Mewujudkan Kemandirian Pangan Berbasis Tata Kelola Islami


Oleh: Maya Hafidzah

Deg ! Begitu kiranya perasaan petani ketika mendengar bahwa Mendag sudah beri ijin Bulog untuk mengimpor 500 ribu ton beras (cnbc, 5 des 2022). Kebijakan impor di tengah musim panen yang akan tiba membuat risau akan harga jual gabah beberapa waktu ke depan. Pendapatan yang selama ini mereka gadang-gadang untuk pengeluaran ini itu agaknya membuat mereka lebih baik mengurungkan niatnya. Betapa tidak, selama 3 bulan lebih mereka mencurahkan tenaga dan memutar otak bagaimana agar hasil budidaya mereka bisa maksimal. Bahkan kebanyakan biadang pertanian merupakan ladang penghasilan mereka satu-satunya.

Dalam https://narasi.tv/read/narasi-daily/mentan-sebut-impor-beras-saat-stok-aman-bukan-persoalan?ref=indeks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan ia tidak mempermasalahkan soal kebijakan impor beras namun bagaimana mengatasi masalah harga beras. Hal ini menanggapi kebijakan sebelumnya dimana Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan sudah mengeluarkan izin impor beras sebanyak 500 ribu ton kepada Perum Bulog untuk memenuhi cadangan beras pemerintah (CBP) yang sudah menipis jelang akhir 2022. 

Perum Bulog terancam hanya memiliki stok akhir sekitar 200 ribu ton beras hingga akhir 2022. Per 22 November 2022, stok beras yang ada di Bulog tercatat sebanyak 594.856 ton yang terdiri atas 168.283 ton (28,29 persen) beras komersial dan 426.573 (71.71 persen) stok cadangan beras pemerintah (CBP). Padahal Kementerian Pertanian menyebut data stok beras di penggilingan mencapai 610.632 ton yang tersebar di 24 provinsi dengan rentang harga Rp 9.359 hingga Rp11.700 per kilogram. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa  menyebut soal CBP adalah soal kebijakan, bukan masalah ada atau tiadanya beras. Presiden Jokowi sudah memerintahkan agar ada faktualisasi data dan bukan hanya melihat data di atas kertas. 

Namun demikian Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menolak rencana impor beras karena tak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2022 tentang Pangan. Pernyataan ini menanggapi kabar impor beras sebesar 500 ribu ton oleh Perusahaan Umum Bulog.

Henry mengatakan sesuai undang-undang, impor beras tidak diizinkan bila produksi dalam negeri masih cukup. Kecukupan stok itu sebelumnya sudah disampaikan Kementerian Pertanian.

Agaknya kebijakan impor beras ini berseberangan dengan pidato Presiden 
Pada 14 Agustus 2022 Indonesia menerima penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) karena dinilai memiliki ketahanan pangan yang baik dan berhasil swasembada beras pada periode 2019-2021.

Berdasarkan ketetapan Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 1999, suatu negara dikatakan swasembada jika produksinya mencapai 90% dari kebutuhan nasional.

"Untuk beras konsumsi, kita sudah tidak lagi impor dalam tiga tahun terakhir. Pembangunan bendungan damendukung peningkatan produktivitas nasional," ujar Presiden Jokowi dalam pidato HUT ke-77 RI di Jakarta, Selasa (16/8/2022).

Meski sudah tidak mengimpor beras untuk konsumsi, Indonesia masih mengimpor beras untuk keperluan industri. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor 407.741 ton beras pada 2021. Nilai ini naik dari 356.286 ton pada 2020.

Lebih lanjut menurut Hariadi Propantoko dalam https://kedaulatanpangan.org/ketagihan-impor-beras-wujud-tata-kelola-sistem-pangan-yang-liberal/ tentang mengapa impor selalu dialkukan meskipun selalu ada penolakan, hal ini tidak lepas dari dimensi politik dalam kelindan importasi beras, dimana di dalamnya terkandung interest dan kekuasaan.
Ada dualisme fungsi BULOG sebagai BUMN yang harus mendapatkan keuntungan dan sebagai stabilisator harga pangan di dalam negeri. Kekinian Bulog cenderung memerankan fungsi yang pertama. 
Faktor politik luar negeri. Faktor ini dipengaruhi oleh pemilikiran liberalisasi perdagangan yang menghendaki perdagangan luar negeri harus dilakukan agar suatu negara terus berkembang. 
Adanya praktik kartel yang dimainkan oleh beberapa gelintir aktor. Kartel beras tumbuh salah satunya disebabkan oleh adanya struktur kebijakan ekspor-impor. Munculnya Peraturan Menteri Perdagangan (permendag) no 1 tahun 2018 tentang ketentuan ekspor-impor beras mendorong munculnya kartel.
Praktik impor beras yang difasilitasi oleh permendag no 1 tahun 2018 sering kali bias kepentingan. Perusahaan swasta yang mendapatkan ijin impor diindikasikan memiliki relasi dengan pemerintah yang berkuasa. Keterlibatan swasta ini diindikasikan dengan rent seeking. Hal ini ditunjukkan dengan pemberian ijin impor bukan kepada Bulog, namun kepada importir swasta, padahal yang mendapatkan mandat dari negara untuk penyelenggaraan beras adalah Bulog. Ini tentu melanggar ketentuan regulasi pemerintah. Kemudian, impor dilakukan disaat panen raya terjadi yang seharusnya stok beras nasional dicukupi dari panen di dalam negeri.
Lebih lanjut disampaikan bahwa di dalam kebijakan impor beras cenderung bersifat bipolar dimana ada yang pro dan kontra. Sekaligus dapat dilihat aktor-aktor mana yang pro terhadap impor beras, meskipun harus mengabaikan kepentingan kesejahteraan petani di dalam negeri. Pihak yang pro adalah Kementerian Perdaganan. Aktor ini (khususnya pada era 2018) mampu menggunakan powernya untuk mengesahkan interest-nya dalam konteks impor beras. Hal ini ditunjukkan dengan diterbitkannya Permendag no 1 tahun 2018. Sedangkan pihak yang kontra adalah kelompok masyarakat sipil utamanya petani Organisasi, Koalisi suara rakyat dan Perguruan Tinggi. Pada akhirnya impor beras adalah antara pemenuhan pangan yang liberal dan kontestasi aktor dalam kelindan akses rente tiap bulir berasnya, sedangkan cita-cita mensejahterakan masyarakat, khususnya adalah petani sudah sangat jauh dari hati nurani para pembuat kebijakan.

