Pengesahan UU Ciptaker, Bikin Rakyat Makin Geger


Oleh : Risnawati 
(Pegiat Opini Muslimah Sultra)

Perbincangan tentang pengesahan UU Ciptaker kembali menuai konflik dan protes oleh publik. Seperti dilansir dalam laman Jakarta, CNBC Indonesia - Dewan PerwakilanRakyat Republik Indonesia (DPR RI) menyetujui penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang meski terdapat 2 fraksi yang menolak yakni, fraksi Demokrat dan fraksi Partai Keadilan Sosial.
Wakil Ketua Fraksi Demokrat DPR RI, Hinca Panjaitan mengatakan Fraksi Demorkat menolak pengesahan UU Cipta Kerja terkait buruh, tata kelola, investasi dan perhutanan karena terdapat ambiguitas aturan yang termuat dalam RUU. Namun demikian Demokrat menghormati hasil putusan pengesahan UU Cipta Kerja ini. Seperti apa pandangan Fraksi Demokrat terhadap pengesahan UU Cipta Kerja? Selengkapnya simak dialog Bramudya Prabowo dengan Wakil Ketua Fraksi Demokrat DPR RI, Hinca Panjaitan dan Waketum Apindo Bidang Ketenagakerjaan, Anton J Supit dalam Profit,CNBCIndonesia (Jum'at, 24/03/2023)

Telusuri Akar Masalah

Salah satu pemicu utama problem ketenagakerjaan dan perburuhan adalah kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan upah para pekerja atau buruh, yaitu biaya hidup terendah. Akibatnya, para pekerja dan buruh tidak mendapatkan upah yang sesungguhnya. Mereka hanya mendapatkan upah sekadar untuk mempertahankan hidup. Jadi, masalah ketenagakerjaan dan perburuhan yang ada saat ini sebenarnya dipicu oleh dasar yang digunakan oleh sistem kapitalisme, yaitu kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan biaya hidup terendah yang dijadikan sebagai standar penentuan upah pekerja atau buruh.

Karena itu, masalah ketenagakerjaan dan perburuhan ini akan selalu ada, selama relasi antara Pemerintah dan rakyat dibangun berdasarkan sistem kapitalisme sekular ini. Meski, Pemerintah telah melakukan sejumlah kebijakan tambal-sulam untuk menyumbat kemarahan rakyat khususnya kaum pekerja atau buruh bahwa solusi yang diberikan hanyalah sekadar untuk mempertahankan sistem kapitalisme. Jika diklaim bahwa solusi ini telah berhasil memecahkan masalah ketenagakerjaan dan perburuhan, jelas itu hanya klaim tanpa fakta berdasar yang tak berujung selesai.

Selain itu, salah satu masalah yang langsung menyentuh terhadap para pekerja dan buruh adalah rendahnya atau tidak sesuainya pendapatan (upah) yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta tanggungannya. Faktor ini, yakni kebutuhan hidup semakin meningkat, sementara upah yang diterima relatif tetap, menjadi salah satu pendorong gerak protes rakyat dan kaum buruh.

Jika kita menelaah, dalam sistem ekonomi Kapitalis, rendahnya upah pekerja atau buruh justru menjadi penarik bagi para investor asing. Termasuk pemerintah, untuk kepentingan peningkatan pendapatan pemerintah (bukan rakyat), justru memelihara kondisi seperti ini. Kondisi ini menyebabkan pihak pemerintah lebih sering memihak kepada investor, dibanding dengan pekerja atau buruh (yang merupakan rakyatnya sendiri) ketika terjadi krisis perburuhan. Rendahnya upah juga berhubungan dengan rendahnya kualitas SDM. Persoalannya bagaimana, SDM bisa meningkat kalau biaya pendidikan mahal? Hal itu seharusnya menjadi tanggungjawab besar yang harus diselesaikan oleh Pemerintah.

Sayangnya sistem Kapitalusme sekular saat ini didesain tidak untuk peduli akan kesulitan rakyatnya. Perihal kesejahteraan dibebankan terhadap individu. Adapun Pemerintah hanya menetapkan upah minimum. Tak peduli nilai upah yang ditetapkan itu apakah cukup untuk kebutuhan hidupnya jika hanya bertumpu pada gaji saja. Sementara biaya kebutuhan hidup semakin hari semakin meningkat. Seperti itulah sistem Kapitalisme melahirkan penguasa yang abai terhadap urusan rakyatnya.

Walhasil, tentang pengesahan UU Ciptaker ini sesungguhnya ini semua merupakan bentuk tambal sulam sistem Kapitalis untuk mencukupi kebutuhan para pekerja dan buruh. Tapi upaya ini telah menghilangkan kewajiban negara untuk memberikan jaminan kepada rakyatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya karena kewajiban ini merupakan kewajiban negara. Bukan kewajiban perusahaan atau majikan.

Sehingga, Sistem kapitalisme yang menetapkan kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan penentuan upah pekerja dan buruh berdasarkan biaya hidup terendah adalah akar permasalahan ketenagakerjaan atau perburuhan. Disinilah negeri ini membutuhkan penerapan Islam secara kaffah, termasuk dalam mengelola tata ketenagakerjaan ini.

