Maraknya Perselingkuhan, Lemahnya Institusi Keluarga


Oleh Susci
 (Komunitas Sahabat Hijrah Balut-Sulteng)

Publik kembali dibuat geger dengan kondisi Indonesia yang menempati posisi empat kasus perselingkuhan di dunia.

“Indonesia negara keempat di dunia dengan kasus perselingkuhan terbanyak. Berdasarkan survei yang dilakukan di Amerika Serikat. ”
(pikiran-rakyat.com, 17/02/2023)

Perselingkuhan menjadi perilaku yang kerap dilakukan oleh pasangan suami istri. Tak sedikit perceraian diawali dengan perselingkuhan.

Sungguh mengiris hati, negara yang mayoritas beragama Islam justru menduduki lima besar perselingkuhan di dunia. Ketakutan dan rasa malu telah hilang dan perilaku kian bebas menyelimuti ranah kehidupan, khususnya di dalam institusi keluarga. 

Keluarga merupakan pilar penting dalam menciptakan keharmonisan, ketenangan dan kenyamanan. Semua orang tentu menginginkan hal tersebut. Faktanya, harapan ketenangan justru menjadi kesedihan yang terencana. Sebab, perselingkuhan bukanlah perilaku alami yang terlepas dari pemicu. Dorongan berkeinginan menjadi hal yang pasti terjadi.

Sehingga, menjadi keharusan untuk dapat mengetahui berbagai macam pemicu dari perselingkuhan. Kehancuran dalam keluarga akan memberikan dampak buruk terhadap kelanggengan hubungan antara suami dan istri. Siklus awal dari perselingkuhan akan membuka awal perceraian. 

Mirisnya, perceraian dapat memberikan kesenjangan bagi kehidupan anak. Pola asuh yang sempurna begitu dibutuhkan oleh anak. Namun, dengan kehancuran keluarga, anak telah mengalami kemunduran asuh. Pengontrolan kebutuhan baik secara fisik maupun psikis mengalami hambatan. Anak kehilangan kasih sayang yang utuh dalam naungan keluarga yang satu.

Sehingga, kehidupan anak menjadi bebas, pelampiasan emosional dari hancurnya keluarga menjadi hal yang terus dilakukan. Kenakalan kian menguat dan meluas di tengah-tengah kalangan anak.

Maraknya perselingkuhan tak bisa dipisahkan dari peraturan hidup mendasar yakni penerapan sekularisme, sistem yang memisahkan antara agama dari kehidupan. Penerapan sistem ini menciptakan modelisasi kehidupan keluarga yang jauh dari akidah dan tsaqofah Islam.

Jauhnya keluarga dengan akidah dan tsaqofah Islam, akan menjadikan bangunan keluarga mudah retak dan hancur. Ketakutan dalam berbuat telah hilang, perbuatan tidak lagi distandarkan kepada halal dan haram. Kepuasan dan kesenangan menjadi pilihan utama dalam menjalani kehidupan. Kelemahan akidah dari masing-masing pasangan menjadi alasan paling kuat mudahnya kasus perselingkuhan. Pengontrolan ketaatan individu tak ada lagi, tundukan terhadap hawa nafsu menjadi hal yang biasa.

Visi dan misi pernikahan juga tidak didasarkan pada agama. Pernikahan hanya dijadikan sebagai tempat penyaluran hawa nafsu dan bersenang-senang. Jika hal tersebut sudah tidak didapati di dalam rumah, maka penyalurannya dilakukan di luar rumah.

Penyebaran media juga menjadi pemicu terjadinya perselingkuhan. Tontonan-tontonan negatif yang bernuansa mendidik, akan menimbulkan ketertarikan untuk mempraktikkannya. Apalagi peluang-peluang perselingkuhan menyebar di mana-mana seperti, patner selingkuh, media selingkuh dan lain sebagainya.