The Real Ketahanan Pangan
Dalam Ketahanan Pangan terdapat beberapa aspek yg terkandung di dalamnya. Kecukupan, kesejahteraan, kesehatan serta keamaman bagi semua serta pengendalian harga. Bagaimana tidak, ketika kebutuhan pangan Negara (masyarakat) terpenuhi dg harga terjangkau dan mutu terjamin, maka kesehatan dan  keamanan juga akan terwujud. Hal ini sesuai dengan definisi Ketahanan Pangan menurut Definisi UU No 18 tahun 2012 secara substantif sejalan dengan definisi ketahanan pangan dari FAO yang menyatakan bahwa ketahanan pangan sebagai suatu kondisi dimana setiap orang sepanjang waktu, baik fisik maupun ekonomi, memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari sesuai preferensinya. 

Namun mengapa hal tersebut seolah sulit bahkan mustahil diwujudkan ?
Solusi Islam mewujudkan ketahan pangan 
Pertama : Negara harus memiliki mindset sebagai pelayan umat/mayarakat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kebijakannya di dunia dan akhirat. Negara tidak hanya sebagai regulator. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (HR Muslim dan Ahmad). Dalam hadis lainnya Rasulullah menegaskan, “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang dibelakangnya dan berlindung kepadanya….”(HR Muslim). 

Pengelolaan segala potensi yang ada di Negara dan masyarakat harus dilakukan secara langsung oleh Negara sebagai pihak yang memiliki kewenangan sesuai dengan pengaturan kemaslahatan masyarakat secara umum. Penegelolaan berbasis syariat Islam sajalah yang akan menjamin hal itu tercapai sekaligus mendapatkan keridhoan Allah SWT yang mendatangkan keberkahan hidup di dunia dan akhirat karena aturan tersebut bersumber dari Dzat yang Maha Segalanya.

Kedua : kebijakan berbasis keahlian dan profesionalisme. Politik pertanian menurut pandangan Islam sangat terkait erat dengan politik ekonomi Islam. Politik ekonomi Islam adalah adanya jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap indidvidu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kadar kesanggupannya, sebagai indidvidu yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) tertentu. Sedangkan politik pertanian Islam adalah hukum-hukum dan langkah-langkah yang ditempuh untuk mengoptimalkan pengelolaan tanah pertanian dalam rangka mencapai tujuan politik ekonomi Islam yakni menjamin tercapainya kebutuhan pokok individu masyarakat. Dari sinilah dapat dikatakan bahwa politik pertanian Islam membicarakan hukum-hukum tentang optimalisasi tanah pertanian serta upaya meningkatkan produktivitas barang-barang kebutuhan pokok.

Kebijakan pangan (dalam hal ini impor beras) melibatkan beberapa departemen/kementrian. Tugas Negara adalah melakukan pengaturan. Dengan demikian maka tidak akan terjadi tumpang tindih antar departemen dalam menentukan sebuah kebijakan. Justru adanya departemen harus bersinergi menyelesaikan permasalahan, bukan malah saling berseberangan seolah mencari jalan/keuntungan di bidangnya sendiri-sendiri. 

Permasalahan berikutnya yang timbul adalah harga beras tingkat produsen dan konsumen yang menuntut keduanya sama-sama untung. Disinilah peran pemerintah dalam meminimalisir biaya produksi petani dg memberikan subsidi modal (tanpa riba) ataupun sarana produksi dan fasilitas yang memadai.   Ajaran Islam juga memberikan otoritas kepada pemerintah dalam menentukan kebijakan penggunaan lahan. Distribusi hasil panen yang melimpah untuk daerah yang mengalami kekurangan atau paceklik juga merupakan instrument penyeimbang harga selain kebijakan pemerintah membeli produk petanian.

Dengan demikian persoalan carut marut dalan dunia pangan (dengan ijin Allah SWT) akan terselesaikan dan terwujudlah Ketahanan Pangan yang hakiki.

Post a Comment

Previous Post Next Post