Islam, Solusi Menuntaskan

Islam hadir sebagai ideologi yang diridhai oleh Allah SWT telah memberikan pemecahan secara tuntas terhadap permasalahan tersebut. Maka, Islam mewajibkan negara menjalankan kebijakan makro dengan menjalankan apa yang disebut dengan Politik Ekonomi Islam. Politik ekonomi merupakan tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan berbagai kebijakan untuk mengatur dan menyelesai-kan berbagai permasalahan hidup manusia dalam bidang ekonomi.

Adapun politik ekonomi Islam adalah penerapan berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan yang mereka.

Pertama, Islam mengharamkan kebebasan kepemilikan (hurriyah milkiyyah). Namun, Islam justru mengajarkan konsep ibahah al-milkiyyah. 
Sebab, kepemilikan adalah bagian dari aktivitas manusia dan hukum asalnya mubah. Setiap Muslim bisa saja memiliki, tetapi caranya harus terikat dengan cara yang ditentukan oleh syariah; seperti berburu, menjadi bekerja dan sebab kepemilikan lain yang dibolehkan oleh syariah.
Setelah harta berhasil dimiliki, Islam pun menentapkan cara tertentu yang bisa digunakan untuk mengembangkan harta tersebut, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan sebagainya. 
Karena itu, dalam pandangan Islam, tidak ada kebebasan bagi seseorang untuk memiliki apa saja, dengan cara apapun. Sebaliknya, setiap orang harus terikat dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Islam untuknya. Jika apa yang hendak dia miliki diizinkan oleh Islam, dan diperoleh dengan cara yang juga dibenarkan oleh Islam, maka berarti itu menjadi izin baginya. Inilah konsep ibahah al-milkiyyah dalam Islam.

Kedua, Islam mengharamkan kebebasan bekerja (hurriyah al-‘amal) dan mensyariatkan konsep ibahah al-‘amal. Sebagaimana konsep kebebasan kepemilikan, konsep kebebasan bekerja (hurriyah al-‘amal) ini juga membebaskan manusia untuk bisa melakukan pekerjaan apapun, tanpa melihat apakah pekerjaan tersebut halal atau haram. 
Ini berbeda dengan konsep ibahah al-‘amal karena justru faktor halal dan haramlah yang menentukan boleh dan tidaknya pekerjaan tersebut dilakukan oleh seseorang. Bekerja adalah salah satu aktivitas manusia yang hukum asalnya boleh. Setiap muslim boleh bekerja, tetapi cara (pekerjaan) yang dia lakukan untuk menghasilkan harta jelas terikat dengan hukum syariah. Dengan demikian, dua faktor yang memicu terjadi masalah ketenagakerjaan dan perburuhan tersebut telah berhasil dipecahkan oleh Islam, dengan mengharamkan konsep kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja. Sebaliknya, Islam memberikan solusi yang tepat dan tuntas, melalui konsep ibahah al-milkiyyah dan ibahah al-‘amal.

Ketiga, solusi Islam dalam penentuan standar upah pekerja atau buruh. Standar yang digunakan oleh Islam adalah manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh, bukan biaya hidup terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi rakyat oleh para oligarki negeri ini. Rakyat termasuk buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat. Jika terjadi sengketa antara para pekerja dan majikan dalam menentukan upah, maka pakar atau ahli-lah yang menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.
Negara tidak perlu menetapkan UMR (upah minimum regional). Menurut Islam, penetapan upah seperti ini tidak diperbolehkan, dianalogikan pada larangan penetapan harga mengingat  baik harga maupun upah adalah sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. 

Disisi lain, dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia, Islam memperhatikan pemenuhan kebutuhan setiap anggota masyarakat dengan fokus perhatian bahwa manusia diperhatikan sebagai individu (pribadi), bukan sekadar sebagai suatu komunitas yang hidup dalam sebuah negara
Singkatnya,  agar setiap individu masyarakat dapat memenuhi seluruh kebutuhan pokok sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan mereka sehingga dapat memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier). Bukan sekadar meningkatkan taraf hidup secara kolektif yang diukur dari rata-rata kesejahteraan seluruh masyarakat atau yang dikenal dengan GNP. Sebab orang kaya dan orang kurang mampu dari segi ekonomi tentu berbeda tingkat kebutuhan dan pendapatannya.

Dengan demikian, aspek distribusi sangatlah penting sehingga dapat dijamin secara pasti bahwa setiap individu telah terpenuhi kebutuhan hidupnya.  Ketika mensyariatkan hukum-hukum yang berkenaan tentang ekonomi kepada manusia, Allah SWT telah mensyariatkan hukum-hukum tersebut untuk individu, masyarakat, dan negara. Adapun pada saat mengupayakan adanya jaminan kehidupan serta jaminan pencapaian kesejahteraan, Islam telah menetapkan bahwa semua jaminan harus direalisasikan dalam sebuah negara. Maka, sistem Islam memperhatikan hal-hal yang menjadi tuntutan individu dan masyarakat dalam merealisasikan jaminan kehidupan serta jaminan pencapaian kesejahteraan bagi rakyatnya. Sehingga, untuk mendapatkan kesejahteraan dalam sistem Kapitalisme sangatlah mustahil sebab Penguasa tidak didesain sebagai pengatur urusan rakyatnya. Jadi jelas, pergantian penguasa tak akan menyelesaikan masalah tanpa adanya perubahan sistem kehidupan, yakni dengan kembali menerapkan Khilafah 'ala minhaji an-Nubuwwah. Wallahu a'lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post