Sehingga, dibutuhkan peran negara dalam mendidik masyarakat dari segi akidah dan tsaqofah. Akidah dan staqofah yang rusak akan mempengaruhi bangunan keluarga. Namun, dengan penerapan sekularisme negara mengabaikan kewajibannya dalam membentuk, menjaga, dan mensuasanakan akidah secara benar. Keluarga dibiarkan hidup berdasarkan peraturan mereka, tanpa melibatkan agama. Hak kebebasan bagi setiap individu menjadi edukasi besar-besaran sebagai negara demokratis.

Selain itu, hukum yang diberlakukan bagi kasus perselingkuhan tidak bersifat jerah, buktinya perselingkuhan menjadi perilaku yang menggurita, dan menduduki rekor berpengaruh di dunia.

Inilah gambaran penerapan sekularisme dan bukti abainya negara dalam memperhatikan perkembangan kehidupan masyarakat di berbagai lini, khusus perselingkuhan di dalam keluarga. Negara seharusnya bergerak cepat dalam memberantas kasus perselingkuhan dari akar-akarnya.

Islam Menjaga Keutuhan Pernikahan

Dalam Islam, pernikahan merupakan ikatan sakral yang mulia, menyempurnakan separuh agama adalah identitas pernikahan yang paling tinggi. Akidah menjadi pondasinya dan ibadah sebagai perjalanannya.

Islam memandang, pernikahan bukanlah ajang main-main ataupun coba-coba. Pernikahan pula bukan hanya sebagai tempat memuaskan hawa nafsu dan emosional. Pernikahan adalah langkah awal menyiapkan generasi yang bermanfaat bagi agama, mendidik dan mengayomi sesuai dengan syariat Islam, menumbuhkan dan meingkatkan ketaatan kepada Allah Swt. Saling menuntun satu sama lain dijalan yang benar. Inilah hakikat pernikahan yang benar.

Dengan ini, Islam memiliki metode dalam membangun keluarga yang harmonis melalui pernikahan, di antaranya:

Pertama, Islam akan mensuasanakan ketaatan kepada masing-masing individu, membentuk pola pikir dan pola sikap yang Islam, memperkenalkan halal dan haram, serta menanamkan tsaqofah yang benar. Sehingga, setiap individu akan menghindari perilaku yang mampu merusak diri dan ketaatan.

Kedua, membuat visi misi pernikahan yang jelas arah. Tentunya yang sesuai dengan syariat Islam. Pernikahan haruslah di bawah kepada upaya membangun keluarga yang berkiblat pada ketaatan syariat, mengedepankan ibadah, dan akhlak. Bukan keluarga yang hanya fokus mengejar materi, memuaskan hawa nafsu, ataupun hanya sekadar bersenang-senang.

Ketiga, negara dalam Islam berkewajiban memastikan beredarnya media-media sosial secara positif. Media negatif cepat dan tegas di blokir negara. Tidak ada konten-konten yang berpotensi mendidik masyarakat menuju perilaku yang ubmoral, seperti perselingkuhan.  Media yang disebarkan oleh Islam adalah pengajaran akidah, akhlak, ibadah, serta pengajaran ilmu sains dan teknologi. 

Selain itu, Islam memiliki hukum yang berefek jera bagi pelaku. Pelaku akan dikenakan hukum sanksi jika ditemukan melakukan praktik perselingkuhan secara sengaja. Hukuman yang diberikan akan disesuaikan dengan motif perilaku. Jika perselingkuhan yang dilakukan oleh pelaku yang sudah menikah maka, mereka akan di hukum rajam hingga mati. Bagi yang belum menikah, maka maka akan dikenakan cambuk sebanyak 100 kali dan di diasingkan dari kota tempat mereka tinggal. Sehingga, hal tersebut memunculkan ketakutan dan keengganan untuk melakukan perselingkuhan.

Alhasil, hanya Islamlah yang mampu mempertahankan pernikahan dan mengarahkan keluarga pada jalan keharmonisan. Jalan yang sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi umat untuk menjadi Islam sebagi satu-satunya aturan dan hukum di dunia maupun di akhirat.

Wallahualam bissawab

Post a Comment

Previous Post Next Post