Ironi, Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia Hanya Seremoni


Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Bela Islam, Akademi Menulis Kreatif

Ironi, di Indonesia
Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Harkodia) 2022, yang diperingati setiap tanggal 9 Desember hanya sekadar seremonial saja. Pasalnya, kasus korupsi di negeri ini telah menggurita masuk di semua lini pemerintahan baik eksekutif, legislatif, yudikatif, termasuk di kalangan swasta. Menjadi catatan penting bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), alih-alih memberantas yang ada justru korupsi makin mengganas.

Indonesia Corruption Watch (ICW), menyoroti tingginya angka korupsi politisi. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengungkap berdasarkan data penindakan KPK, selama 18 tahun terakhir sepertiga pelaku korupsi berasal dari kalangan politisi, baik legislatif (DPRD maupun DPR RI) dan kepala daerah dengan jumlah 496 orang. Dikutip dari keterangan tertulisnya di laman resmi ICW, 11 Desember 2022.

Ditangkapnya kembali kepala daerah oleh KPK menambah deretan panjang daftar kasus korupsi jual beli lelang jabatan. Dimana pada tanggal 7 Desember 2022, KPK menahan Bupati Bangkalan R. Abdul Latif Amin Imron, beserta lima pemberi suap terkait lelang jabatan, yakni
Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Aparatur Bangkalan (AEL), Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (WY), Kepala Dinas Ketahanan Pangan (AM), Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (HJ), serta Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (SH). 

Ketua KPK, Firli Bahuri mengungkapkan bahwa Latif tidak hanya bermain di isu mutasi dan rotasi jabatan, tetapi juga mematok fee 10 persen dari setiap anggaran proyek. Sedangkan uang yang diterimanya digunakan untuk keperluan pribadi, di antaranya untuk survei elektabilitas terkait Pemilu 2024.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa birokrasi di Indonesia masih transaksional. Sungguh miris, jika pemerintahan hanya diisi oleh orang-orang yang tidak kompeten. Padahal, tugas dan kewajibannya sungguh amat mulia, yaitu mengatur urusan rakyat. Namun, yang terjadi sebaliknya justru merugikan negara dan menyengsarakan rakyat. 

Demokrasi Sekuler Biang Keladinya

Bukan rahasia lagi bahwa dalam sistem demokrasi sekuler, uang adalah sebagai panglima untuk meraih pemenangan ketika pemilu dan untuk mendapatkan kursi jabatan. Melalui budaya suap sebagaimana yang dipertontonkan selama ini. Tingginya biaya politik hingga miliaran bahkan triliunan inilah yang mendorong terjadinya celah dan dil-dil korupsi. Orientasi pemikirannya adalah bagaimana mendapatkan kembali uang yang sudah dikeluarkan demi jabatan tersebut.

Semua ini tidak lepas dari sekularisme yang dijadikan asas negara, yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Dimana agama tidak boleh ikut campur dalam urusan publik, baik urusan bermasyarakat maupun bernegara. Walhasil, sistem ini menjauhkan umat dari agamanya. Wajar, jika melahirkan pemimpin materialistik yang tamak, rakus, dan tidak amanah. Sebab, orientasinya hanya pada dunia saja. Demi mendapatkan jabatan dan meraup materi maka semua cara dihalalkan. Hal ini terjadi karena tolak ukur perbuatannya bukan haram dan halal.

Menyoroti narasi antikorupsi yang dibalut dalam momen Hakordia 2022, dengan tema "Indonesia Pulih Bersatu Melawan Korupsi," hanyalah sebuah jargon, omong kosong. Sejatinya sebagai make up untuk menarik simpati masyarakat guna meraup suara elektabilitas agar menang dalam pemilu yang akan datang.

Nyatanya mereka bersatu dalam pengesahan RKUHP baru-baru ini. Bahkan ini menjadi kado manis pengurangan hukuman bagi koruptor di tengah maraknya korupsi di kalangan politisi. Hal ini menandakan bahwa korupsi tidak lagi dipandang sebagai kejahatan yang serius.
Padahal, kerugian negara menurut pantauan ICW dalam semester I saja di tahun 2022, tercatat 252 kasus korupsi dengan 612 tersangka dengan kerugian sebesar Rp33,665 triliun. Jumlah yang  fantastis, belum lagi kerugian korupsi sebelum-sebelumya.

Apalagi kepercayaan publik terhadap KPK makin lemah, hanya berada di angka 57 persen di posisi terendah dalam lima tahun terakhir. Hal tersebut bukan tanpa alasan, rendahnya kepercayaan publik terhadap KPK antara lain:

1. Banyaknya pelanggaran etik yang dilakukan oleh personil KPK, diduga terlibat dalam lingkaran suap penanganan perkara, pencurian barang bukti, dan pelanggaran lainnya. Ibaratnya KPK adalah sapu yang kotor mana mungkin bisa digunakan untuk membersihkan?

