungan kekayaan sebelum dan sesudah menjabat; dan (6) penegakan sistem sanksi Islam.

Maka, agar media bisa dijadikan sebagai kawan tak cukup menentukan langkah-langkah perbaikan di permukaan saja. Tapi harus diubah dari dasarnya dengan menjadikan ideologi Islam sebagai dasar dalam pengaturan media. Dan tentu saja dalam seluruh lini kehidupan. Karena mustahil media bisa berdiri sendiri tanpa didukung pemerintah dan masyarakat yang juga berideologi Islam.

Maka, agar media bisa dijadikan sebagai kawan tak cukup menentukan langkah-langkah perbaikan di permukaan saja. Tapi harus diubah dari dasarnya dengan menjadikan ideologi Islam sebagai dasar dalam pengaturan media. Dan tentu saja dalam seluruh lini kehidupan. Karena mustahil media bisa berdiri sendiri tanpa didukung pemerintah dan masyarakat yang juga berideologi Islam. 

Wallahu a'alam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post