Astagfirullah, Indonesia Peringkat ke Dua Kasus Perselingkuhan!


Oleh: Yanti, S. Pd
(Guru dan Penulis Asal Konawe)

Manusia sebagai makhluk sosial, sehingga dalam kehidupannya tak lepas dengan adanya interaksi. Dalam berinteraksi akan melibatkan orang lain entah itu sesama jenis atau bahkan lawan jenis sekalipun. Sehingga interaksi ini bahkan bisa mengarah ke hubungan yang bersifat privasi, misalnya terjadinya perselingkuhan. Fenomena inilah yang terjadi di negeri kita Indonesia. Di mana Indonesia menjadi negara ke dua di Asia setelah Thailand dengan kasus perselingkuhan terbanyak. 

Sebagaimana dilansir dari Tribunnews.com (18/02/2023), Indonesia menjadi negara kedua di Asia yang terbanyak terjadi kasus perselingkuhan berdasarkan hasil survei aplikasi Just Dating. Sementara Thailand menduduki peringkat pertama negara di Asia yang banyak kasus perselingkuhan. Sebanyak 50 persen responden mengaku pernah berselingkuh dari pasangannya masing-masing. Untuk Indonesia hasil survei menunjukkan sebanyak 40 persen mengaku pernah menyelingkuhi pasangannya. Disusul kemudian ada Taiwan dan Singapura dengan hasil 30 persen pasangan mengaku berselingkuh.

Kasus perselingkuhan memang menjadi topik yang sensitif dalam setiap hubungan asmara, termasuk pernikahan. Perselingkuhan bisa meninggalkan trauma bagi korban karena merasa dikhianati oleh pasangannya. 

Menilik Akar Masalah
Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang berpenduduk mayoritas muslim terbanyak di dunia. Namun justru menjadi negara kedua dengan kasus perselingkuhan terbanyak setelah Thailand. Mengapa demikian? 

Hal tersebut tidak lain disebabkan adanya penerapan sistem sekuler kapitalisme (menjadikan manfaat sebagai asas dan kebebasan berperilaku di atas segalanya) adalah biang keladi munculnya berbagai macam pemikiran dan tingkah laku yang tidak terpuji. Orang bebas berbuat sekehendak hati selama tidak mengganggu yang lainnya demi memuaskan nafsu semata. Nilai kebebasan yang dianut sistem ini jelas menjadi racun mematikan bagi akal dan naluri manusia.  

Selain itu, maraknya perselingkuhan  menunjukkan rapuhnya ikatan pernikahan dan bangunan keluarga.  Betul ada banyak penyebab, namun tak bisa dipungkiri faktor ketertarikan secara fisik dan mencari kesenangan adalah hal yang dominan. Kondisi ini adalah hal yang wajar dalam sistem sekuler kapitalis di mana manfaat  dan kesenangan jasmani menjadi tujuan. Terlebih dengan rendahnya keimanan, sehingga selingkuh pun dianggap sebagai salah satu solusi persoalan. Juga maraknya  berbagai hal yang justru mengkondisikan selingkuh sebagai pilihan. Seperti Bebasnya sistem sosial/tata pergaulan, rusaknya sistem pendidikan, bebasnya media dan lain-lain.

Kondisi ini diperparah dengan lemahnya pemahaman umat terhadap ajaran Islam kafah, Islam telanjur dipahami sebatas ritual sehingga tidak mampu berpengaruh dalam perilaku keseharian, baik dalam konteks individu, keluarga, maupun interaksi masyarakat dan kenegaraan.

Dengan minimnya pemahaman Islam, tidak sedikit individu muslim yang mengalami disorientasi hidup, mudah menyerah pada keadaan, bahkan terjerumus dalam kemaksiatan. Ketika Islam tidak menjadi standar berperilaku, hawa nafsu pun menjadi penentu. Akibatnya, orang berlomba memenuhi kebutuhan naluri dan jasmani sesuka hatinya.

Wajar jika akhirnya berperilaku di luar batas kewajaran dalam berinteraksi, baik dengan keluarga ataupun bukan. Pun gharizah nau’ (naluri melestarikan keturunan)—yang darinya lahir sikap sayang orang tua kepada anak dan keturunannya, juga rasa sayang anak kepada orang tuanya dan rasa sayang terhadap pasangan—seolah pupus begitu saja. Sebaliknya, seorang suami atau istri tega mengkhianati pasangannya dengan seseorang tanpa ikatan pernikahan. Na’udzubillahi min dzalik! 