2. Kinerja KPK yang minim dalam menangani kasus strategis. Fakta menunjukkan masih banyak kasus megakorupsi hingga kini terbengkalai. Contohnya, tiga kasus korupsi terbesar RI yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari lima tahun terakhir, yakni kasus Surya Darmadi, Asabri, Jiwasraya, total kerugian negara Rp118 triliun. Nyaris menyaingi karupsi BLBI senilai Rp138 triliun yang terjadi kala krisis moneter 1998 dan hingga kini belum tertangani. (CNBC Indonesia, 17/8/2022)

3. Tidak ada keseriusan dari pemerintah dan DPR. Adanya revisi UU 30/2002 menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019, justru makin mengerdilkan wewenang KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi. Padahal, korupsi berdampak menggoyahkan ekonomi negara, penyebab kegagalan pembangunan infrastruktur, keuangan negara devisit, dan menyebabkan utang negara membengkak. Lebih dari itu, menyengsarakan rakyat dan meningkatkan konflik karena kecemburuan sosial.

Itulah produk hukum buatan manusia yang bersumber pada akal manusia dan asas manfaat. Pemerintah dan KPK dinilai gagal dalam pemberantasan korupsi. Justru korupsi makin tumbuh subur dalam sistem demokrasi sekuler. Akibatnya, korupsi tidak lagi bersifat individu melainkan sistemik yang dilakukan secara berjamaah. Jadi, pemberantasan korupsi dalam sistem demokrasi hanyalah ilusi, ibarat menegakkan benang basah, hal yang tidak mungkin terjadi.

Islam Solusi Tuntas 

Islam memandang korupsi sebagai perbuatan keji (fasad), yakni perbuatan yang merusak tatanan kehidupan. Pelakunya dikategorikan melakukan jinayaat al-kubra (dosa besar). Korupsi dalam Islam adalah perbuatan melanggar syariat.
Oleh sebab itu, negara akan hadir untuk melaksanakan tanggung jawab yang ditetapkan oleh syariat Islam, di antaranya:

Negara akan menerapkan syariat  Islam secara menyeluruh (QS. Al-Baqarah [2]: 208). Semua aturan berasal dari Allah Swt. dengan akidah Islam sebagai asasnya. Hal ini akan mendorong semua individu merasa diawasi Allah dan menyadari di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Dengan demikian dapat mencegah korupsi dan bentuk kemaksiatan lainnya.

Negara Islam melarang adanya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Oleh karenanya, dalam rekrutmen aparat negara harus berdasarkan profesionalitas. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. "Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya." (HR. Bukhari)

Syariat Islam melarang aparatur negara menerima suap dan hadiah, sebagaimana sabda Rasulullah saw. "Hadiah yang diberikan kepada penguasa adalah haram dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran." (HR. Ahmad)

Oleh karena itu, negara Islam wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak dan memadai kepada aparatur negara. Rasulullah bersabda, "Siapa saja yang bekerja untuk kami, jika tidak punya rumah hendaknya mengambil rumah. Jika tidak punya istri, hendaknya menikah. Kalau tidak punya pembantu dan kendaraan, hendaklah mengambil pembantu dan kendaraan." (HR. Ahmad)

Sementara, untuk mengetahui dan mencegah tindak korupsi, negara Islam senantiasa memerintahkan adanya perhitungan kekayaan aparat sebelum dan sesudah menjabat. Selain itu senantiasa ada pembinaan dan kontrol pengawasan baik oleh negara maupun masyarakat.

Jika terjadi pelanggaran, negara menjatuhkan sanksi hukum bagi koruptor dengan tegas sesuai syariat Islam. Hukuman koruptor masuk kategori ta'zir, yaitu hukuman dimana jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Adapun berat ringannya hukuman tergantung dari kejahatannya. Hukuman yang paling ringan adalah teguran atau dengan menasihati, penyitaan harta hasil korupsi, hingga hukuman tegas berupa hukuman mati.

Sistem sanksi hukum pidana Islam memberikan kemaslahatan di dunia dan di akhirat. Sebab, bersifat sebagai pencegah (zawajir), karena hukumnya yang tegas dapat memberikan efek jera baik bagi pelakunya maupun orang lain takut untuk melakukan tindakan maksiat yang serupa. Selain itu sebagai penebus dosa (jawabir), artinya di akhirat tidak dihisab. Inilah keagungan dan keadilan hukum Islam yang tidak dimiliki oleh ideologi selain Islam.

Dengan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh di semua lini kehidupan, maka semua permasalahan manusia dapat diselesaikan dengan tuntas, termasuk korupsi dan kemaksiatan yang lainnya.

Wallahualam bissawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post