Sedemikian dahsyatnya sistem sekuler kapitalisme merusak manusia. Bahkan, naluri sekalipun, potensi hidup yang telah Allah berikan pada manusia, sejak lahir dirusak hingga berkeping-keping. Manusia sebagai makhluk paling mulia yang Allah ciptakan pun bisa berperilaku layaknya hewan. 

Tampak nyata bahwa aturan buatan manusia yang lahir dari sistem sekuler kapitalisme tidak mampu membentengi manusia dari kerusakan, apalagi menjadi solusi dalam kehidupan. Masihkah kita berharap pada sistem rusak ini? Saatnya umat Islam kembali kepada aturan Islam, yaitu aturan yang datang dari Al-Khalik Al-Mudabbir.

Islam Mengatur Interaksi
Berbeda halnya dengan sistem sekuler kapitalisme, Islam sebagai din yang sempurna memiliki aturan yang sangat terperinci dan paripurna, mencakup seluruh aspek kehidupan. Sistem Islam lahir dari Yang Maha Mengetahui makhluk ciptaan-Nya, sehingga seluruh persoalan apa pun dapat terselesaikan dengan memuaskan tanpa ada yang dirugikan.

Islam menetapkan beberapa kriteria syar’i pergaulan antara laki-laki dan perempuan untuk menjaga kehormatan, melindungi harga diri dan kesuciannya. Kriteria syar’i itu juga berfungsi untuk mencegah perzinahan dan sebagai tindakan preventif terjadinya kerusakan massal. Dalam hal ini, islam membolehkan laki-laki dan perempuan berintekraksi dalam hal pendidikan, kesehatan dan jual beli. 

Pun Islam mengharamkan ikhtilath (bercampurnya laki-laki dan perempuan dalam satu tempat tanpa sesuau yang dibenarkan oleh syara) dan khalwat (berduaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram), memerintahkan adanya sutrah (pembatas) yang syar’i dan menundukkan/menjaga pandangan, meminimalisasi pembicaraan dengan lawan jenis sesuai dengan kebutuhan, tidak memerdukukan dan menghaluskan perkataan ketika bercakap dengan mereka, dan keriteria lainnya. Perkara-perkara ini, menjadi kaidah yang penting untuk kebaikan semuanya. Tidak seperti ocehan para penyeru kebebasan.

Aturan Islam juga sesuai fitrah dan memuaskan akal manusia yang pada akhirnya akan menenteramkan jiwa. Dengan menerapkan aturan-Nya, manusia akan mendapatkan kebahagiaan dan terhindar dari malapetaka.

Halal dan haram pun jelas, tidak lekang oleh waktu dan tidak tergantung pada pendapat penduduk bumi. Islam telah memberikan aturan terperinci terkait sistem sosial di masyarakat, termasuk interaksi dalam keluarga. Bahkan, sistem Islam akan menjatuhkan sanksi berat bagi seseorang yang melakukan perzinahan. Jika dia telah menikah maka sanksinya adalah rajam dan jika pelakunya belum menikah, maka ia akan di-jilid dan diasingkan. Hal ini akan menjadi efek jera bagi pelaku dan orang lain lain yang memiliki keinginan serupa. Penerapan aturan ini akan menghasilkan kehidupan keluarga yang tenteram.

Karenanya, Islam menjadikan pernikahan sebagai ibadah, bahkan perjanjian kuat di hadapan Allah Swt (ijab kabul).  Karena itu pernikahan bukan hanya untuk meraih kesenangan semata, namun ada tujuan  mulia lainnya yang  harus dijaga agar kehidupan masyarakat tetap dalam kemuliaan dan kesucian, yakni menjauhi sesuatu hal yang telah diharamkan oleh Allah Swt, yaitu berzina. Sebagaimana dalam surah Al-Isra’ ayat 32 yang artinya, "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk." 

Dari itu, islam tidak hanya menjadikan keberlangsungan  pernikahan  wajib dijaga oleh pasangan suami istri saja, namun juga oleh masyarakat, bahkan islam mewajibkan  negara  untuk  ikut menjaga  kuatnya ikatan  pernikahan dengan berbagai  hukum atau  aturan yang diterapkan dalam berbagaai aspek terkait, sistem sosial, sistem pendidikan, sistem ekonomi, bahkan juga sistem kesehataan dan lainnya. 

Oleh karena itu, bukan sesuatu yang mudah menghilangkan kasus perselingkuhan jika masih banyak ruang yang mengarahkan pada perbuatan tersebut. Karenanya sudah semestinya kita kembali pada aturan yang bersumber dari Sang Pencipta, karena sungguh Allah yang menciptakan hambanya, maka Dia pula yang mengetahui mana yang terbaik untuk hambanya. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post